"Jadi, kamu bisa nemenin Mami, khan?" tanya ibuku.
Aku berdiri dekat meja dapur memegang gelas berisi air putih dingin yang baru kutuang dari botol yang kuambil dari kulkas, setelahnya kutenggak dan masih tersisa setengah gelas, ibuku tengah mengocok telur dengan spatula plastik untuk sarapan pagiku. Ayah telah berangkat ke kantor dan hari ini aku tidak ada jadwal di rumah sakit.
Roti baru saja dipanggang dan seiris mentega sudah diletakkan di meja tapi aku malas untuk memakannya. Aku duduk, masih kebingungan sampai sulit bernapas. Bagaimana mungkin aku menolak untuk menemani ibuku, sedangkan aku ingin sekali bertemu dengan Fara.
Aku, akhir-akhir ini sering menemui Fara, jika tidak menjemputnya di kampus, aku datang ke rumah anak-anak yatim piatu tempat Fara mengajar. Kami berdiskusi tentang banyak hal terutama tentang Islam, banyak yang ingin aku ketahui tentang dunia Islam.
Jika aku menolak ajakan ibuku, pastinya akan membuat ia curiga. Aku selalu memiliki waktu luang sehari dalam sebulan rutinitas ku untuk menemani ibu sekedar jalan-jalan ke mall atau berkunjung ke rumah keluarga ibu atau ayahku yang tinggal di Jakarta.
"Bisa enggak, Adam?" tanyanya ibu lagi. Dia memunggungi aku.
Aku mendesah, saat itu pula ibu berbalik memanatapku penuh curiga dengan kedua tangan memegang piring, lalu aku tersenyum perlahan mengangguk saat kedua bola mata ibuku bergerak penuh selidik. Mana mungkin aku bisa membohonginya, dia wanita pertama yang tahu kalau aku sedang berbohong. Ketika aku mengiyakan, ibu tersenyum lebar, berbalik lagi membelakangiku, saat ini dia tengah mengerjakan sesuatu di depan meja kompor.
Suara desisan mentega dan telur terdengar jelas saat aku merobek sepotong roti di atas meja makan menggigit lalu melahapnya. Ibu mengenakan celemek bermotif bunga-bunga kecil, berdendang riang. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah lakunya.
"Hmmmmm?" ibuku mendesah. Ia mengangkat penggorengan dan mendekat.
"Baiklah.. udah matang." Ibu menyendok telur dari penggorengan dan menjatuhkannya ke atas piring milikku.
Butuh beberapa detik untukku tersadar dengan apa yang baru saja aku lakukan, mengiyakan ajakan ibuku. Lalu bagaimana denganku, bisakah aku menahan diri untuk tidak bertemu Fara hari ini. Ooohhhh... apa yang aku pikirkan. Bukankah ia ibuku, dan kewajibanku untuk menemani dan menjaganya.
Apa yang aku lakukan, aku menarik piring berisi nasi dan telur buatan ibuku yang kuambil dari dalam rice cooker, menambahkan kecap kental manis dan sedikit saos tomat dengan lahap aku memakannya.
Ibu duduk berhadapan denganku, menatapku dengan lembut dan tersenyum lalu berkata lirih, "Makanlah."
Aku mengangguk dengan lahap menghabiskan sarapan kesukaanku buatan ibuku, telor dadar mentega. Aku tak bisa berpikir lagi betapa ibu sangat menyayangiku.
Dapat kulihat dari tatapan ibu kepadaku. Betapa aku akan menyesal jika aku tak mengiyakan ajakan ibu. Aku bisa menemui Fara di lain hari, tapi kebersamaanku dengan ibu yang telah aku lakukan beberapa tahun selama hidupku tak mungkin aku biarkan begitu saja, aku harus menjadi seorang anak yang baik untuk ayah dan ibuku, bukan.
***
Di sebuah kafe ternama di salah satu sudut kota Jakarta aku duduk bersama ibuku. Kali ini aku menemani ibuku yang katanya ia akan bertemu dengan salah satu sahabat lama ayahku.
Mereka sudah pernah bertemu sebelumnya, dan aku salah. Kupikir ibu akan mengunjungi salah satu kerabatnya ternyata ibu mengajakku ke tempat ini. Tempat di mana tak jauh dari kampus Fara belajar, pikiranku menerawang ketika melewati depan kampus Fara.
Aaahhh... aku pikir aku bisa sejenak melupakan dirinya. Ternyata tidak.
Aku duduk di meja kafe sambil memegang novel dengan malas dan ibu duduk disampingku dengan gelisah sesekali menatap keluar kafe lalu bergantian menatapku.
"Apa kabar Sis?" tiba-tiba seorang wanita paruh baya telah berdiri dihadapan kami dengan seorang gadis cantik berkulit putih dan rambutnya terurai panjang sebahu tanpa poni wajah oriental dengan kelopak mata menyipit.
Aku kenal dengan wanita paruh baya ini, Tante Mirna sahabat ayahku ketika mereka masih sama-sama duduk di bangku kuliah. Ibu berdiri dan mereka berpelukan sambil bercipika-cipiki begitu pula dengan anak gadisnya. Ibu menyenggol lenganku dan aku pun mengikutinya berdiri menjabat tangan keduanya. Aku tersenyum kepada mereka, berusaha ramah menjaga perasaan ibuku.
