Aku berhenti di depan sebuah bangunan sederhana dengan halaman yang tak begitu luas, bangunan itu semi permanen, di depan halamannya terparkir gerobak yang sudah tua.
Lama kupandangi rumah itu, aku sendiri tak mengerti mengapa tiba-tiba aku sudah berada di sini.
Bangun tidur aku langsung bergegas mandi dan meluncur dengan mobil sedanku lalu berakhir di tempat ini.
Aku beralasan kepada ibuku yang sudah mempersiapkan sarapan pagi lengkap di meja makan.
Aku harus segera ke rumah sakit, kataku pada ibu, lalu bergegas pergi tanpa sedikit pun menoleh kepadanya. Entah bagaimana ekpresi wajah ibuku saat kepergiaanku tadi dengan sangat tergesa-gesa.
Lalu aku teringat, bukankah sekarang hari libur.
Oh, Adam.
Aku menyandarkan tubuhku ke kursi mobil, mendesah, lalu nenertawakan diriku sendiri. Langit sedikit mendung, matahari enggan sepertinya untuk memperlihatkan wajahnya. Kaca mobilku sedikit berdebu menghalangi pandanganku keluar.
Suasananya masih sepi, gang sempit, dengan rumah tanpa jarak, terasa sesak. Kontras dengan lingkungan tempat tinggalku. Tong sampah terjatuh di sembarang tempat, got yang terbuka penuh dengan sampah pembungkus makanan. Jalanan aspal yang sudah mengelupas, bebatuannya mencuat digenangi air hujan.
Beberapa warga mulai keluar rumah, ada yang mendorong gerobak, memanggul kayu dan kardus, serta membawa tas besar, entah apa yang akan mereka lakukan. Lingkungan padat penduduk, beberapa saat rasanya tidak nyaman berada di sini.
Beberapa orang mulai menatap ke arahku. Aku baru tersadar kalau keberadaanku saat ini menjadi bahan tontonan warga.
Ah, gila!
Seharunya aku tidak boleh sepert ini.
Lalu aku teringat percakapan dengan Alif di Kafe daerah Kemang setelah acara sosial kemarin. Kami mengobrol banyak tentang masa kuliah dan Fara. Tak pernah terpikir olehku Fara sosok gadis yang sangat kuat. Dari Alif, aku mengetahui alasan Fara datang ke rumah sakit tempatku bekerja.
"Aku menyuruhnya menemuimu, karena aku pikir kamu pasti bisa membantunya, Dam."
"Jadi kau sudah lama mengenal Fara?"
"Tidak juga. Saat itu di Rumah Sakit Umum pemerintahan tempatku bekerja aku enggak sengaja bertemu Fara. Saat itu aku mau menemui salah satu dokter senior untuk menanyakan beberapa hal kepadanya dan aku melihat Fara tengah bersedih duduk sendirian di sudut ruangan, dia menangis. Awalnya aku cuek tapi enggak tahu kenapa tiba-tiba aku sudah duduk disampingnya dan menanyakan apa yang terjadi kepadanya. Fara awalnya diam mungkin karena takut baru melihatku tapi setelah kuberitahu aku seorang dokter ia akhirnya bercerita. Tentang kepanikannya untuk menjalani operasi yang dianjurkan dokter bedah kepadanya. Bukan karena operasi yang ia takutkan tapi lebih hal mengenai materi. Fara cerita bahwa ia sudah hampir enam tahu menderita penyakit kelenjar Hyperthyroid dan kedua orang tuanya tidak ada satupun yang mengetahui tentang penyakitnya. Fara tidak ingin kedua orang tuanya sedih dan mengkhawatirkannya." Alif terdiam, matanya menerawang. Ia pun melanjutkan kembalinya ceritanya.
"Dan Fara mengatakan kepadaku bahwa Bapaknya hanya seorang penjual buah keliling, Ia dapat kuliah karena program beasiswa, bagaimana mungkin ia bisa membayar biaya operasi. Selama ini saja ia hanya meminum ramuan tradisional karena obat-obatan untuk penyakitnya terlalu mahal. Aku memberinya saran utuk ikut program kesehatan pemerintah dan aku beritahu prosedur pengajuannya, untungnya dia mau menerima setelah itu aku kasih kartu namamu dan rumah sakit tempatmu bekerja. Karena aku tahu di rumah sakit tempatmu bekerja menerima program kesehatan gratis untuk masyarakat tidak mampu."
"Tapi kenapa setelah operasi dia enggak datang lagi Lif?" kataku menyela, Alif hanya menggeleng.
