Aku menepi. memarkir mobil sedanku di depan lapangan, berjalan memasuki lapangan yang telah penuh dengan beberapa pengunjung. Kebetulan hari ini aku mendapat cuti selama dua hari dan seminggu yang lalu Alif teman kampusku dulu menghubungiku untuk ikut serta dalam acara kegiatan sosial yaitu pemeriksaan gratis untuk penduduk yang kurang mampu dan aku mengiyakan.
Aku berjalan melewati beberapa orang yang rata-rata kaum manula. Kemungkinan mereka datang biasanya untuk tensi darah dan kolesterol. Mereka tersenyum menyapaku dan aku membalas senyuman mereka. Sudah pasti mereka ramah karena aku telah siap dengan jas putih dan stetoskop di leherku.
Aku mendekati tenda warna putih bertuliskan "Ruang Panitia". Acara ini bekerjasama dengan beberapa sponsor swasta dan Palang Merah Indonesia serta Bulan Sabit Merah dan Ikatan Dokter Jakarta.
Mereka nampak sibuk dan ada beberapa meja yang telah siap, pengunjung sudah padat mengantri dengan menunggu di tempat duduk yang telah disediakan pada tenda-tenda besar. Ada beberapa polisi dan dan tentara militer membantu dalam acara ini.
"Adam." Suara keras memanggil namaku, aku menoleh Alif berjalan mendekatiku dengan membawa kotak besar berisi obat-obatan.
"Hai ... Apa kabar Man?" ia meletakkan kotak berisi obat-obatan dan menabrakku. Kami saling berpelukan. Ini adalah kali pertama aku bertemu dengannya setelah lulus kuliah tiga tahun yang lalu.
Alif kembali ke kampung halamannya di Sulawesi Selatan setelah pelulusan dan kembali ke Jakarta setelah ia mendapat surat penugasan di rumah sakit umum milik pemerintah DKI Jakarta.
"Kamu masih sama seperti dulu Dam, enggak ada yang berubah."
"Lif kenapa badanmu jadi buncit gini." Aku menunjuk perut Ali yang buncit, "Senang kau rupanya." Alif dan aku tertawa bersama. Seakan kami tak peduli dengan tatapan mata orang di sekitar. Beberapa dokter serta relawan dari beberapa universitas kedokteran di Jakarta sudah berkumpul.
"Aku senang kamu mau datang Dam."
"Kebetulan aku lagi enggak ada jadwal dua hari ini."
"Dam, gimana uda dapat cewek belum?" Alif menggodaku.
Aku terkekeh sendiri, lalu teringat seseorang.
"Ah, kau bisa saja Alif." Jawabku tersipu malu.
"Aku tahu kamu pasti masih jomlbo khan! Enggak ada satupun cewek yang bikin kamu tertarik." Alif masih mengejekku sambal tersenyum lebar, menertawakan aku.
Iya, dia memang orang yang paling paham tentang aku. Kami sangat dekat saat kuliah.
Aku tersenyum kecut karena tiba-tiba wajah Fara melayang-layang dipikiranku.
"Weeeewww, aku yakin kamu udah ketemu sama cewek pujaan. Ceritain dong, mukamu tuh Dam enggak bisa boong" Alif menyenggol sikutku ia menggodaku lagi, wajahku makin terasa panas. Aku hanya meringis digoda Alif seperti itu.
Alif dan aku sama-sama masih kuliah di tahun yang sama dan ia memang senang sekali menggodaku sejak kuliah, aku jika merasa terpojok wajahku akan serta merta merona bak udang rebus dan aku yakin saat ini pun seperti itu karena aku tak ahli dalam berbohong dan sepertinya Alif tahu. Aku hanya bisa tersenyum.
"Dokter Alif, acara bisa kita mulai." Seorang gadis muda dengan memakai jas almamater menghampiri Alif.
"Baiklah kita akan segera ke pos masing-masing."
"OK, Dok." Gadis itu pergi dengan berlari.
Dan tak lama kemudian terdengar suara kencang dari pengeras suara.
PARA HADIRIN MOHON UNTUK TIDAK BEREBUT DAN MENGANTRI SESUAI DENGAN NOMOR ANTRIAN. TERIMA KASIH.
"Dam, kamu ikut sama aku ya." Ajak Alif, aku mengangguk sambil berjalan Alif membawa kotak besar yang berisi obat-obatan aku berjalan di sampingnya.
"Lif, ada siapa lagi yang datang ke sini selain kita."