"Adam?" sapanya kepadaku saat ia berpaling menatapku. Aku hanya tersenyum lalu menganggukkan kepala.
"Benar kan, Adam." tanyanya untuk yang kedua kali.
Ibu tersenyum lebar, bahagia sekali terlihat dari sudut mata dan lekungan bibirnya, baru kali ini setelah pertengkaran malam itu denganku, ibu sebahagia ini.
Ester, yah aku mengenali anak gadis itu teman kecilku. Dulu aku dan Ester sering bermain bersama ketika duduk di bangku sekolah dasar dan keluarganya pindah keluar negeri setelah lulus. aku duduk kembali setelah melepaskan tanganku, duduk dengan canggung karena Tante Mirna intens menatapku yang duduk berhadapan tepat denganku.
Sementara anak gadisnya malu-malu duduk manis di samping Tante Mirna. Aku masa bodo, tetap santai meski ingin rasanya cepat pergi meninggalkan pertemuan ini, aku paham pasti ibu berusaha mengenalkan aku dengan Ester, ah..ibu semua trik yang ibu lakukan aku sudah tahu,
"Sis, cantik sekali Ester. Udah kerja di mana?" tanya ibuku sambil terus tersenyum,
"Di Bank swasta Tan.." jawab Ester sesekali memegang rambutnya yang terurai menutupi separuh wajahnya, enggak percaya diri.
"Ooohhh.. wah Tante enggak nyangka Ester tambah cantik. Tante pangling loh." Puji ibuku kemudian, aku hanya duduk mendengarkan sambil sesekali tanganku membolak balik buku yang sedang kupegang.
"Ah Tante bisa saja." Ester senyam senyum, pipinya merona.
Tak lama kemudian ibu memesan beberapa makanan dan minuman. Mereka saling bercerita tentang pengalaman masing-masing. Yang aku dengar keluarga Tante Mirna, istri dari Om Yanto. Mereka baru saja pulang dari Amerika sudah hampir sepuluh tahun mereka tinggal di sana karena tugas Om Yanto sebagai duta Indonesia.
Persamaan keluarga mereka adalah Om Yanto seorang keturunan Jawa menikah dengan Tante Mirna seorang keturunan Tionghoa dari Medan mereka satu keyakinan. Khatolik tulen dan Ester adalah putri satu-satunya.
Sesekali aku meliriknya, gadis cantik yang kurang percaya diri, ia hanya sesekali senyum ketika ibuku memujinya dan yang paling seru dari pertemuan ini adalah percakapan antara ibuku dengan Tante Mirna.
"Adam, gimana sama kerjaan kamu?" tiba-tiba Tante Mirna bertanya kepadaku,
"Yah Tan.." aku terkejut, karena sedari tadi aku asyik membaca novel dan ketika aku melirik ibu, wajah ibuku nampak tidak menyenangkan. Akhirnya aku menaruh bukunya di atas meja.
"Baik Tan, maaf." Jawabku sopan.
"Tak apa, aku yang seharusnya minta maaf. Karena sedari tadi asyik saman Mamimu." Tante Mirna yang pengertian.
Usianya sama dengan ibuku lima puluh tahun, penampilannya masih feminin dan masih terlihat muda, gaya rambut panjang lurus terurai, kaos oblong tanpa kerah warna putih dengan setelan jeans belel, tas mahal dan kaca mata hitam yang bertengger di atas kepalanya, warna lipstick merah merona.
Tante Mirna masih terlihat seperti perempuan muda usia empat puluhan. Jauh berbeda dengan ibuku yang keibuan sekali, sederhana, anggun hanya mengenakan pakaian biasa dengan rambut diikat tanpa make up dan warna lipstik natural.
Kalau aku bilang Tante Mirna dan anak gadisnya bak pinang dibelah dua.
Aku tersenyum berusaha seramah mungkin agar tidak mengecewakan ibuku.
"Oh yah, udah punya pasangan?" tanya Tante Mirna, reflek Ester menyenggol lengan ibunya, Tante Mirna melengos, menganggapnya itu biasa.
Sebelum kujawab pertanyaan Tante Mirna, aku meraih minuman lalu menenggaknya, sengaja membuatnya penasaran dengan jawabanku. Sementara ibuku, melirikku dengan tatapan seakan berkata, bilang belum punya.
Saat aku meletakkan minumanku kembali di atas meja, aku tertunduk sambil tersenyum lirih lalu kujawab, "Masih sendiri kok Tan."
"Kau tahulah Adam." Ibu menimpali seraya tersenyum.
"Dam, enggak ada niat untuk menikah?"
Nah khan lanjut lagi pertanyaan Tante Mirna.
Ditanya seperti itu aku hanya meringis, Ester sibuk dengan ponselnya, menunduk. Hampir dari tadi dia tidak sekalipun berkata apa-apa.
"Nantilah Tan, belum terpikirkan." Jawabku lagi menyandarkan bahuku ke kursi, rasanya waktu berjalan sangat lama.
Tante Mirna melirik ke anak gadisnya lalu berkata, "Belum terpikirkan. Anak muda sekarang selalu seperti ini kalau ditanya tentang masalah jodoh."
"Maka dari itu Sis, Adam tuh enggak pernah dekat sama cewek mana pun kalau enggak aku cariin susah nanti."