"Bapak Fara sangat marah ketika mengetahui Fara menyembunyikan penyakit darinya dan parahnya lagi Fara memilih rumah sakit tempatmu bekerja. Kamu paham kan kenapa Bapaknya enggak datang untuk menjenguk atau menemani Fara saat operasi."
Aku mengangguk.
"Bapaknya sangat idealis dan berprinsip. Kamu tahu sendiri bapaknya itu tidak memiliki wawasan luas atau bisa jadi keyakinannya yang kuat membuat bapaknya Fara bersikap seperti itu. Bapaknya tidak terima Fara harus dirawat di tempatmu yang notebene, maaf! Rumah sakit kristen. Fara sudah menjelaskan kepada bapaknya, namun ia tetap tak menerimanya. Nah, setelah Fara kembali dari rumah sakit sang bapak melarang Fara kembali kontrol. Ia hanya minum jamu untuk kesembuhan luka bekas jahitan untungnya itu jahitan laser jadi enggak perlu kembali lagi untuk membuka bekas jahitannya."
"Aku paham." Kataku lalu aku teringat Fara.
"Sejak saat ia masuk rumah sakit ia selalu mengirimi aku kabar dan aku menyuruh dia agar jangan memberitahu kamu tentang aku." Alif meringis dan menyeruput kopi pesanannya.
DASAR!!
Aku sedikit kesal mendengar kalimat terakhirnya.
"Fara selalu kirim email ke kamu, Lif?" tanyaku penasaran.
"Iya, ia selalu pinjam ponsel milik suster katanya, dan aku baru tahu kemarin dia cerita kalau suster itu namanya Maria."
"Suster Maria?" kataku kaget, Alif mengangguk.
"Kenapa?" Alif menatapku penuh selidik, aku menggeleng lalu ku jawab, "Enggak."
"Jangan-jangan kamu punya hati sama Fara ya.." Alif menggodaku sambil menyeruput kopi miliknya, sudut matanya terangkat, dia memperhatikanku intens, mencari sesuatu.
Aku hanya diam tak beraksi, atau dia akan tahu kalau aku berekspresi berlebihan. Kali ini aku bisa membohonginya.
"Yah, aku tahu bisa-bisa kamu digorok sama Papimu karena jatuh cinta sama gadis muslim." Alif tertawa lebar, dia merasa puas membuatku tak bisa berkutik, perkataannya memang benar, ayahku..
"Kayak gituh sih ceritanya Dam, gimana aku ketemu sama Fara"
Aku hanya mengangguk berkali-kali sambil menyeruput minuman dingin milikku, kalau Alif suka kopi panas, aku sebaliknya, lebih memilih minuman dingin karena aku tidak bisa minum atau makan makanan panas.
Saat aku melamun mengingat percakapanku dengan Alif, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara yang mengetuk kaca mobil, ada empat orang berdiri di depan mobilku. Aku langsung membuka kaca, "Iya Pak."
Seorang lelaki setengah baya menundukkan kepala dan berkata, "Maaf Mas, mobilnya menghalangi jalan warga." Bapak itu menunjuk ke depan. Ah iya, aku lupa ini gang sempit.
"Baik Pak, maaf " Jawabku sambil berkali-kali mengangguk, setelah itu aku langsung tancap gas dan berlalu meninggalkan daerah itu.
Adam, kau sudah gila.
Berkali-kali aku merutuki diriku sendiri, apa yang aku lakukan.
Adam, sadarlah!
Di tengah jalan raya aku memacu mobil dengan kecepatan tinggi, pada akhirnya aku berteriak kencang, melepaskan semua yang ada dikepala dan dadaku.
Tuhan ... apa yang harus aku lakukan.
Mungkinkan ini kutukan!
"Hei pelan-pelan.."
"Kau sendiri bagaimana Lif?" aku balik bertanya agar ia tak mencercaku dengan pertanyaannya lagi.
"Doakan saja secepatnya, dalam agamaku. Menikah muda lebih baik jika sudah benar-benar siap."
"Kau sudah punya calon?" Alif mengangguk dengan yakin.
"Hebat kau." aku menepuk pundaknya.
"Aku berencana ingin melamarnya, tapi aku sendiri belum yakin apakah ia mau menikah denganku."
"Kau tampan, pintar pasti banyak yang mau denganmu."
Percakapan kami malam itu di Kafe dengan Alif membuatku ingin menemui Fara. Aku semakin tak bisa mengendalikan emosi perasaanku sendiri. Aku ingin sekali melindungi dan memberikan kenyamanan kepada Fara. Tapi konyolnya, aku harus sadar.
