Chereads / DOKTER TAMPAN JATUH CINTA / Chapter 9 - Beasiswa

Chapter 9 - Beasiswa

"Dokter Adam." Panggil seseorang.

Aku menoleh, Dokter Aliando berjalan mendekatiku, aku berhenti dan menunggunya.

"Ada apa Dokter?" tanyaku penasaran melihat ekpresi wajahnya yang nampak serius.

"Bisa kita bicara sebentar, kau ada waktu atau .."

Aku langsung mengangguk, kami berjalan menuju sebuah kantin khusus para dokter. Kami berjalan beriringan, letak kantin tak jauh hanya beberapa langkah, kami sudah berdiri di depan kantin, sedikit ramai dengan kursi di beberapa sudut, para dokter muda.

Aku mempersilahkan Dokter Aliando untuk masuk lebih dulu dan kami memilih duduk di dekat jendela sudut kanan. Aku duduk berhadapan dengan Dokter Aliando.

"Ada apa Dokter mencari saya?" Aku membuka pembicaraan.

Dokter Aliando membenahi duduknya memandangiku.

"Begini Dokter Adam, aku berencana merekomendasikanmu untuk mendapatkan beasiswa belajar ke Jerman tahun depan. Dan kalau kau bersedia aku akan kirim surat resmi kepada pihak universitas di sana dan kau bisa mempersiapkan semuanya sekarang. Aku sudah mengajukan usulanku ke direksi rumah sakit kita dan mereka setuju dengan usulanku. Bagaimana?"

"Saya?"

Aku entah apa yang harus aku katakan, aku sangat senang mendengar berita ini.

Jerman adalah salah satu negara yang ingin aku datangi tapi ... aahh. Mengapa aku selalu memikirkan gadis itu. Fara melintas dalam pikiranku, Shit!

"Dokter Adam" suara Dokter Aliando menyadarkan lamunanku. Gelagap aku menjawabnya, "Hmmm.. iya"

Aku sedikit malu ketika Dokter Aliando menatapku, ah apa yang baru saja aku pikirkan, Stop Adam, berhentilah memikirkan gadis muslim itu.

"Yah, hmmmm... mengapa harus saya Dok, bukankah banyak dokter lain yang lebih berkompeten dan lebih senior dibandingkan saya."

"Aku tahu, tapi kau memiliki potensi untuk maju dan kau merupakan dokter terbaik di rumah sakit ini. Raport pelayananmu di sini tak ada cacat sekalipun. Aku ingin ada penggantiku sebelum aku menutup usia nanti."

"Dokter, apa yang kau katakan. Dokter masih terlihat sehat."

"Dokter Adam, tak ada yang tahu tentang takdir. Aku berusaha melakukan yang terbaik dalam hidupku agar nanti ketika aku pergi untuk selama-lamanya aku akan pergi dengan tenang karena aku telah banyak melakukan pelayanan untuk umat." Jawab Dokter Aliando bijaksana sambil tersenyum.

Aku terdiam, Dokter Aliando yang sudah lanjut usia masih saja memikirkan umat, sementara aku sibuk dengan perasaanku tentang seorang gadis, seharusnya aku bisa mencontoh Dokter Aliando. Akhirnya aku tersenyum menatapnya tegas dan berkata, "Akan aku pikirkan Dokter Aliando."

"Tak perlu kau pikirkan anak muda. Sebaiknya kau ambil saja, atau kau akan menyesal nanti. Ini adalah kesempatan sekali seumur hidupmu, kau tahu Profesor Alexander di Jerman masih mengajar di sana dan jika kau tak mengambilnya sekarang kau tak akan bertemu dengannnya lagi karena ia sudah berencana pensiun dua tahun lagi dan mengabdikan diri untuk pelayanan Tuhan."

"Profesor Alexander, yah aku tahu." Kataku, siapa yang tak mengenalinya seorang ahli bedah yang terkenal di dunia kedokteran universitas kami dan ia merupakan satu-satunya ahli bedah yang memiliki keahlian dan kecerdasan luar biasa. Ini kesempatan seumur hidup, kata-kata itu terngiang di telingaku. Dokter Aliando benar, dan masih tahun depan bukan. Masih banyak waktu mengapa aku harus berpikir.

"Dokter, baiklah aku akan mengambilnya." Jawabku mantap.

"Sudah kuduga kau pasti mau. Selamat Dokter Adam." Ia mengulurkan tangannya dan aku dengan cepat menjabat tangannya.