Ah.. .Mami ... aku lagi-lagi menatap ibuku, dia seakan enggak peduli dengan tatapanku.
"Tahun depan Adam mau belajar lagi ke Jerman, makanya sebelum ke sana aku dan papinya pengen dia menikah terlebih dahulu sebelum berangkat. Alangkah baiknya kalau ada yang ngurusin di sana khan" Ibuku berbicara panjang lebar sekarang, bangga kalau anaknya mau belajar lagi ke luar negeri. Ah Mama…
Aku terkejut dengan ucapan ibuku, bagaimana mungkin ibuku telah memikirkan hidupku jauh ke sana sementara aku sendiri belum pernah memikirkan hal itu.
Aku tertunduk diam, sangat aku sesali mengapa ibu tega terhadapku. Bukankah sudah berulang kali aku katakan. Aku belum ingin menikah untuk saat ini, dan jika aku harus menikah itu pun atas pilihan ku sendiri bukan pilihan mereka. Tapi aku hanya bisa diam dan ngedumel dalam hati.
Kepalaku hampir mau pecah mendengar percakapan ibu dan Tante Mirna, Ester tak banyak bicara sesekali ia menimpali dan mejawab jika ibuku bertanya kepadanya.
Dan Tante Mirna sepertinya paham dengan diriku yang tak menyenangkan saat ini dan ibuku, ia seakan tak peduli denganku. Intinya aku tahu bahwa pertemuan ini sengaja di rencanakan untuk aku dan Ester.
Tapi aku tidak sekalipun tertarik begitu pula dengan Ester, karena sedari tadi dia dating sibuk dengan ponselnya sendiri.
Dalam perjalanan pulang di dalam mobil aku tak banyak bicara begitu pula dengan ibuku. Suara alunan merdu musik classic dari Bethoven mengalun dengan lembut sengaja aku putar untuk menenangkan pikiranku.
Fara, lagi-lagi wajah itu yang terlintas dalam benakku. Mobil semakin kencang melaju di tengah remang-remang lampu penerang jalan. Setelah pertemuan di kafe dan mengobrol banyak hal, ibu dan Tante Mirna memutuskan untuk sekedar berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan terdekat, aku berjalan mengiringi mereka bak bodyguard dan setelah hampir seharian mereka memutuskan untuk pulang.
Aku tak berbicara sepatah kata pun setelah aku tahu, ibu berencana menjodohkan aku dengan Ester.
Sesampainya di rumah, ayahku telah menunggu kedatangan kami. Ia duduk di ruang tengah dan ketika aku hendak naik ke lantai dua tempat kamar tidurku berada ayah memanggilku.
"Adam, ada yang ingin kami bicarakan."
Aku berjalan mendekati ayah yang duduk bersebelahan dengan ibuku, kurebahkan tubuhku di depan mereka.
"Maafkan Papi sebelumnya. Papi hanya ingin yang terbaik untuk keluarga kita."
"Ada apa Pap?" aku memotong perkataan ayahku.
"Begini Adam, Papi dan Om Yanto telah sepakat untuk menjodohkan kamu dengan Ester."
"Papi?" aku berdiri dan menatap mereka dengan marah.
"Adam, duduklah dengarkan Papimu terlebih dahulu."
"Papi mohon dengarkan Papi dulu Adam. Papi tahu, kamu pasti marah dengan apa yang telah kami lakukan. Hanya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan perusahaan Papi."
"Papi ..." aku terduduk lemas mendengar perkataan ayah.
"Sebenarnya Papi enggak ingin berbuat ini sama kamu nak, tapi Papi enggak ada pilihan lain. Kamu tahu betapa Papi sangat menyayangi anak-anak Papi. Sudah setahun perusahaan Papi terkena masalah, kalau Papi enggak menyetujui perjanjian Om Yanto mungkin perusahaan Papi akan gulung tikar dan bagaimana dengan nasib para karyawan di perusahaan. Om Yanto mau memberikan bantuan dan bekerjasama dengan Papi dengan syarat asalkan kamu bersedia menikahi putrinya Ester, dengan demikian dia akan mempercayai keluarga kita." Jelas ayahku dengan wajah serius, dadanya kembang kempis.
Aku tak bisa lagi berpikir dengan jelas wajah ayah dan ibuku, dihadapanku, oh Tuhan.. apa yang telah aku lakukan selama ini. Bagaimana mungkin aku tidak pernah mengetahui masalah ayahku sendiri.
Dan betapa bodohnya aku selama ini hanya mementingkan diriku sendiri tanpa tahu ayahku tengah menghadapi masalah besar. Tapi.. bagaimana dengan Fara dan hatiku. Apa yang harus aku lakukan... Tuhan, apa yang harus aku lakukan.
"Maafkan Papi! Papi enggak tahu harus berbuat apa. Papi tahu kamu pasti enggak terima dengan semua ini. Tapi Papi mohon, kamu harus memikirkan semua pegawai Papi. Enggak bisa Papi bayangkan bagaimana jika mereka... Papi enggak bisa memecat mereka semua, betapa mereka telah banyak membantu Papi selama ini. Dan bagaimana dengan keluarga mereka. Adam, hidup kita enggak pernah bisa kita prediksikan. Papi enggak pernah menyangka akan seperti ini. Dan kamu adalah harapan kami satu-satunya. Semua keputusan ada ditanganmu nak." Setelah berbicara. Ibuku mengambil minuman diberikannya kepada ayahku,
Tangan ayah bergetar saat meraih gelas minuman pemberian ibu, matanya berkaca-kaca. Aku paham ayahku tengah bersedih dan sedang mengalami kesulitan.
