Kuparkir mobil sedan warna hitamku di depan halaman gereja, aku mematikan mesin mobil menunggu sesaat. Kupandangi tak ada satupun orang, aku baru ingat hari ini hari selasa, jelas saja tak ada kegiatan di sini. Kubuka pintu mobil dan keluar, aku berjalan menuju gereja sudah hampir dua pekan aku tak datang kemari.
Ayah dan ibu pun tak menegur aku. Mungkin mereka tak mau menggangguku. Aku tersenyum, betapa aku tak pernah berpikir bahwa aku dan Fara ... yah lagi-lagi Fara yang selalu muncul dalam kepalaku. Aku berdiri berpikir sejenak. Perbedaan itu semakin jelas, tak mungkin bahkan.
Apa aku rela melepaskan semua keyakinanku demi seorang Fara yang baru saja aku kenal beberapa bulan yang lalu dan atas jaminan apa ia benar-benar mau menerimaku. Aku terlalu naif selama ini, tapi.... aku berpikir lagi tak ada yang tak mungkin. Aku bisa saja mengikuti Fara menjadi seorang pendamping hidupnya dan bersama memulai dari awal. Ayahku, Ibuku, Adikku dan seluruh kerabatku ....
Aaaahhhhh ... apa yang aku pikirkan terlalu jauh aku berpikir.
Aku membuka pintu gereja, sepi tak ada siapa-siapa. Aku terus berjalan menatap lurus ke depan mimbar. Patung Yesus berdiri dihadapanku, semakin dekat. Aku bersimpuh dan menangis. Aku tak paham dengan apa yang sedang aku lakukan.
Tuhan ... ampuni aku.
Betapa rasa ini sungguh menyiksaku. Atas apa yang tengah aku alami, tidakkah ini sangat menyiksaku. Dan mengapa terlalu besar cobaan yang kau berikan kepadaku. Sosok makhluk bernama Fara sebagai ujian dalam hidupku.
Aku tak benar-benar menginginkan yang lain atas hidupku, aku bahagia dengan apa yang selama ini kau berikan kepadaku.
Tapi ... aku mengangkat kepalaku. Air mataku tumpah tak tertahan aku menangis sesenggukan, kurasakan jantungku berdetak dengan kencang wajahku panas. Mengapa semua ini harus terjadi.
Aku tak pernah percaya dengan apa yang aku alami saat ini. Bukankah selama ini kau menjaga hatiku dengan baik, lalu mengapa kau mengobrak abriknya dan membuat aku semakin menderita atas rasa ini. Apa dosaku Tuhan....
Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundakku, aku menoleh dengan berat hati. Bapa Hang tersenyum kepadaku dan mengangkat tubuhku. Kubersihkan airmataku dengan punggung tangan kananku, cairan bening dari lubang hidungku ikut jatuh. Aku berusaha tersenyum kepadanya.
Dan ia menggandeng tanganku, aku mengikutinya. Berjalan keluar gereja dan berhenti di bangku taman, Bapa Hang duduk aku mengikutinya. Kami saling diam tak ada pembicaraan. Pandanganku lurus kedepan menikmati bunga-bunga yang bermekaran di taman depan gereja, beberapa kupu-kupu terbang mengitari bunga-bunga itu.
Aku menghela napas panjang, ku lirik Bapa Hang masih terdiam. Rambutnya telah memutih, ia kini telah berusia tujuh puluh tahunan. Guratan wajahnya terlihat dengan jelas ia sosok seorang yang tegas dan bijaksana.
"Apa yang sedang kau rasakan anakku? Sudah hampir dua pekan aku tak melihat dirimu kebaktian di sini. Sungguh beratkah ujian yang kau alami, hingga membuatmu menjadi seperti ini. Aku mengenalmu dari siapapun, kau putra terbaik Adam. Sejak kau dilahirkan aku yang membaptismu dan aku sangat mengenal perasaanmu. Tapi kini, aku seakan tak mengenal seorang Adam yang dulu aku kenal." lama Bapa Hang memandangiku sebelum dia melanjutkan kalimatnya.
"Ada apa anakku? Apa yang terjadi padamu?"
Aku terdiam dan terisak namun aku menahannya, tak bisa menjawab pertanyaanya.
Bapa Hang adalah seorang guru spiritualku, semenjak aku kecil aku banyak belajar darinya. Tentang hidup dan tentang keyakinan yang aku jalanin. Bagaimana ia telah menjadikan aku seperti ini menjadi seorang dokter yang memiliki religius dan intergeritas terhadap agama yang aku yakini.
Aku tak pernah sekalipun melangkah di jalur yang salah, aku selalu mengikuti pelayanan gereja dan tak pernah berbuat salah. Tapi, aku menangis lagi, salahkah dengan apa yang aku lakukan saat ini. Aku yakin pendeta Hang merasakan kegelisahan hatiku.
"Adam..." suara Bapa Hang menyadarkan aku.
"Ya Bapa."
"Kau tak percaya dengan Bapa."
"Bapa ..." aku menatap wajahnya
"Aku yakin kau sedang tak baik anakku. Kau bisa cerita kepadaku bukan sebagai Bapa dengan Jamaat tapi seorang ayah dengan putranya mungkin akan lebih baik. Putraku, aku mengenalmu melebihi siapapun."