"Pastikan semua baik dan aku akan segera mengirim kabar kepada pihak universitas di Jerman tentang pengirimanmu."

"Terima kasih Dokter." mata Dokter Aliando berbinar-binar ketika aku mengatakan aku bersedia untuk pergi ke sana belajar melanjutkan studiku. Ia berdiri dan menepuk pundakku.

"Baiklah, aku duluan Dokter Adam." Dokter Aliando sudah berdiri.

Aku pun berdiri dan menundukkan badan.

"Tak usah mengantarku." Katanya dengan suaranya yang lembut dan terdengar bijaksana.

Aku tersenyum kepadanya, Dokter Aliando telah menghilang dibalik pintu, aku mengamati meja bulat dihadapanku.

Jerman.

Benarkah, sungguh impian yang selama ini aku inginkan, aku tersenyum dan ingin rasanya secepatnya pulang memberitahu kabar bahagia ini kepada ayah dan ibuku.

...

"Benarkah?"

Ibu menatapku tajam dan memelukku ketika aku memberitahu tentang kabar bahwa aku mendapat beasiswa belajar di Jerman tahun depan atas rekomendasi Dokter Aliando.

"Terima kasih Tuhan." Ibu berkali-kali mengucap syukur.

"Papi bangga memiliki putra seperti kamu." Ayahku tersenyum duduk dihadapanku.

"Makanlah, kau pasti lapar sekali. Sudah lama kita tak berjumpa seperti ini makan malam bersama semenjak malam natal kemarin. Betapa Mami merindukan semua ini." Suara ibuku terdengar parau, sesak seperti menahan sesak, aku paham apa yang tengah ia rasakan, tentang perasaanku.

Maafkan anakmu, Mom.

Aku merasa bersalah ketika ibuku mengatakan kalimat tersebut. Aku hanya bisa tertunduk, tak seharusnya aku membuat ibu terluka atas sikapku saat itu. Aku tahu betapa ibu sangat mencintaiku dan ia selalu membanggakan aku.

Dari kecil ibu adalah segalanya bagiku, tanpanya aku tak mungkin menjadi seperti ini. Bukan aku tak patuh kepadanya, tapi ... ah rasa ini membuatku makin frustasi.

Aku menyendok nasi dan mengambil beberapa potong irisan daging, kulahap dengan cepat tenggorokanku serasa tercekat, ibuku memperhatikanku sambil tersenyum. Ayah sibuk dengan koran ditangannya karena ia telah selesai makan sebelum aku pulang.

"Bagaimana mungkin mereka bisa melakukan ini." Tiba-tiba ayahku mengeluarkan kalimat. Aku menghentikan makanku dan menatapnya.

"Coba kau bayangkan, tak seharusnya mereka berbuat anarkis seperti ini. Bukankah agama mereka mengajarkan mereka untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain."

"Ada apa Pap?" tanyaku, ayah melipat korannya dan menatapku.

"Teroris, mereka melakukannya lagi."

"Pap, jangan terprovokasi dengan berita di koran. Kita belum tahu pasti tentang kebenaran berita itu."

"Bagaimana mungkin berita ini tak benar. Mereka sendiri yang menulisnya."

"Aku pikir mereka belum paham benar tentang keyakinan mereka dan bisa jadi ada dalang dibalik semua kejadian itu."

"Kau, tahu apa Adam, mengapa tiba-tiba kau membela mereka." Jawaban ayahku membuat tenggerokanku tercekat, oh ayah bukan maksudku seperti itu, aku hanya ingin kita tidak berprasangka buruk tentang suatu hal apa pun.

Pada akhirnya ayah menatapku dengan pandangan sinis.

"Aku hanya ber-argumen. Bukankah kita tak seharusnya menerima mentah-mentah semua berita yang ada di koran dan televisi. Pap, aku hanya ingin berpikir lebih demokrasi dan tidak berpikiran negatif tentang semua hal yang terjadi antara agama kita dan mereka yang selalu menjadi bahan untuk tajuk berita di seluruh negeri. Aku hanya ingin berpikir bijaksana dalam hal ini. Semuanya kita tak tahu kebenarannya."

"Adam, kau tahu siapa yang menjadi korban?" suara ayahku meninggi.

Aku tahu ia sangat tak suka dengan berita tentang pengeboman di salah satu hotel di Bali dan kebanyakan korbannya adalah satu keyakinan dengannya.

"Tapi Pap, ada beberapa orang yang jadi korban dari beberapa golongan dan agama bukan hanya umat kita. Para teroris itu tak peduli dengan umat apa, aku yakin mereka hanya ingin mendapat perhatian dari pemerintah. Kita tak pernah tahu dunia politik bisa jadi ini semua hanya isu nasional saja. Maafkan aku, Pap."