Aku, bagaimana mungkin aku membiarkan ayah terpuruk sendirian, di lain sisi bagimana dengan perasaanku. Aku berencana ingin mengutarakan hatiku kepada Fara.
Tubuhku lemas, aliran darahku seakan berhenti mengalir dan jantungku pun tak berdetak. Tiba-tiba ibuku mendekatiku dan memelukku.
"Anakku, maafkan kami." Katanya sambil merengkuh pundakku. Aku memegang tangannya erat, taka da yang bisa aku katakana.
Aku meneteskan airmata tanpa aku sadari, bisakah aku membiarkan ayah dan ibuku menanggung semua ini sementara aku dengan egoku terhadap Fara.
Tubuhku berguncang dan ibu terisak masih memelukku napasnya terdengar di telingaku sangat jelas napas ketakutan, harapan dan kesedihan. Aku tak bisa berkata apa-apa.
….
Aku bersimpuh di kamar tidur, wajahku penuh dengan airmata, tak bisa ku bendung lagi. Isakan tangisku semakin kencang tubuhku berguncang-guncang. Tuhan... apa yang harus aku lakukan. Sungguh ini berat untukku ... Fara ... Ayah ...
Suara pintu terbuka saat aku menoleh, ibu berdiri di ambang pintu dan langsung menabrakku.
"Mam.. haruskah semua ini aku lakukan. Bagaimana dengan perasaanku. Aku sangat mencintainya."
"Mami tahu, Mami tahu apa yang telah kau lakukan selama ini Adam."
Aku mengangkat wajahku memandang Mami. Apa maksudnya, Fara ...
"Mam.. apa yang harus aku lakukan?"
"Maafkan Papi dan Mami, kamu anak kami satu-satunya. "
Kami menangis bersama dalam pelukan, ibuku memelukku erat dan ini pertama kalinya aku mendengar ibuku menangis tersedu-sedu memelukku erat setelah sekian lama dan terakhir aku ingat ketika aku terjatuh dari motor saat itu aku duduk di bangku sekolah menengah pertama ibuku menangis melihatku dirawat di rumah sakit akibat luka memar dan tangan kananku patah. Sejak saat itu aku tak pernah lagi melihat ibuku menangis seperti ini.
"Mam..." panggilku lirih, aku melepaskan pelukannya lalu menatapnya, kuusap airmatanya yang mengalir di pipi ibuku dengan lembut. Wajahnya sudah terlihat tua, ada kerutan di bawah matanya.
"Mam, aku mencintai Fara." Kataku dengan tersedu.
Ibuku mengangguk hanya mengangguk dan masih tertunduk.
"Aku sangat mencintainya, Mam. Apa salah?" lanjutku terisak.
Ibuku masih diam.
"Aku ingin menikahinya, dan aku ... aku ... baru saja berencana ingin melamarnya. Mam... apa yang harus aku lakukan. Aku tak bisa melupakannya, setiap hari, tidak setiap saat ia selalu hadir dalam pikiranku. Betapa aku tersiksa dengan rasa ini. Aku ... aku... maaf Mam... ak..." aku tak bisa melanjutkan perkataanku, tenggorokanku tercekat. Kami masih menangis dengan tubuh lemas hanya suara isakan ibu yang kudengar.
Kami berdua masih menangis.
Ibu melepaskan pelukannya dan berkata, "Mami tahu apa yang kamu lakukan anakku."
Aku mengangkat wajahku dan memandang ibu "Jadi ... Mami tahu semuanya."
Ibu mengangguk pelan.
"Mam..."
"Hampir tengah malam Mami terjaga dan pada suatu malam Mami tanpa sengaja melihat pintu kamarmu belum tertutup dengan rapat dan lampu kamar masih menyala. Mami melihat semuanya anakku. "
"Mam..." aku memeluk ibuku.
"Maafkan aku!"
"Kamu enggak perlu meminta maaf. Mami paham apa yang kamu lakukan, kamu hanya berusaha mencari sesuatu yang ingin kamu ketahui." Mami mengelus pundakku aku semakin keras menangis, ibuku selama ini mengetahui semua yang telah aku lakukan. Dan ia tak pernah sekalipun menegur atau bahkan marah kepadaku.
"Kamu tahu, Mami ... Mami ... aahhhh kamu benar putra Mami, darah Mami masih mengalir dalam darahmu. Mami shock saat mengetahui kamu belajar tentang Islam, Mami enggak tahu apakah kamu melakukan itu demi seorang gadis atau memang karena dorongan hatimu sendiri. Anakku, kamu tahu ..." ibu menghentikan kalimatnya dan menatapku melepaskan pelukannya.
