Chereads / DOKTER TAMPAN JATUH CINTA / Chapter 8 - Sebuah Nasehat

Chapter 8 - Sebuah Nasehat

Sudah dua bulan aku menjalani rutinitas dan berjalan dengan normal, aku sibuk dengan pasienku di rumah sakit dan kegiatan sosial serta pelayanan di gereja. Aku menjadi lebih baik dan bisa mengontrol diriku.

Bapa, aku berterima kasih kepadanya. Ia membantu membuka pikiranku tentang rasa yang aku alami.

Saat ini, aku tengah sibuk melayani bersama beberapa teman rohaniku di gereja. Ada sebuah acara amal berbagi kepada kaum tak mampu dan memberikan beberapa peralatan sekolah untuk anak jalanan. Aku sangat menikmati acara ini. Dan gereja menunjuk aku sebagai ketua dalam acara amal ini.

Beberapa orang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Aku mengangkat dan merapikan meja serta kardus yang berisi peralatan sekolah, kuletakkan di atas meja depan gereja. Tenda terpasang dengan megah, sound system pun telah dinyalakan. Perayaan ini adalah kegiatan tahunan gereja dan merupakan sumbangsih dari seluruh jamaat gereja.

"Dokter Adam."

Seketiak ku menoleh saat suara tak asing memanggil namaku. Clara dan Suster Maria sudah berdiri di sampingku.

"Kalian, apa yang kalian lakukan di sini?"

"Dokter, kami ingin berpartisipasi."

"Tahu dari mana kalian?"

"ADA DEH."

Mereka menjawab bersamaan kompak sekali saling mengerling.

"Wah, tak disangka Dokter kuat juga yah." Suster Maria mengejekku, aku hanya tersenyum.

"Kak Adam, dipanggil Bapa." Seorang bocah berusia sembilan tahun berlari menghampiriku. Tanpa berkata apa-apa kutinggalkan Clara dan suster Maria.

"Kalian tolong rapikan meja itu ya." Teriakku setengah berlari, mereka tersenyum dan mengangguk.

Aku berlari menuju ruang kantor gereja yang berada di sebelah kiri gereja. Nampak ramai dengan beberapa aktivis gereja, mereka senyum kepadaku. Aku sangat mengenali mereka semua, karena dari kecil kami sudah berada di gereja ini bersama-sama mengikuti kegiatan gereja. Aku mengetuk pintu, Bapa tengah duduk di belakang meja kerjanya menyuruhku untuk masuk.

"Ada apa Bapa memanggilku?"

"Duduklah."

Aku mengkuti perintahnya.

"Adam, ada hal serius yang ingin Bapa utarakan kepadamu. Dan ini berhubungan dengan kedua orang tuamu. Kemarin malam ayah dan ibumu menemui Bapa. Mereka sangat mengkhawatirkan dirimu."

"Ada masalah apa Bapa. Aku dan kedua orang tuaku baik-baik saja."

"Ini." Bapa memberikan sebuah buku catatan milik Fara dan buku saku tentang tata cara sholat umat muslim. Aku menarik napas panjang dan memandang Bapa dengan lekat.

"Ini milik Fara, gadis muslim itu Bapa. Tapi, aku sudah berusaha untuk melupakannya."

"Berusaha melupakannya? Berusaha? Adam, bukankah aku sudah pernah mengatakan kepadamu tentang semua ini. Kau tahu, ayah dan ibumu menangis di mimbar dan mereka sangat merasa bersalah dengan apa yang kau alami saat ini. Mereka berusaha tak mengetahui apa pun yang tengah kau hadapi. Maafkan Bapa, aku terpaksa menceritakan semuanya kepada mereka. Karena mereka begitu mengkhawatirkan putra tercintanya."

"Bapa, demi Tuhan. Aku sudah melupakan dia. Ini aku simpan hanya untuk aku simpan. Aku berusaha untuk mengembalikannya kelak ketika aku bertemu dengannya lagi."

"Kau masih berharap bertemu dengannya?"

Aku tak bisa berkata apa-apa, benarkah aku masih mengharapkannya. Aku sendiri tak yakin, apa yang dikatakan Bapa Hang bisa jadi benar aku tak benar-benar ingin melupakannya. Tapi seharusnya ini tak terjadi sudah dua bulan aku tak mengingatnya dan sekarang mereka membukanya kembali. Dan jantungku, mengapa tiba-tiba mendadak begitu kencang berdetak setiap nama Fara disebut, aku teringat kembali wajah manis dan senyuman itu.

