"Kak Adam..." Agnes memelukku dan menangis, aku mengelus rambutnya.
"Sudahlah, Papi tak kenapa-kenapa. Kita doakan agar Papi cepat sembuh yah."
"Kak, Mami di mana?"
"Mami di ruangan sebelah, jangan kamu ganggu dulu mami lagi tidur kasihan semalaman enggak tidur menunggu Papi."
"Kakak sudah makan?" tanya Agnes, aku mengangguk.
"Aku antar kau melihat Papi." Aku memeluk adikku sambil berjalan, Agnes sudah dewasa dan aku baru kali ini bisa memeluknya setelah sekian lama.
Kejadian ini membuat semuanya sangat berarti bagiku, aku sudah terlalu lama tak sedekat ini dengan adikku Agnes, semenjak ia kuliah di luar kota dan aku sibuk dengan kerjaanku sebagai dokter nyaris hubungan kami tak seperti dulu.
Kami hanya bertemu beberapa kali dalam setahun itupun ketika natal tiba aku dan Agnes baru benar-benar bisa berkumpul. Agnes lebih memiliki jiwa seperti ayahku dan aku selalu berpikir dialah yang pantas menggantikan ayahku untuk memimpin perusahaannya kelak. Jiwa kepemimpinan dan otaknya cerdas dalam hal ekonomi dari kecil aku sudah dapat melihat bakat sok ngaturnya di rumah.
"Kamu hanya bisa melihat papi dari sini."
"Kak..." Agnes memeluk dengan erat ketika ia melihat sosok ayahku terbujur kaku tak bergerak dan matanya masih terpejam dengan peralatan medis di sekelilingnya.
Alat detak jantung itu yang selalu kuperhatikan. Aku tak ingin sewaktu-waktu alat itu berhenti, aku berharap ada keajaiban yang dapat merubah hidup ayahku.
Aku tak ingin ayah pergi meninggalkanku saat ini, aku belum sempat mengatakan kepadanya bahwa aku sangat menyayanginya. Tak pernah terpikirkan olehku.
"Agnes."
Kami menoleh bersamaan saat sebuah suara memanggil adikku, Clara berdiri dibelakang kami dengan membawa rangkaian bunga ditangannya. Agnes melepas pelukanku dan memeluk Clara.
"Sabar yah, semoga om cepat sembuh. Maaf aku baru mengetahui kabar ini dari Suster Maria tadi pagi."
"Tak apa, terima kasih kau sudah datang." Agnes mengambil rangkaian bunga dari tangan Clara.
"Di mana ibumu?"
"Di ruang sebelah, tidur."
"Oh.. ayah dan ibuku meminta maaf karena saat ini mereka tengah berada di Malaysia dan belum sempat datang."
"Tak apa Clara." kataku.
Clara dan Agnes duduk di bangku panjang mereka tengah asyik mengobrol dan aku masih berdiri memandangi wajah ayahku. Wajah itu, guratan itu. Tak pernah ada yang tahu tentang hidup. Aku seharusnya bersyukur menjadi putra ayahku, betapa ayahku sangat mencintaiku.
"Dokter Adam."
"Yah," ternyata Dokter Aliando telah berdiri di sampingku.
"Boleh kita bicara sebentar."
Aku mengikutinya dan kami berjalan masuk ke sebuah ruangan, dalam ruangan beberapa dokter telah menanti kami.
"Perkenalkan ini Dokter Yance, Dokter Thomas dan Dokter Indah." Dokter Aliando memperkenalkanku dengan tiga dokter yang baru pertama kali aku lihat.
Aku menjabat tangan mereka satu-persatu. Aku baru kali ini melihat wajah mereka.
"Mereka dokter spesialis jantung di rumah sakit Jantung Sehat. Dan mereka ingin membantuku untuk besok. "
"Benarkah Dokter." Kataku bersemangat.
Dokter Aliando mengangguk begitu pula mereka.
"Ketika aku bertemu dengan mereka kemarin, aku menceritakan perihal penyakit ayahmu dengan suka cita mereka ingin membantu." Aku memandangi mereka satu persatu dokter Indah seorang muslim ia mengenakan jilbab sama seperti Fara.
Huf... Fara.. lagi-lagi aku menyebut namanya. Sudah lama aku melupakan nama itu, tapi ketika aku bertemu dengan Dokter Indah nama itu begitu saja muncul dari kepalaku dan wajahnya saat ini tengah tersenyum kepadaku. Apa yang kau lakukan Fara, mengapa kau selalu hadir dalam hidupku.
"Dokter Adam."
"Yah.." untung saja Dokter Aliando tak memperhatikanku tapi sayang Dokter Indah menangkap basah mataku yang tengah menatapnya, aku hanya tersenyum dan kemudian Dokter Aliando menjelaskan padaku tentang jalannya operasi besok.
Aku harus menanda tanganin beberapa dokumen sebagai prosedur untuk pelaksaan operasi besok dan setelah semua selesai aku keluar ruangan, kutinggalkan mereka semua.
Aku berjalan menuju ruang ayahku kembali dan aku terkejut ketika tiba-tiba Bapa Hang telah duduk bersama Agnes, Clara, suster Maria, Alif dan satu lagi wanita yang tak asing di mataku, Fara.
Aku duduk bersama Alif , Fara dan Agnes. Suster Maria telah kembali bekerja begitu pula dengan Bapa Hang telah kembali pulang. Bapa Hang datang untuk menjenguk ayah dan mendoakannya.