"Maaf, mungkin ini salah Mami. Mami terlahir dari keluarga muslim keturunan. Kakek dan nenekmu seorang muslim Tionghoa. Saat itu sama seperti keadaan kita, ayah Mami terbelit hutang karena usahanya bangkrut dan ayah Mami enggak bisa berbuat apa-apa. Keluarga Papimu datang membantu kakek. Karena enggak bisa membalas kebaikan mereka, akhirnya kakek menawarkan menikahkan putrinya kepada putra mereka. Mami saat itu tak bisa berbuat apa-apa, Mami hanya ingin menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Mereka tak setuju pada awalnya dengan keinginan kakek, tapi kakek meyakinkan mereka karena kakek enggak mungkin bisa membalas semua yang telah mereka berikan untuk keluarga Mami. Jika saat itu mereka enggak menolong keluarga Mami, kamu tahu! Kakek di penjara dan mungkin saat ini Mami entah hidup di mana, karena semua harta kekayaan kakek disita negara. Dan akhirnya mereka setuju dengan apa yang kakekmu ajukan, tapi karena kami beda keyakinan. Mami dan papi akhirnya menikah di luar negeri. Kamu tahu, di sini Indonesia belum bisa menikahkan dua orang dengan status beda keyakinan. Betapa Mami sangat tersiksa saat itu." Ibuku terisak, pundaknya berguncang hebat, tangisnya pecah, aku mendekapnya erat sangat erat. Maaf khan aku Mam..
"Mam...."
"Anakku ... mungkin ini salah Mami."
"Mam, jangan berkata seperti itu."
"Mami tak bisa berbuat apa-apa, Mami hidup dengan papimu dan kami menjalani keyakinan masing-masing. Papi sangat mencintai Mami. Ia tak pernah sekalipun menyuruh Mami untuk mengikuti keyakinannya. Kami menjadi dua orang yang saling menghargai masing-masing. Mami tersiksa, karena kamu tahu. Mami telah banyak mengetahui ajaran tentang Islam dan pada kenyataannya Mami tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada yang bisa disalahkan anakku. Mami tahu, Mami salah. Tak seharusnya Mami berbuat seperti ini. Hingga pada akhirnya ketika Mami melahirkan kamu dan Mami mulai bingung apa yang harus Mami lakukan untuk mengajarkan kamu tentang keyakinan, Mami perang batin dan enggak pernah sekalipun Mami diskusi tentang hal ini kepada papimu, Mami enggak bisa membicarakan hal ini berdua dengan papi. Dan akhirnya Mami pasrah ketika keluarga besar papi membawa bayi mungil Mami ke gereja untuk dibaptis. Maafkan Mami... kamu tahu mengapa Mami memberi nama Adam kepadamu, Mami ingin kamu menjadi seperti Adam nabi pertama dalam Islam dan kamu putra pertama Mami." Ibu menangis tersedu-sedu dan aku hanya bisa memeluknya.
Tak pernah aku menyangka ibuku menyimpan semua ini seorang diri selama bertahun-tahun.
"Mami tak bisa berbuat apa-apa, dan hingga akhirnya Mami memutuskan untuk mengikuti keyakinan papi. Bukan karena paksaan dari papi dan keluarga tapi Mami berpikir bagaimana Mami bisa membesarkan putra Mami jika Mami dan papi masih hidup dalam dua persimpangan. Maaf ... maafkan Mami."
"Mam ... Mami ..." aku memeluk ibuku tangannya masih gemetar.
"Adam, Mami hanya ingin melakukan yang terbaik untuk keluarga Mami. Tapi Mami tak pernah menyangka kamu, putra Mami."
"Mam ... maafkan Adam."
"Kamu enggak bersalah anakku. Ini semua salah Mami."
"Mam, aku belum melakukannya. Aku hanya ingin tahu tentang perasaanku terhadap Fara itu saja. Aku hanya ingin tahu apakah mencintainya hanya karena satu hal bukan karena aku benar-benar mencintainya. Jika aku mencintai seorang wanita bukankah aku pun harus mencintai apa yang ia cintai, keluarganya, keyakinannya dan dirinya. Benarkan Mam?" aku mengutip kalimat Bapa Hang.
"Mami paham, kamu ... sudah dewasa anakku."
"Mami jangan merasa bersalah atas apa yang telah aku lakukan. Aku akan berhenti jika memang perasaan itu hanya sesaat tapi Mam, sudah beberapa bulan semenjak aku merasakannya perasaan ini belum juga menghilang. Aku sangat mencintainya. Apa yang harus aku lakukan.."
"Hanya kamu sendiri yang bisa menjawabnya Anakku. Mami, Papi bahkan Bapa Hang tak bisa membantu. Mami yakin kamu bisa melakukannya dan memutuskan pilihan hidupmu."
"Mam ... aku enggak bisa hidup tanpa Fara."
"Mami tahu, kamu benar-benar anak Mami. Kamu akan komit dengan apa yang telah kamu pegang dan kamu selalu saja jika menginginkan satu hal tak ada yang bisa mengalahkan pemikiranmu dan kamu, jika kamu menyukai sesuatu kamu akan mempertahankannya. Aku tahu benar anak Mami." Ibu mengusap airmataku, "Apa kamu tahu, apakah ia memiliki rasa yang sama seperti apa yang kamu rasakan?"
DEG!
Benar kata Mami dan ini juga yang selalu aku pikirkan. Bagaimana jika rasa ini hanya aku sendiri yang merasakannya dan bagaimana jika Fara tak merasakan apa yang aku rasakan.