"Bapa ... aku ... aku ..." aku tak bisa bicara bagaimana aku memulainya.
"Kau tak percaya padaku?"
"Bapa ... bukan bukan itu."
"Aku tahu apa yang kau rasakan."
"Aku tak tahu dengan semua ini Bapa, dosakah mencintai seseorang yang beda keyakinan dengan kita?"
"Hmmmm ... masalah inikah yang mengganggu perasaanmu."
"Bapa ... maafkan aku."
"Atas nama apa kau mencintai dia?"
Aku terdiam ketika Bapa bertanya dengan kalimat atas nama apa aku mencintai Fara? Aku tak pernah memikirkan hal ini, benarkah?
"Anakku, tak ada yang salah dengan perasaan. Ketika kita di hadapkan dengan sebuah hati dan aku yakin kau bukan laki-laki yang tak bisa berpikir dengan jernih. Benarkah kau mencintainya atau hanya sekedar rasa yang kau jaga dengan baik."
"Maksud Bapa?"
"Ketika kau mencintai seseorang kau pun harus bisa mencintai apa yang ia cintai, keyakinannya, keluarganya, hidupnya. Apa kau pernah memikirkan hal itu. Jika kau mencintai seseorang, kau pun harus bisa mencintai semua yang ia miliki. Kau bisa melakukan itu." Aku masih tak paham dengan perkataan Bapa.
"Apa maskdunya Bapa? Aku tak paham."
"Kau bilang kau mencintainya itu sama saja kau mencintai apa yang ia miliki. Siapa nama gadis itu Adam."
"Fara Azahra."
"Fara Azahra." Bapa mengulang nama Fara. Ia menghela napas sejenak dan memandangku kemudian ia berpaling lagi.
"Aku paham, kau berperang dengan perasaanmu sendiri atas cinta yang kau rasakan saat ini. Dan aku tahu ini perasaanmu yang pertama kali kau rasakan. Kau tak pernah merasakan ini sebelumnya, dan ketika kau masuk kedalam perasaan di hatimu kau tak bisa menguasainya. Aku tahu kau selalu berpegang teguh dengan sesuatu yang telah kau yakini, seperti halnya tentang rasa ini. Kau seorang laki-laki yang hanya bisa merasakan sekali untuk hal apapun dan jika kau telah merengkuhnya kau tak bisa melepaskan begitu saja. Cintamu ini sungguh luar biasa, aku paham anakku. Kau mencintainya seperti pertama kali kau jatuh cinta dengan Tuhanmu. Kau begitu sangat menginginkannya dan hatimu tak akan bisa tergoyahkan dengan hal apapun. Aku tak ada yang bisa aku lakukan untukmu jika ini mengenai hati. Satu hal hanya kau sendiri yang bisa memutuskan semuanya. Karena pada dasarnya hidup adalah pilihan anakku." penjelasan Bapa Hang sangat panjang lebar.
Aku terdiam mendengar petuah dan nasehat yang Bapa Hang berikan kepadaku. Bapa benar, aku harus bisa berpikir dengan jernih. Belum terlambat untuk memperbaiki perasaanku, terlalu banyak yang harus dikorbankan jika aku bersikeras untuk mempertahankan perasaanku terhadap Fara. Dan lagi, mungkinkah Fara memiliki rasa yang sama denganku. Bisa jadi tidak, dan jika memang benar bukankah aku akan terluka lebih dalam.
Aku tak mungkin mengorbankan hidupku, dua puluh enam tahun ku habiskan hidupku untuk pelayanan kepada Tuhan. Dan bagaimana mungkin aku bisa tak pernah memikirkan tentang perasaan orang-orang terdekatku, mungkin aku bisa bahagia bersama Fara namun kekecewaan dan luka yang aku tinggalkan kepada keluargaku tak akan bisa membuatku hidup bahagia tanpa bayang-bayang mereka.
Dan perkataan Bapa Hang, jika kau mencintainya itu berarti aku harus mencintai apa yang ia cintai, Tuhannya, keyakinannya, dan keluarganya. Mungkinkah... aku tertunduk lemas. Tak pernah aku pikirkan tentang hal itu.
Seperti inikah cinta ... kuangkat wajahku.
"Bapa, Bapa benar. Aku harus bisa berpikir dengan jernih. Mungkin aku terlalu lama menikmati rasaku ini tanpa benar-benar menggunakan akal sehatku."
"Bapa tidak melarangmu untuk berhenti mencintainya, tapi ... Bapa yakin kau bisa mengatasi dan menyeleseikan masalah hatimu ini anakku. Kau memiliki jiwa yang bersih dan hanya kau sendiri yang bisa melakukannya. Kedua orang tuamu tahu tentang hal ini?"
"Tidak, hanya Agnes."
"Aku yakin kedua orang tuamu pasti akan terluka jika mendengar tentang hal ini."
"Aku akan berusaha melupakannya Bapa, mungkin aku harus banyak meluangkan waktuku untuk pelayanan agar aku bisa dengan perlahan melupakan Fara."
Apa aku bisa, yakinkah?
Aku berkata demikian meyakinkan dihadapan Bapa, padahal aku sendiri tak yakin dengan perasaanku.
Apa benar aku bisa melupakan sosok Fara.