Chereads / DOKTER TAMPAN JATUH CINTA / Chapter 13 - Ayah!

Chapter 13 - Ayah!

Aku menyantap makanan di meja makan dan bertingkah laku seperti biasa seakan tak terjadi apa-apa. Ayah dan ibuku duduk berhadapan denganku sesekali aku melirik mereka berdua tanpa mereka ketahui, menatap wajah ayahku dan kembali ke wajah ibuku. Dua orang yang aku cintai tak mungkin aku membiarkan ayahku sendirian mengalami masalah ini sementara aku hanya berdiam diri menjadi seorang anak yang tak berguna.

Aku kembali ke kamar tidur setelah selesai dengan makan malamku bersama ayah dan ibu. Sudah hampir dua bulan Agnes, adikku tak pulang ke rumah. Ia tengah sibuk dengan tugas kuliah dan kini tengah mempersiapkan judul skripsi yang akan ia ajukan tahun depan. Kubaringkan tubuhku di atas tempat tidur, mataku tak bisa terpejam masih terngiang semua kalimat yang dikatakan dokter Aliando. Namun wajah itu lagi muncul, sosok Fara. Mengapa ia tak pernah bisa meninggalkanku. Apa yang harus aku lakukan. Mungkinkah seumur hidupku akan seperti ini tak pernah bisa membuang ingatanku tentang Fara.

Aku tertidur nyenyak pada akhirnya selama delapan jam dan bangun tepat sebelum pukul enam tiga puluh menit. Setelah bangun, aku tersadar aku bangun kesiangan dan biasanya aku bangun pukul lima pagi melakukan rutinitas seperti orang muslim lakukan belajar bangun pagi dan mengerjakan gerakan sholat tapi kali ini sudah hampir tiga hari aku melewatinya. Apa yang telah aku lakukan, menyerahkah diriku?. Aku tak bisa menjawab semua pertanyaan dalam diriku sendiri. Terlalu pening kepalaku. Sudah satu minggu aku pun tak mengunjungi Fara walau begitu bukan berarti aku dapat melupakannya. Aku berdiri mendekati meja kamarku kutuang air didalam botol putih kedalam gelas besar.

Kunyalakan radio dan aku kembali membaringkan tubuhku di atas tempat tidur sambil mendengarkan berita pagi yang selalu kudengarkan. Berita kematian seorang pegawai negeri di sebuah kamar hotel dengan salah seorang istri simpanannya di hotel bintang lima di kota Jakarta.

Petinggi dari salah satu partai dan berita semakin gencar dengan ditemukan seperangkat alat untuk penghisap ganja didalam kamar mereka. Berita pagi yang menghebohkan tapi aku tak terlalu tersentuh dengan berita itu karena sudah bukan lagi berita yang mengejutkan karena Indonesia saat ini sudah menjadi negara besar dengan segudang prestasi di dunia internasional atas kekuatan ekonominya dan segudang konflik dan intrik para petinggi.

Terkadang aku berpikir manusia terlalu naif dengan kekuasaan dan kekayaan yang mereka miliki tanpa mereka sadari nyawa mereka hanya sekedar titipan semata dan sewaktu-waktu nyawa itu akan diambil dengan tiba-tiba tanpa mereka memiliki kesempatan untuk menghindarinya. Berita tentang korupsi para pejabat terus menerus diputar memaksaku untuk bangkit dari tempat tidur dan mematikan radioku. Suara ketukan pintu kamar dari luar, siapa? Tumben ini hari libur nasional, aku tak pergi ke rumah sakit.

TOK...TOK... TOK...

Suara ketukan pintu kamar mengagetkan aku.

"Mami.."

"Papi, Papimu..."

"Ada apa Mam?"

"Papimu pingsan." Aku cepat berlari menuruni anak tangga menuju kamar ayah, ayah tergeletak di atas tempat tidur tubuhnya kaku, aku dengan cepat mengambil handphone milik papi yang tergeletak di atas meja. Ibu menangis memeluk ayahku dan mengguncang-guncang tubuhnya. Kutekan nomor panggilan gawat darurat dari rumah sakit tempatku bekerja.

"Hallo Rumah Sakit Khatolik. Saya Stanleys Adam."

"Dokter Adam."

"Yah, bisa kalian kirim mobil ambulance ke alamat saya. Ayah saya. Baiklah, kami tunggu." Aku melempar handphone ke atas tempat tidur dan kusentuh kening ayahku tangannya masih panas. Aku berusaha membangunkannya.

"Dam, kenapa dengan Papi?"

"Mam, jangan khawatir papi hanya kelelahan."

"Mami tak tahu, ketika Mami tadi masuk Papi sudah seperti ini. Dan Mami ... aahhhh ... apa yang akan terjadi dengan Papi."