"Sebagai ibu, Mami hanya ingin memberikan yang terbaik untuk putra-putri Mami. Mami hanya ingin melihatmu bahagia. Apa pun yang kamu lakukan dan kamu putuskan asal kamu bisa bertanggung jawab atas apa yang telah kamu lakukan anakku."
"Mam ... aku menyayangimu." Aku memeluk erat ibuku, aku tahu betapa ibuku sangat mencintai keluarga ini. Ia demi aku, ayahku dan adikku berkorban demi kebahagiaan kami dan aku tak pernah tahu betapa ibuku memiliki hati yang kuat dan ia mampu menyimpan semua apa yang ia rasakan seorang diri.
Sementara aku ... apa yang telah aku lakukan? Perasaan ini, tentang rasa ini terhadap Fara bukan inginku.
***
"Dokter melamun?" Suara Suster Maria mengejutkanku, aku tersenyum kepadanya untuk menutupi rasa maluku karena telah kepergok olehnya.
"Ada apa Sus?" tanyaku pada Suster Maria.
Dia segera menyodorkan berkas berwarna biru dari tangannya lalu menjawab, "Ini Dok, jadwal operasi untuk minggu ini." Aku mengambil berkas dari Suster Maria lalu membuka halaman pertama, membacanya dengan serius.
Suster Maria masih berdiri di sisi kanan meja.
"Baiklah, semua sudah siap khan Sus?" Tanyaku masih menunduk sembari membuka halaman berikutnya.
"Sudah Dok, semuanya ready. Tinggal menunggu persetujuan Dokter Adam saja."
"Oh.. seperti itu yah.." gumamku sambil menganggukkan kepala.
Setelah semua berkas telah aku baca dan memastikan semuanya, kukembalikan kepada Suster Maria.
"Terima kasih Dok." Suster Maria mengambil berkasnya kembali, aku tersenyum mengangguk.
Setelahnya kembali memeriksa dokumen yang ada di atas meja kerjaku, saat Suster Maria hendak keluar, langkah kakinya terhenti, berbalik lalu berkata, "Oh ya Dok, kemarin saya lihat ayah Dokter Adam ada di sini."
"Papi datang ke sini?" tanyaku sedikit terkejut.
Kenapa ayah dan ibuku tidak pernah memberitahu kalau ayah ke rumah sakit ini, aku menunduk menahan emosiku sesaat teringat apa yang dikatakan ayah seminggu yang lalu perihal penyakitnya, lalu ibuku ... kenapa dia tidak sekalipun memberitahu aku.
Dari balik kacamata sepatu warna hitam Suster Maria masih berada di depan pintu, sengaja aku menunduk, tidak ingin dia melihat ekspresi wajahku saat ini. Orang-orang terdekatku pasti tahu perubahan raut wajahku.
"Dokter Adam.." panggil Suster Maria.
Aku hanya menjawab lirih tanpa melihatnya, "Mm.."
Dia berjalan dua langkah lalu berhenti, sudut sepatunya dapat kulihat, "Papi enggak kenapa-kenapa khan Dok? Saya melihatnya masuk ke ruangan Dokter Aliando" kedua tangan Suster Maria mencengkram erat berkas yang kini berada tepat di depan perutnya, dia khawatir tentang ayahku.
Saat itu juga aku mengangkat wajahku lalu tersenyum lebar, menatapnya agar dia tidak berpikiran yang macam-macam tentang ayahku lalu aku berkata, "Semoga aja enggak ya, nanti saya coba tanya ke Dokter Aliando ya." Kataku kepadanya.
Tidak mungkin khan kalau aku mengatakan kalau aku tidak tahu apa-apa tentang kesehatan ayahku sendiri.
Suster Maria tersenyum, ada sedikit bahagia saat aku mengatakan bawah aku akan memastikannya ke Dokter Aliando.
Biar bagaimanapun Suster Maria sudah sangat dekat dengan kedua orang tuaku, mereka sering bertemu di rumah saat acara tertentu. Maklum keluarga Suster Maria jauh jadi ibuku selalu suka mengudangnya ke rumah menemani kami.
"Baik Dok, saya permisi." Pamit Suster Maria, aku mengangguk.
Suster Maria berbalik menuju keluar ruangan, lalu menutup pintu. Dia menghilang dibalik pintu.
Kini, banyak pertanyaan di kepalaku tentang penyakit ayah. Aku bak anak durhaka yang hanya memikirkan diriku sendiri. Sementara ayahku sedang kesakitan dan pasti ibuku orang yang paling bersedih saat ini,
Adam, apa yang kau lakukan selama ini.
***
Saat kuketuk pintu ruangan Dokter Adam, suara beberapa orang tengah berbicara dari dalam ruangan.
Kebetulan pasienku hari ini tidak begitu banyak, jadi aku punya waktu untuk menemui Dokter Aliando di ruangannya.
Untuk yang kedua kalinya kuketuk pintu, terdengar suara dari dalam, "Masuklah" suara Dokter Aliando yang ku kenali.
Dokter Aldo tengah duduk di kursi saat aku membuka pintu, dia tersenyum padaku. Tangannya melambai mengajakku untuk masuk dan mempersilahkan duduk di depannya.