"Angkatan kita? Enggak ada." jawab Alif menggeleng, "Aku cuma hubungi kamu doang."
"Oh gituh."
"Mereka sibuk Dam, makanya aku cuma nelpon kamu. Karena aku tahu, Adam Stanley selalu siap membantu hahahaha"
"Pede banget sih kamu Lif."
"Karena kamu enggak punya waktu buat hal lain selain kerja dan kegiatan kayak gini, jadi selintas aku langsung ingatnya sama kamu, dokter ganteng tapi jomblo uda seperempat abad." Alif terus mengejekku sambil tersenyum lebar, wajah itu masih sama seperti dulu, Alif yang baik dan selalu percaya diri, tidak seperti aku.
"Sialan, kau." Jawabku menyenggol lengan tangannya
Kami berhenti tepat di meja dekat dengan tenda pinggir lapangan, kami tersenyum melihat para manula semangat datang dan telah duduk rapi menanti panggilan antrian. Alif meletakkan kotak besar di bawah meja dan duduk di sebelah kananku. Ada dua meja, satu untuk pemeriksaan dan satu lagi untuk pengambilan kartu dan snack yang berisi makanan ringan seperti susu kotak dan roti.
"Sudah bisa dimulai Dok?" tiba-tiba seorang gadis berdiri di samping Alif, aku terperangah melihat wajahnya. Wajah yang tak asing di mataku, dan sesaat tadi aku memikirkannya.
Fara ...
"Dokter Adam ..." Fara menyapaku sedikit terkejut dan aku tersenyum dengan senang seperti anak kecil yang diberi gula-gula oleh sang ibu betapa bahagianya aku dan aku hampir tak bisa mengerjapkan mataku.
"Hei ... kamu kenapa Dam?" Alif menyenggolku dan bola matanya liar penuh selidik aku membuang pandanganku, tersenyum dengan senang, bukan tepatnya sangat bahagia. Lalu jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Sial!
"Fara ... kamu di sini juga" tanyaku kepadanya, menatapnya dengan intens.
Fara mengenakan jilbab warna putih dan pakaian serupa, wajahnya terkena sinar matahari, senyuman itu mengembang, seperti peri saat hujan telah usai, aku masih terkesima manatapnya. Hampir saja aku lupa bahwa di sekelilingku saat ini ada begitu banyak orang menatap kami.
"Fara salah satu aktifis sosial di organisasi salah satu pendukung acara ini." Alif menjelaskan, aku menatap Alif, kenapa dia bisa kenal Fara.
Alif tersenyum, senyum itu seakan mengejekku. Dia tahu, aku berusaha mencari tahu padanya.
"Hei.. Dam, matamu, tatapan itu ... kamu tertangkap basah." Alif berbisik kepadaku, aku hanya meringis.
"Emang keliatan ya Lif?" aku menggoyangkan wajahku.
"Kenapa? Fara cantik kan?" kata Alif kedua alisnya terangkat, aku meringis.
"Dokter Adam lagi jatuh cinta." goda Alif padaku.
"Enggak kata siapa. Aku cuma …" aku berusaha mengelak perkataan Alif.
"Dam, mata kamu enggak bisa berbohong."
"Udah, udah, orang-orang merhatiin kita." Aku langsung meraih sebuah kertas di atas meja, membaca satu persatu nama-nama pasien.
Meski begitu jantungku masih tidak mau berhenti berdegup kencang, apa lagi Fara di sini gabung bersama tim kami. Saat aku melirik ke kanan, Alif menatapku sedikit mengejek. Shit! Dia memang orang yang enggak pernah bisa aku bohongin.
BAPAK HASAN ...
IBU MINAAAA ...
Suara Fara terus menggema memanggil satu persatu para pasien. Aku semakin senang bahkan melayang begitu bersemangat melayani para pasien. Alif dan aku sibuk dengan pelayanan ini dan kebanyakan para manula, penyakit mereka rata-rata darah tinggi dan rhematik.
Acara berjalan dengan lancar dan sukses hampir ratusan pasien kita tanganin karena acara ini diadakan untuk satu kawasan padat penduduk di pinggiran kota Jakarta dan kebanyakan dari mereka para perantau bukan penduduk asli Jakarta.