"Mam, Mami jangan berpikiran macam-macam."

"Pap, bangun Pap ... Papi ..." benar perkataan dokter Aliando tentang kondisi ayahku. Tapi aku tak bisa memberitahu ibuku tentang kondisi ayah saat ini. Aku tak ingin ibu khawatir dan membuatnya makin bersedih.

Mobil ambulance membawa ayahku melaju dengan kencang aku sendirian membawa mobil pribadiku sementara ibuku bersama dengan ayah dan perawat dari rumah sakit. Agnes, aku telah menelponnya dan memberitahukan tentang kondisi ayah. Dan aku memberitahu bahwa ayah hanya perlu perawatan di rumah sakit itu saja aku tak ingin ia kaget dengan kondisi ayah.

Beruntungnya jalanan sepi karena hari libur dan tak butuh lama ayahku telah mendapat perawatan medis di dalam ruang isolasi. Semua tubuhnya dipasang peralatan dan alat detak jantung. Ibuku tak henti-hentinya menangis. Aku sendiri sudah tak tahu lagi harus berbuat apa. Ayah tak pernah separah ini, ia biasanya hanya demam dan flu tak lebih. Tapi kini ia terbujur kaku dalam ruang isolasi. Aku memeluk ibuku dengan erat memandang ayah dari balik kaca jendela karena kami belum di ijinkan untuk masuk ke dalam ruangan.

"Dokter Adam." Dokter Aliando menghampiriku dan memegang pundakku. Aku menatapnya dan berharap ia tak mengatakannya di depan ibuku.

"Dokter, apa yang terjadi dengan suamiku. Bisa kau jelaskan?"

"Ia baik-baik aja butuh waktu, kau jangan bersedih semua akan baik-baik saja."

"Tapi Dokter?" kataku

"Percaya pada kami, saat ini kami tengah melakukan yang terbaik untuknya." Dokter Aliando meninggalkan kami. Aku memeluk ibu dan mengajaknya untuk duduk namun ia menolak dan tetap berdiri melihat suami tercinta dari balik kaca jendela.

"Mam, aku boleh menemui Dokter Aliando sebentar."

"Pergilah.. biar Mami menjaga Papi." Kupeluk ibuku sekali lagi dan aku pergi menuju ruangan Dokter Aliando. Beberapa perawat yang mengenalku melihatku dengan tatapan penuh kasihan. Aku berhenti di tengah lorong jalan dan melihat Suster Maria tengah berdoa dihadapan patung Yesus yang berdiri ditengah taman sebelah kiri jalan pintu masuk rumah sakit. Aku berhenti sesaat dan kemudian aku berjalan lagi belok kanan dan sampailah di depan ruangan dokter Aldo, aku tak sempat mengetuk pintu. Dokter Aliando sudah menungguku.

"Bagaimana Dok?"

"Tak ada cara lain, seperti yang telah aku katakan padamu beberapa hari yang lalu tentang kondisi kesehatan ayahmu. Operasi penyedotan cairan dalam jantungnya itu adalah satu-satunya jalan agar ayahmu bisa sembuh dengan cepat aku khawatir cairan itu akan merendam jantungnya karena ternyata kondisi ayahmu memang sudah lemah."

"Dokter, apapun yang terbaik aku serahkan kepadamu asalkan papi kembali seperti dahulu."

"Kau sudah memberitahu masalah ayahmu kepada ibumu?"

"Belum Dok, untuk saat ini aku tak ingin ibu khawatir, Dok, aku mohon jangan memberitahunya aku yang akan menjelaskan kepada ibu dan adikku nanti. Dokter tak keberatan dengan permintaanku kan."

"Baiklah, aku mengerti dengan maksudmu."

"Kapan bisa dilaksanakan penyedotan cairannya Dok?"

"Akan aku usahakan secepatnya. Jika tak ada halangan besok lusa bisa segera dilakukan. Aku ingin menunggu kondisi ayahmu terlebih dahulu."

"Baiklah Dok."

"Kau harus sabar Adam, oh yah aku berharap setelah operasi ini selesai kau bisa lebih memperhatikan ayahmu dan membantunya. Lalu bagaimana dengan perusahaan tanpa ayahmu?"

"Itulah Dok yang sedang aku pikirkan, tak mungkin kantor kosong tanpa ada pemimpin tapi tak mungkin pula aku bisa menggantikan posisi papi. Dokter tahu sendiri aku tak memiliki bakat sedikitpun tentang kepemimpinan."

"Sudahlah ... kau yang sabar serahkan semuanya pada Tuhan. Berdoalah kepadanya agar ayahmu cepat sembuh."

"Terima kasih Dok."