Meski terbilang sudah setengah baya Dokter Aliando masih terlihat sehat dan smart untuk orang seusianya. Mungkin karena dia selalu berpikir positip dan banyak memberikan kebahagiaan kepada orang lalu balik ke dirinya.
Aku pun baru mengetahuinya kalau dia teman sekolah ayahku saat SMA.
"Dokter Adam, kebetulan sekali" aku baru saja duduk di kursi saat Dokter Aliando berkata.
Aku menatap wajahnya serius, dia pun terlihat serius. Aku tahu apa yang ingin dia sampaikan, sama halnya apa yang ingin aku tanyakan.
Dokter Aliando berbalik memunggungi aku, menarik laci yang mengeluarkan suara decitan, lalu dia mengeluarkan amplop berwarna biru dari dalam laci, kembali dia menghadapku, "Baiklah, aku tahu kedatanganmu ke sini Dokter Adam." Dia tersenyum sambil meletakkan amplop biru di atas meja menyodorkan kepadaku.
Aku menatapnya tajam, lalu melirik ke amplop biru yang ada di hadapanku, jelas tertulis nama ayahku, itu rekam medis miliknya.
Lama aku terdiam, masih menatap amplop dan Dokter Aliando secara bergantian. Seakan dia paham apa yang tengah aku rasakan, Dokter Aliando memberiku waktu.
Aku mendesah pelan, menarik napas lalu meraih amplop biru itu. Membukanya dengan perlahan.
Tanganku ragu saat ingin membuka amplop biru itu, tertahan tanpa bergerak. Rasanya aku sendiri tak sanggup untuk membacanya, lalu aku memutuskan untuk menutupnya kembali.
Kali ini Dokter Aliando mengerti dengan apa yang aku alami, dia menarik kursinya, mengambil pulpen dari saku jas putih miliknya, diputar-putar di sela-sela jari kanannya, yah kebiasan Dokter Aliando memang seperti itu ketika dia menjelaskan sesuatu yang sangat penting, Aku sudah memahaminya.
"Jadi gini ... Sebenarnya ayahmu enggak ingin aku memberitahumu, tapi karena kamu sudah tahu. Yah mau gimana lagi. Dari mana kamu tahu ayahmu datang ke tempatku?" tanya Dokter Aliando padauk.
"Suster Maria." Jawabku dengan masih penasaran.
"Oohhh ... yah yah ... " Dokter Aliando mangggut-mangut.
Ayahmu datang ke sini sebulan yang lalu dan kemarin untuk yang kedua kalinya tanpa sengaja Suster Maria ke ruanganku dan mungkin melihat ayahmu. Sudahlah, mungkin Tuhan sudah mengatur semuanya."
"Ada apa dengan ayah, Dok?" Aku bertanya langsung karena penasaran dengan apa yang terjadi dengan ayahku.
"Mm ... aku sudah memeriksanya. Jantung ayahmu bermasalah. Dan untungnya aja dia datang tepat waktu, kalau terlambat mungkin ... aku tak bisa berbuat banyak. Ayahmu seorang lelaki yang kuat, aku sangat mengenalnya. Ini sebenarnya sudah lama sekali, ia tak ingin mengkhawatirkan keluarganya. Aku sendiri sebenarnya sudah sering kali mengingatkan untuk mengatakan hal ini kepada kalian. Dan terutama kepadamu, tapi mungkin ayahmu tak ingin membuat kalian khawatir. Jantungnya bermasalah sudah hampir satu tahun yang lalu, ia sangat rajin untuk kontrol dan datang menemuiku ketika aku berada di Jakarta. Kau jangan salah paham terhadapnya, ia sangat menyayangimu, ia hanya tak ingin merepotkanmu."
Kata-kata Dokter Aliando menohokku, betapa aku saat ini membenci diriku sendiri.
Aku hanya terdiam mendengar penjelasan Dokter Aliando, seakan kepalaku dipukul benda seberat batu besar patung candi Borobudur, bagaimana mungkin aku tak pernah mengetahui kondisi ayahku sendiri.
Aku lemas sekali. Ayah. Maafkan aku!
Aku bukanlah seorang anak yang baik. Bagaimana mungkin aku tak pernah mengetahui kondisi ayahku sendiri, ayah terlalu bekerja keras dan mungkin masalah perusahaan membuat jantungnya bermasalah.
Dokter Aliando memberiku segelas air mineral kemasan, dia menatapku iba. Perlahan aku meminum air mineralnya sebelum mendengarkan kembali penjelasan Dokter Aliando. Rasanya air mineral ini pun tak berasa di tenggorokanku saat ini.
Dokter Aliando menaruh pulpennya di atas meja, kini kedua tangannya dilipat ke dada, punggungnya bersandar pada kursi, dia menarik napas panjang lalu berkata lagi, "Aku sudah sering kali menyuruhnya untuk tak terlalu bekerja keras, dia sangat mengkhawatirkan karyawannya. Satu hal lagi dia sebenarnya ingin sekali kamu menggantikannya untuk menjadi penerus usahanya namun kau tak punya passion untuk hal itu dan ayahmu tak ingin memaksakan kehendaknya. Agnes-lah satu-satunya harapan dia untuk meneruskan usahanya nanti."