Betapa aku sangat menyukai kegiatan seperti ini, aku dapat melihat wajah-wajah mereka yang tampak bahagia dan kami semua bekerja tanpa lelah saling bahu membahu. Sudah hampir setengah hari, Alif dan teman-teman yang lain melaksanakan ibadah sholat dhuhur di masjid dekat lapangan dan aku serta beberapa orang non muslim melanjutkan pekerjaan kami karena pasien masih juga belum berkurang. Dan terkadang aku sesekali melirik Fara yang duduk tak jauh dari tempatku.
Sudah hampir setengah tiga sore dan tinggal satu pasien, seorang nenek ia duduk dihadapanku.
"Apa kabar Nek?" sapaku kepadanya.
"Baik anak muda."
"Apa keluhan Nenek?"
"Huk ... uhuk... Baaaa ... ttuk.." katanya dengan suara serak dan terbata.
"Sudah berapa hari Nek?"
"Satu minggu."
"Batuknya sakit, ada riaknya?" tanyaku pada si nenek, ia menggeleng lemah.
"Sudah minum obat batuk?" tanyaku lagi, si nenek menggeleng untuk yang kedua kalinya.
"Nek tensi darah dulu ya tapi Nenek jangan ngomong dulu." Kataku padanya,
Si nenek mengangguk. Aku memeriksa detak jantung dan kuletakkan stetoskop di tangannya. Tekanan darahnya normal, napasnya tersengal kembang kempis menahan batuk.
"Buka mulutnya Nek AAAAAAA ... lidahnya di keluarin, nah seperti itu, baiklah, sekarang matanya ... hmmm... sudah Nek." Si nenek menghela napas panjang. Aku tersenyum melihatnya.
"Saya beri obat batuk ya Nek, tekanan darah Nenek normal, Nenek juga enggak demam jadi saya kasih obat batuk sirup sama tablet hisap, Bentar ya Nek."
Aku menoleh ke arah Alif tak jauh dariku, "Dokter Alif masih ada obat batuk hisapnya?"
"Masih, nih." Jawab Alif menoleh ke arahku lalu berjalan ke arahku memberikan obat batuk hisap yang aku minta,
"Terima kasih." Kuambil obat hisap dari tangan Alif, ia mengangguk lalu kembali ke tempatnya lagi, Alif membantu para relawan yang lain karena butuh orang sementara aku, karena pasien mulai berkurang, jadi aku bertugas sendirian di sini.
"Ini Nek, tiga kali sehari ya nek, jangan lupa." Kataku menjelaskan ke si nenek.
"Terima kasih Dok." Jawab si nenek membungkuk lalu ia batuk lagi.
Uhuk ... Uhuk ... Uhuk ...
Setelah mengambil obat pemberianku, si nenek pergi berjalan ke arah jalan, dengan berjalan tertatih. Delapan puluh tahun usianya, ia masih nampak sehat. Aku masih memperhatikannya. Tak ada satu orang pun yang menemaninya, aku terenyuh melihatnya sampai tak terlihat punggung si nenek.
"Sudah selesei Dok." Suara Fara mengejutkanku.
Aku mendongak, senyuman itu membuatku selalu terkesima dan tak bisa berpaling.
Entah kenapa setiap ia berada didekatku, jantungku berdebar dengan sangat kencang dan aku tak bisa mengendalikannya.
"Dok, kalian belum makan siang udah aku siapkan, sebentar." Fara berjalan ke meja tempatnya dan membawa dua kotak makan siang untuk Alif dan aku.
"Ini Dok." dua kotak makan siang diberikan pada kami.
"Terima kasih Fara. Kamu sudah makan?" tanya Alif tiba-tiba sudah muncul di depanku, tepatnya berdiri di sisi kanan Fara sambil tersenyum manis, ah sialan neh bocah, dia memang paling pandai bersikap seperti itu di depan cewek. Aku mengumpat dalam hati, seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan. Alif terus mengintimidasiku.
"Udah Dok," Fara hanya mengangguk lalu pergi meninggalkan kami.
"Dam ... Adam ..."
"Yah."
"Yah ngelamun lagi."
"Siapa yang ngelamun." Aku segera membenahi peralatan milikku, berusaha menghindar dari tatapan Alif.
"Kenapa? Fara, manis khan." kata Alif.
"Hmmmm." jawabku mengangguk sambil tersenyum.
Alif duduk di sebelahku sambil membuka kotak makan siangnya dan tersenyum.
Kubuka tutup botol sanitizer dari kantong saku celanaku yang selalu kukantongi ke mana pun aku pergi, kutekan tutup botolnya, cairan gel keluar dari dalam botol lalu kuusapkan ke seluruh pergelangan tanganku. Alif menyambarnya dari tanganku sambal meringis.