Aku ini siapa? Dan aku yakin ia akan mencurigaiku. Apa yang harus aku lakukan? Suara ketokan dari kaca jendela mobil membangunkan lamunanku, aku menoleh, Fara.
Kubuka kaca jendela dengan cepat.
"Dokter Adam, apa yang sedang dokter lakukan di sini." tanya Fara penuh selidik kepadaku.
Aku blingsatan dan apa yang harus aku katakan, aku tak mungkin jujur mengatakan ingin menemuinya.
"Dokter?"
"Yah ... Yah.. Eh, aku hanya ingin bertemu kamu."
Uppsss .... Aku apa yang baru saja aku katakan tapi sudah terlanjur...
"Bertemu sama saya Dok?" wajah Fara berubah terkejut saat mendengar jawabanku.
Aku membuka pintu mobil dan keluar didepan pintu orang tua Fara berdiri berdampingan menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya, ayahnya menatapku tajam.
"Ada yang ingin aku bicarakan tentang penyakitmu." Alasan yang tepat untuk saat ini tapi tak masuk akal.
Aku dokter!
Ngapain susah payah mendatangi pasien dan itu lucu, tapi aku sudah terlanjur basah. Aku tak peduli, ketika bola mata Fara penuh selidik menatapku.
"Tunggu!"
Aku membuka lagi pintu mobil dan membuka desbord, aku ingat buku catatan Fara, nah itu saja alasan aku ke sini, lebih masuk akal walau sebenarnya aku tak ingin mengembalikannya.
"Maaf Fara, ini." aku memberikan sebuah buku miliknya.
Fara tercengang melihat buku catatan miliknya berada di tanganku.
"Dokter, dari mana kau dapatkan ini. Aku mencarinya di mana-mana."
"Saat itu terjatuh di ruang praktekku dan aku lupa untuk mengembalikannya karena kau tak kembali lagi setelah ...."
"Maafkan aku Dok, terima kasih untuk bukunya." Fara mengangkat bukunya dan tersenyum.
"Ndok[1], ajak nak dokter masuk ke rumah."
Ibu Fara berteriak menyuruh Fara mengajak aku untuk masuk dengan logat jawa kental.
"Mari dok, mampir ke rumah saya, tapi maaf beginilah keadaannya." Fara berjalan lebih dulu aku mengekor dibelakangnya, ketika aku bertatapan dengan ayah dan ibunya, aku menjabat tangan ibu Fara dan ayahnya sedikit tak bersahabat. Aku mengikuti mereka masuk ke dalam rumah.
Hanya ada kursi rotan yang telah terkoyak dan tak ada apa-apa di ruang tamu, dua kamar tidur dan ruang tamu disekat bagi dua ruangan untuk dapur dan ruang tamu sangat sederhana jauh sekali dengan tempat tinggalku.
Aku duduk dengan canggung, apa yang ada dipikiranku. Atas alasan apa aku berada di tempat ini. Aku seumur hidupku tak pernah tahu tentang yang namanya cinta, dan kuyakin semua yang kulakukan saat ini daya magnet sebuah rasa atas nama cinta, tapi aku tak yakin. Aku masih saja teringat Bapa Hang tentang pertanyaannya padaku, atas nama apa aku mencintainya. Dan itu yang saat ini tengah aku cari.
"Monggo Dok, kami hanya punya ini." Ibu Fara meletakkan dua gelas teh masih panas terlihat dari uap dan asap diatas gelas dan sepiring singkong rebus.
"Iya terima kasih."
"Ada apa yang nak dokter datang ke sini."
"Hmmm.. saya hanya ingin mengembalikan buku milik Fara Bu, kebetulan lewat sini."
"Oohhh..." tiba-tiba ayah Fara berbicara padaku.
"Dokter, yang mengoperasi anak saya Fara?" akhirnya sang Bapak angkat bicara setelah dari tadi dia hanya diam menatapku tanpa berkedip sedikitpun.
Wajahnya nampak tua dari usia sesungguhnya, guratan lelah dan beban yang ia rasakan. Sebenarnya Bapak Fara orang yang baik aku bisa merasakannya. Tubuhnya kurus dengan songko dan sarung kotak-kotak serta kaos putih oblong yang warnanya sudah berubah menjadi agak kekuningan.
"Terima kasih Dok, saya belum mengucapkan ini sama Dokter."