"Yah ... yah ... aku paham dengan kata-katamu, tapi Papi juga tak terima dengan apa yang mereka lakukan. Banyak orang tak berdosa mati dalam peristiwa itu. Semoga pemerintah segera menangkap para pelakunya." Aku tenang, ayahku bisa mengerti apa yang aku katakan dan ketika aku menengok ke ibuku, tatapan matanya sangat tajam kepadaku.

Aku tahu maksudnya, aku teringat kejadian di ruangan Bapa Hang ketika perayaan amal waktu ayah dan ibu mengetahui masalah yang tengah aku hadapi antara aku dan Fara. Aku tersenyum yah hanya itu yang bisa aku lakukan.

Persoalan tentang keyakinan menjadi sangat begitu sensitif di negeri ini. Ayahku, aku paham dengan jalan pikirannya. Peristiwa yang terjadi beberapa bulan terakhir tentang pengeboman di Bali dan beberapa tempat lainnya dan isu beredar tentang perbedaan keyakinan. Aku bukanlah salah satu orang yang berpikiran bahwa semua kejadian tersebut memang karena mereka tak menyukai kaum minoritas seperti aku dan keluargaku, tapi aku yakin bukan itu tujuannya.

Jika memang benar, aku dan nenek buyutku telah berpuluh-puluh tahun hidup di negeri ini dan aku tak pernah merasakan tekanan dari pihak mana pun. Aku merasakan betapa kami saling toleransi dan saling menghormati. Ketika aku duduk di bangku sekolah dasar beberapa teman sekelasku berbeda keyakinan denganku dan mereka serta orang tua mereka sangat baik dan bekerjasama dengan yang lain.

Begitu pula ketika aku SMP, SMA dan kuliah bahkan pegawai ayahku yang kebanyakan orang muslim baik-baik saja selama hampir berpuluh-puluh tahun bekerja di perusahaan ayah. Lalu mengapa semua orang harus saling berpikiran negatif. Aku yakin ada sesuatu dibalik semua peristiwa itu.

Betapa negeri ini memiliki demokrasi yang sangat tinggi dan menjunjung tinggi nilai-nilai saling hormat menghormati antar umat beragama. Aku hanya ingin ayahku tak berpikiran seperti kebanyakan orang tentang kejadian di negeri ini beberapa bulan terakhir.

Salah satu bentuk contoh negeri ini saling tenggang rasa antar umat beragama dengan adanya simbol di pusat kota masjid dan gereja bisa berdiri saling berdampingan yang tak kita temui di negeri lain tentunya. Dan walau aku terlahir sebagai keturunan Tionghoa dari ibuku tapi aku merasa bahwa darahku dan jiwaku berada di sini di negeri ini. Aku sangat tak menyukai ketika beberapa orang mengatakan aku kaum minoritas.

Aku hanya tersenyum, aku berpikir mereka tak pernah benar-benar memahami tentang negeri ini. Wajar saja jika aku tak terlalu banyak bergaul dengan teman-teman seusia dan segolongan denganku karena setiap aku bersama mereka, mereka selalu saja merasa bahwa mereka tak bisa menjadi bagian dari negeri ini dan mereka sendiri yang selalu membuat jarak. Aku ingat ketika aku kecil, seorang teman mengejekku dengan mengatakan aku keturunan China, tapi aku hanya tersenyum dan mengatakan bahwa aku orang Indonesia terbukti aku menyanyikan lagu kebangsaan setiap upacara bendera dan hari kemerdekaan.

Betapa aku bangga menjadi warga Indonesia. Aku terbiasa diperlakukan aneh oleh beberapa temanku. Dan ibuku sengaja menyekolahkan aku di sekolah yang netral karena ibu ingin aku memiliki teman yang banyak dan tidak hanya di lingkunganku saja.

Dan aku bersyukur karena aku sering mendapat pencerahan dari Bapa Hang jadi aku bisa menjadi seseorang yang berpikiran bijaksana dan tak seperti teman-teman yang berlatar belakang seperti aku. Mereka lebih memilih berteman dengan golongan mereka, aku sering diejek oleh teman-teman keturunan Thionghoa seperti aku karena aku sering berteman dengan mereka para pribumi. Alasan itulah yang membuat aku tak banyak memiliki teman. Akhirnya aku lebih suka berdiam diri di rumah dengan membaca buku dan belajar.