Kami tertawa bersama, Alif dan aku berteman hampir lebih lima tahun selama kami kuliah dan ia satu-satunya teman yang aku miliki ketika aku kuliah aku memang tak seperti dia yang memiliki banyak teman, tapi Alif sangat memahami aku. Itu makanya aku sangat menyukainya dan ia tak pernah membedakan suku, agama golongan, dan ia manusia netral yang pernah aku kenal dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
"Gimana kalau kita jalan dulu setelah acara Dam." ajak Alif setelah dia membersihkan makanan dan membuangnya ke tempat sampah, tidak butuh waktu lama untuk kita berdua menghabiskan makan siang. Kita berdua sudah terbiasa makan dengan waktu super singkat, aku jadi teringat saat masa-masa kuliah dulu, tidak ada waktu makan, bahkan.
"Kamu enggak ada acara lagi setelah ini." Tanyaku balik pada Alif, Alif menggeleng tegas lalu meringis. Kedua matanya ikut menyipit tertutup pipinya yang gembul, sejak lulus kuliah Alif berubah, berat badannya bertambah drastis, kini dia menjadi sosok lelaki berperut buncit. Aku tertawa geli melihatnya.
"Kebetulan aku enggak ada dinas dan besok aku harus ke desa pedalaman untuk tugas negara."
"Tugas negara, gaya kau Alif."
"Hahahaaaa ... aku sangat senang ketika namaku masuk daftar pegawai negeri di salah satu rumah sakit di Jakarta, tapi Dam .... enggak seperti yang aku bayangkan aku sering dikirim ke desa-desa terpencil untuk membantu pelayanan kesehatan dan memberikan mereka pemahaman tentang kesehatan. Bisa kamu bayangin hidupku." Alif mulai bercerita lagi awal mula dia akhirnya bisa jadi pegawai negeri, yah aku paham, kisah itu adalah satu-satunya yang dia banggakan di depanku yang hanya pegawai swasta. Kalau aku bukan karena aku enggak minat masuk pegawai negeri tapi … aku punya impian sendiri untuk masa depanku. Makanya aku tidak pernah tertarik untuk memilih seperti teman-teman yang lain, jadi PNS.
"Dam, dengerin aku enggak sih."
"Hm." jawabku.
"Ah, aku uda sering cerita ya, hahaha... sorry! Gimana sama Fara?"
Tiba-tiba Alif menanyakan tentang Fara.
"Fara? Kenapa emang sama Fara?" aku pura-pura bertanya balik.
"Ah jangan pura-pura gituh deh, aku perhatiin diam-diam kamu tuh merhatiin Fara terus. Kamu tahu enggak, aku yang kirim dia untuk datang mencarimu di rumah sakit."
Deg!
Aku menatap Alif kali ini, "Serius?" tanyaku penasaran, kenapa Alif menyuruhnya ke tempatku,
"Kau ... kau ..." Alif mengangguk-angguk lalu meringis. Dia mulai lagi menggodaku.
"Jadi kau yang menyuruh dia datang ke aku."
"Iya, dia gadis yang baik."
"Yah aku tahu."
"Jadi ... menurutmu gimana Dokter Adam Stanley Siahaan?"
"Apanya?"
"Fara ... Fara ..."
"Ah, apa sih Lif."
"Iya, dia manis kan, jangan bilang kamu enggak ada hati sama dia."
Aku terdiam agak lama, tak bisa menjawab perkataan Alif, perasaan ini. Aku tahu, Alif pun pasti tahu apa yang aku rasakan, dia selalu tahu tentang apapun yang aku pikirkan. Alif pandai menebak semua ekpresi dan gerak gerik tubuhku, dia tahu segalanya, di depan Alif aku tak bisa berbohong.
Tapi masalahnya bukan tentang perasaanku kepada Fara, ada hal lainnya. Banyak hal yang aku pikirkan saat ini, kedua orang tuaku, Bapa Hang dan aku ...
"Dam, kamu tahu enggak! Terkadang kita perlu mengeluarkan sesuatu yang ada dipikiran dan perasaan kita." Adam menepuk pundakku.
Aku hanya menghela napas, mengengguk, mengiyakan perkataannya.
Ada banyak hal terkadang yang ingin aku ungkapkan kepada siapa pun dan tentang hal apa pun, tapi ... aku tak pernah bisa melakukannya, meski hanya sekedar mengatakan, dia memang manis.