"Ya Pak, sama-sama."
"Silahkan Dok diminum dan dicoba singkong rebusnya."
Aku mengambil satu potong singkong rebus yang masih panas berkali-kali aku tiup walau sebenarnya untuk kesehatan memakan makanan yang masih panas sangat tidak boleh dilakukan karena tidak baik untuk kesehatan, uapnya akan kembali kita hirup dan itu yang membuat seseorang terkena serangan jantung. Tapi apa boleh buat, aku harus melakukannya. Tak lama kemudian Fara keluar dari kamar tidurnya, ia telah rapi dan siap untuk berangkat kuliah.
"Dokter, aku mau berangkat ke kampus. Apa Dokter masih mau di sini bersama Bapak dan Mamak?"
"Hmmm.. kita barengan saja Fara, kebetulan kan kita satu arah."
"Wah jangan Dok, nanti merepotkan. Kampus aku kan jauh."
"Tidak apa-apa sekalian jalan. Bagaimana?"
"Aku naik angkot saja."
"Fara, jangan menolak kebaikan seseorang." Aku sedikit beralasan
"Baiklah." Akhirnya ia mengalah
Aku berpamitan dengan kedua orang tua Fara.
Fara mencium tangan ayah dan ibunya. Dan aku menyalakan mesin melambaikan tangan kepada ayah dan ibu Fara. Fara duduk disampingku terlihat canggung, aku sendiri bingung karena ini kali pertama seorang gadis duduk di sebelahku di dalam mobilku. Hanya ibu dan adikku Agnes yang selalu menemaniku. Tapi kini, Fara berada dekat denganku. Aku masih diam apa yang ingin aku katakan untuk mencairkan suasana ini.
"Dok, terima kasih sudah repot datang ke rumah untuk mengembalikan bukunya." Fara membuka pembicaraan terlebih dahulu.
"Oh yah." Hanya itu saja, aaahhhh... basi menertawakan diriku sendiri.
"Bagaimana kabar Suster Maria??"
"Baik"
"Dokter tidak kesiangan datang ke rumah sakit."
"Hmmm.. hari ini jadwal aku siang. Oh yah, aku dengar dari Alif, katanya kau aktif di salah satu organisasi Islam ya."
"Yah seperti itulah dok."
"Sudah berapa lama kamu menjadi aktifis di kampus."
"Sejak pertama kali masuk kuliah. Dok, tidak mengapa dokter sama aku seperti ini. Nanti ada yang melihat kasihan Dokter."
"Memang kenapa Fara?"
"Enggak kenapa-kenapa."
"Oh yah, bagaimana dengan lehermu apa masih ada rasa sakit atau sudah baikan. Tak terjadi apa-apa, kan?"
"Dokter, alhamdulilah aku baik-baik saja. Dan leherku, bekas jahitannya tidak terlihat dengan jelas. Namun agak nyeri hingga sekarang. Kadang saat aku menoleh dengan tiba-tiba rasa sakit terasa sekali di leher seperti ada yang tertarik."
"Kamu harus pelan-pelan Fara, walau kamu terlihat baik-baik saja tapi secara medis dalam tubuhmu lukanya belum sepenuhnya mengering. Kamu harus hati-hati."
"Dok, kenapa Dokter baik sekali."
"Aku ... kebetulan aku berteman dengan Alif, dan kamu adalah teman Alif jadi temanku juga." Aku akhirnya pintar mencari kalimat.
Aku sudah menduganya, Fara curiga dengan sikapku. Memang aneh jika seorang dokter tiba-tiba datang ke rumah pasien hanya dengan alasan mengembalikan buku milik pasien. Aku tersenyum dan sesekali melirik Fara duduk disampingku tak bergerak dari kaca di atas tepat Fara duduk. Tuhan tak mengapa jika hanya ini yang kau berikan padaku.
Aku bahagia bisa duduk sedekat ini dengannya. Satu hal bahwa ternyata aku memang sungguh tak bisa melupakan Fara. Seperti inikah cinta, ekpetasinya begitu luar biasa. Aku seumur hidupku, baru kali ini aku merasakan ... sesuatu yang tak dapat aku ungkapkan tentang perasaan ini. Kunikmati kebisuan antara aku dan Fara, hanya suara deru mobil melaju dan mengiringi detak jantungku yang berdetak dengan kencang semakin tak beraturan seakan beradu dengan kecepatan mesin mobil sedanku.
Inikah yang dinamakan cinta ...
[1] Panggilan kesayangan untuk anak perempuan orang Jawa