Bapa Hang mendapat kabar dari suster Maria begitu pula dengan Fara, dari Fara-lah Alif mengetahui tentang ayahku dan mereka akhirnya datang bersamaan ke tempat ini. Aku masih tak percaya dengan semua ini, sesekali aku melirik Fara yang duduk tepat dihadapanku bersebelahan dengan Agnes.
Kantin rumah sakit kebetulan sepi dan aku sudah hampir dua malam belum makan sesuatu kecuali air mineral yang kutenggak, tubuhku terasa lelah sekali. Tapi saat ini entah seperti mendapat energi baru tubuhku tak merasakan lelah itu. Fara, aku... tak mungkin. Mengapa selalu seperti ini.
Aku baru saja ingin melupakannya untuk selamanya dan kini ia ada dihadapanku.
Tuhan.... aku tak mengerti dengan hidup ini.
"Dam, aku yakin ayahmu akan baik-baik saja." Alif membuka percakapan sambil menyeruput teh botol dihadapannya.
Fara, aku tahu diam-diam ia pun memperhatikanku karena tanpa sengaja sesaat tadi aku beradu mata dengannya dan wajahnya berubah memerah ketika aku menangkap basah. Agnes, aku tahu ia sedari tadi menatapku dengan tatapan tajam, ia melirikku dan kembali melirik Fara. Seperti itu berulang-ulang, dan aku hanya meringis ketika ia menatapku dengan tatapan sedikit mengancam.
Yah, aku berharap seperti itu.
"Fara, kau tak ingin makan sesuatu." tiba-tiba aku menawarkan Fara dan Alif serta Agnes mereka serta merta menatapku dan menatap Fara.
Aaaahhh... mengapa aku jadi canggung seperti ini bukankah aku sudah sering kali bertemu dengan Fara dan sering berdiskusi dengan dirinya tapi mengapa aku menjadi seperti ini. Aku tahu Alif mulai mencurigaiku.
"Hmmmm... maksudku, ia belum memesan apa pun sedari tadi."
"Ia hanya minum air putih Dam. " Alif menimpali, Fara hanya tersenyum.
"Ini... " aku menyodorkan air mineralku, karena memang Fara tak memesan apapun, lagi Agnes menatapku.
"Dam, jangan-jangan kau menyukai Fara?" Alif membisikan kata-katanya di telingaku.
"Kau jangan becanda aku hanya berbaik hati dengan tamu."
"Kau jangan mengelak, matamu."
"Kau ini bicara apa, aku dan Fara. Tak mungkin."
"Yah kau benar, kau tak mungkin menyukai gadis macam Fara."
"Kau tenang saja kawan." jawabku mengelak dan apa yang aku lakukan saat ini benar, aku membohongi sahabatku sendiri.
Tidak, aku tak ingin Alif tahu tentang perasaanku sebelum aku sendiri benar-benar yakin dan mengatakannya sendiri kepada Fara.
Maafkan aku Tuhan.. aku berbohong untuk kali ini.
"Jangan menyesal jika suatu saat nanti aku yang lebih dahulu menyambarnya."
Aku melotot ke Alif saat dia berkata dan ia tertawa penuh kemenangan.
Hah, tak mungkin Alif selalu saja becanda dan ia tak serius dengan ucapannya.
Tapi.. tunggu!
Bisa jadi Alif pun menyukai Fara, kedekatan Alif dan Fara seperti saat ini mereka berdua bersamaan datang menjenguk ayahku. Tak mungkin aku tak boleh berpikiran seperti ini.
"Kak Adam, kau mau pesan apa?"
"Apa?"
"Kau ingin pesan apa?" Agnes menatapku dengan kesal, mungkin karena aku melamun terus.
"Apa sajalah" kataku
"Ayam goreng saja." Fara menimpali dan semua mata menatapnya. Aku sendiri terkaget mendengar perkataannya. Ia tahu makanan kesukaanku. Bagaimana mungkin, kupikir ia cuek terhadapku.
"Hey, tebakanmu sangat tepat. Dia memang paling suka dengan makanan itu." Alif berkoar, Fara meringis aku tersenyum dan Agnes terlihat kesal dengan ulahku.
"Kak, kau makan ini saja." Agnes menyodorkan menu makanan dihadapanku dan menunjuk menu Sayur Lodeh. Yang notebene itu makanan yang tak aku sukai sama sekali. Aku meringis dan melotot menganggapinya.
"Mas ayam goreng saja empat porsi." pesan Alif dan pelayan pergi meninggalkan kami. Agnes masih bersungut-sungut.
Aku tak mempedulikannya, aku tahu Agnes tak setuju dengan apa yang aku rasakan terhadap Fara. Bukan karena beda keyakinan kami namun atas sesuatu yang belum jelas aku rasakan.
Agnes tak ingin aku terlalu suka dengan rasa ini tanpa tahu apa yang dirasakan Fara terhadapku dan Agnes tak ingin aku terluka ketika sadar bahwa Fara tak memiliki rasa yang sama dengan apa yang aku rasakan.
Tapi aku selalu saja berpikir atas apa yang kulihat dan kurasakan seperti saat ini. Aku yakin Fara pun memiliki rasa yang sama kepadaku, aku dapat merasakannya. Aku hanya berusaha meyakinkan diriku bahwa cinta yang ada dalam hatiku saat ini atas nama cinta itu sendiri bukan karena hal lain.