Tidak ada yang aku pikirkan saat ini selain ingin segera pulang menemui ayahku,
Aku, aku tidak pernah memikirkan perasaan ayahku sendiri. Betapa ayahku sangat menyayangiku, ia tidak pernah memaksaku untuk menjadi apa yang ia inginkan. Ketika aku memutuskan untuk menjadi seorang dokter ayahku sangat mendukung keinginanku dan ia benar-benar men-support-ku. Aku tidak pernah menyangka betapa ayah ...
Tepat saat aku merasa sesak Dokter Aliando menarik badannya lalu membuka amplop biru menyodorkannya ke aku, "Dokter Adam, ini adalah hasil rekapan jantung ayahmu." Dokter Aliando menunjuk ke sebuah catatan di kertas biru lalu dia melanjutkann kalimatnya, "Kau bisa lihat ada pembengkakan di sebelah kanan dan ini bisa membahayakan kesehatannya." Setelah itu Dokter Adam mendesah, kembali menyandarkan badannya ke kursi.
Aku hanya termangu membaca keterangan yang ada di kertas biru itu, jelas sekali diagnosanya. Setelah itu aku mendongak dan berkata pada Dokter Aliando, "Dok, lalu apa yang akan Dokter lakukan?"
"Mmm ... begini." dia menghentikan kalimatnya,
"Aku sudah menyuruhnya untuk melakukan chek-up seminggu sekali dan untuk saat ini aku hanya bisa memberikan beberapa resep, jika memungkinkan jalan satu-satunya harus dilakukan tindakan medis dengan karena jika tidak akan fatal akibatnya. Aku sudah memberitahunya kemungkinan terbesar jika tak segera dilakukan ia akan sering mengalami sesak napas. Yang aku khawatirkan akan lebih parah kalau terkena serangan jantung mendadak akibatnya kamu tahu sendiri khan, bisa stroke bahkan kematian."
"Dokter, separah itukah kondisi ayahku?" tanyaku padanya kali ini aku sudah tidak bisa menahan air mataku yang sudah mengalir di kedua sudut mataku,
"Yah..." jawab Dokter Aliando lalu dia tersenyum.
Senyum itu bukan bermaksud menertawakanku, tapi dia tahu aku menyayangi ayahku.
"Dok, sungguh aku tak pernah tahu tentang hal ini." Kataku sambil menyeka air mata dengan tisu yang diberikan Dokter Aliando kepadaku.
Rasanya baru kali ini aku mengeluarkan air mata di hadapan orang asing.
"Aku paham dengan pemikiran ayahmu, semua orang tua pasti akan melakukan ini aku pun kalau jadi ayahmu akan melakukan hal yang sama. Seperti itulah orang tua tidak ingin membuat anaknya khawatir."
Aku mengangguk tegas saat Dokter Aliando menyudahi kalimatnya.
Tuhan ... apa yang harus aku lakukan.
Dokter Aliando tersenyum dengan ekspresi menenangkan dan berkata, "Dam, kau harus bisa meyakinkan ayahmu untuk segera melakukan tindakan medis sebelum terlambat"
Aku mengangguk tegas lalu ikut tersenyum dan menjawab, "Baik Dok, terima kasih sudah menjaga ayahku selama ini."
Dokter Aliando mengangguk.
Setelah kami selesai berdiskusi tentang ayahku, akhirnya aku berpamitan kepada Dokter Aliando.
Dia menepuk pundakku saat aku hendak keluar ruangan.
Kaki terasa tak bisa bergerak, semua persendianku terasa lemas. Apa yang aku pikirkan saat ini adalah tentang ayahku.
Wajah ayahku terlintas lalu senyumnya dan wajah ibuku ketika ia tahu suami tercintanya tengah mangalami kondisi seperti ini.
Aku tidak pernah menyangka betapa ayahku sangat tangguh, ia menyimpan semua ini sendirian tanpa sedikitpun mengeluh padaku aku atau ibuku.
Aku sadar, bagaimana mungkin ia selalu membanggakan diriku di depan semua orang sementara aku tidak pernah tahu tentang kondisi kesehatannya.
Aku sibuk dengan hidupku sendiri tanpa pernah memperhatikan keadaan ayahku. Aku duduk lemas di kursi saat tiba di ruanganku sendiri.
Aku tidak bisa menahan airmataku. Mengapa semua ini terjadi secara bersamaan, masih bisakah aku mengelak semua ini. Pertunanganku dengan Ester dan perusahaan ayah serta kondisi ayah saat ini.
Lalu bagaimana dengan perasaanku.
Tuhan... apa yang harus aku lakukan.
Menemui Bapa Hang, tidak mungkin akan sama nasehatnya seperti ibuku bilang hanya aku sendiri yang dapat memutuskan semua ini. Meninggalkan profesiku sebagai dokter dan membantu ayah mengurus perusahaannya yang telah lama ia bangun.
Saat ini ia tengah terpuruk, menjadi seorang suami yang baik dan menjadi putra yang berbakti kepada kedua orang tua, merawat ayah. Apakah seklise itu hidupku.
Tuhan ... aku tidak mengerti dengan semua ini. Aku harus bisa berpikir dengan jernih. Haruskah semuanya... bagaimana denganku. Apakah aku harus mengorbankan hidupku, namun jika aku terus maju dengan keinginanku sendiri apakah aku terlalu egois.
Ayahku, ibuku ... semua tergantung kepadaku.