"Bapa, jangan menyudutkan aku. Setidaknya aku telah melupakan dia."

"Adam, anakku. Aku sedang tak menghakimimu. Yang aku khawatirkan kedua orang tuamu terluka. Aku yakin mereka tak ingin kau terluka hingga mereka menyuruhku untuk menyadarkan apa yang kau lakukan saat ini."

"Bapa, sudah kukatakan aku tak pernah membacanya. Demi Tuhan."

Tuhan Yesus, maafkan aku berbohong dihadapan utusanmu.

Setiap malam aku membaca setiap halaman buku saku itu, aku hanya ingin tahu itu saja tak lebih. Walau terkadang di tengah malam aku melakukan gerakan-gerakan itu dan diam-diam menghafal isi dari buku saku itu. Dan aku bisa melupakan Fara, tapi diam-diam aku berusaha mencari tahu tentang islam. Aku hanya ingin tahu itu saja.

Aku terlahir sebagai umat kristiani dan itu saja yang aku dapatkan dan ketika tiba-tiba aku bertemu dengan Fara, merubah pandanganku. Tidak, aku tidak bermaksud mengkhianati agama yang aku yakini. Aku hanya ingin sekedar tahu saja. Tak lebih ... Bapa memandangiku penuh curiga, aku tahu aku tak pandai membohonginya. Tatapan itu mempertegas bahwa aku memang tengah berbohong kepadanya.

"Bapa, aku tak akan melakukannya lagi. Aku janji, akan kubuang tentang Fara dan semua yang berhubungan dengannya. Ini dan ini akan aku buang, aku tak akan mengecewakan semua orang yang menyayangi aku. Itu janjiku." Aku berkata dengan mantap dan kuambil buku catatan milik Fara dan buku sakunya. Aku berdiri lalu pamit. Bapa Hang hanya mengangguk dan aku pergi meninggalkan dirinya tanpa berkata apa pun lagi.

Aku dengan berjalan cepat meninggalkan semua keramaian aku bingung mengapa aku merasa kesal dan marah atas teguran Bapa terhadapku, dan bagaimana aku mejelaskan semuanya kepada ayah dan ibuku. Tak perlu, yah tak perlu aku lakukan. Biarkan Bapa yang akan menjelaskan kepada mereka. Aku akan bersikap diam dan seakan tak terjadi apa-apa.

Kubanting pintu mobilku dan kulempar buku catatan milik Fara dan buku sakunya di depan desboard. Aku kesal dan memukul setir mobil tanganku terasa sakit. Aku menatap tajam ke depan kaca mobil dan atap gereja. Mengapa mereka menghakimi aku tanpa pernah merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Aku sudah bersusah payah melupakannya dan mereka memulainya kembali dengan ini semua.

Aku sungguh kecewa.

.....

Kulihat ayah dan ibuku mencari sesuatu, aku yakin mereka sedang mencariku. Pukul sepuluh kurang lima menit, sebentar lagi acara akan di mulai. Aku, haruskah aku tetap di sini atau aku ... bisa pergi dan meninggalkan semua ini. Tapi, bagaimana dengan ayah dan ibuku. Aku membuka pintu mobil dan keluar mendekati ayah dan ibuku. Aku tersenyum ketika mereka melihat kedatanganku. Aku tak ingin mereka malu atas perbuatanku jika aku melarikan diri.

"Adam, kami mencarimu sedari tadi."

"Mami, Mami cantik hari ini." Rajuku kepadanya.

Wajah Mami memerah, ayahku hanya mengangguk. Ibu menggandeng tanganku dan duduk di antara para tamu yang telah hadir. Suster Maria dan Clara telah duduk di depan. Tak lama acara telah dibuka, David teman gerejaku sebagai pembawa acara, tak berlama-lama. Acara langsung ke pokok utama. Ayahku dengan gagah dan semangat memberikan sambutan di depan podium yang disetting sesederhana mungkin.

Di barisan depan anak-anak yatim dan anak jalanan dengan mengenakan kaos putih bertuliskan "SALING BERBAGI" terlihat senang mengikuti acara ini. Dan ketika sambutan yang ayah berikan telah usai, suara tepuk tangan riuh. Aku mengangkat kedua ibu jariku, ayah tersenyum dan ibu memeluk lengan kananku sambil berkali-kali tersenyum. Aku tak tahu apa yang akan terjadi dengan hidupku nanti.

Acara telah usai, semua yang hadir nampak bahagia ayah dan teman-temannya tengah asyik berbincang dan begitu pula dengan ibuku. Pukul dua lewat lima menit masih siang. Aku mendekati ibu.

"Mam ..."

"Yah."

"Adam pulang duluan ya."

"Ok."

"Sis, putramu?" seseorang bertanya kepada ibuku

"Yah perkenalkan Adam." Aku menundukkan tubuhku dan tersenyum kepadanya.

"Wah, tampan sekali putramu. Bekerja di mana sis?"

"Dokter bedah, hanya dokter bedah."

"Dokter. Pantas saja kau tampan." Teman ibuku berkata sambal tersenyum malu-malu, aku enggak nyaman ditatap seperti itu.

Aku tak suka dengan percakapan ini. Aku tak pernah melihat wanita ini sebelumnya dan aku yakin ia bukan salah satu jamaat gereja di sini karena aku tak familiar dengan wajahnya.

"Mam, aku duluan." Aku mencium pipi kanan ibuku dan bergegas meninggalkannya. Jika aku berlama-lama di sana bisa-bisa aku jadi bahan gosipan.

---

Aku berjalan mengitari rak buku, mungkin ini yang terbaik. Setelah pulang dari acara di gereja, aku mengunjungi toko buku terbesar di Jakarta. Masih pukul empat lewat tiga puluh menit dan aku sudah beberapa kali memutari rak buku dari novel, romance, politik, sastra, sosiologi, psikologi, kedokteran dan tak satupun yang dapat menarik perhatianku. Karena pikiranku saat ini hanya Fara. Aku berhenti pas di depan rak bertuliskan Agama.

Ada sebuah buku terpampang di sana. "Tuntunan Sholat Lengkap" lebih besar dari milik Fara. Aku mengambilnya dan membuka halaman pertama, entahlah aku tertarik ingin membuka dan membaca isinya. Bukankah ini buku panduan sholat kaum muslim. Kubaca halaman pertama terdapat gambar gerakan sholat dan pengertian serta penjelasaannya. Aku dapat sedikit memahaminya, karena aku sering melihat Fara melakukan gerakan ini di ruang rawat inap ketika ia masih mejadi pasien di sana.

Kubuka lembar kedua, semakin penuh dengan gambar gerakan, bacaan, arti dan penjelasaannya. Aku semakin tertarik, walau aku sering melihat gerakan ini di sekolahku dulu, di kampus, dan di masjid dalam siaran televisi. Aku baru mengetahui semua penjelasannya dengan jelas di buku ini. Tanpa aku sadari sudah hampir sepuluh halaman ku baca, aku pertimbangkan. Apakah aku harus membelinya atau... aku meletakkan kembali buku itu dan mengambilnya lagi, menimang-nimang ... ambil ... jangan ... ambil ... jangan ... ambil ... jangan.

"Permisi!" suara seorang gadis berkerudung mengagetkan aku.

Masih terkejut melihat sosok dihadapanku, aku mengenalnya dengan sangat jelas, Fara.

"Fara." sapaku padanya.

Dia menoleh dan menatapku, jantungku berhenti seketika.

"Dokter Adam." Fara tersenyum, senyum itu masih sama.

Terima kasih Tuhan kau kabulkan doaku. Aku, tak bisa. Bukankah aku telah berupaya keras selama ini untuk tidak memikirkannya dan melupakannya. Bapa apa yang harus aku lakukan ... hatiku ... aku tak bisa mengungkapkannya. Sungguh, benarkah kami berjodoh.

"Dokter."

"Yah.."

Aku malu Fara mendapatiku tengah menatapnya tajam.

"Kok Dokter bisa ada di sini, apa yang Dokter cari?" saat mata Fara tetruju pada buku yang tengah kupegang, aku langsung menyembunyikan di belakang tubuhku dan tersenyum kepadanya.

"Hmmmm ... aku hanya sekedar melihat-lihat saja." Jawabku.

Tapi nyatanya Fara bukan gadis yang mudah dibohongi, ia dengan cepat mengambil buku dari tanganku dan membacanya.

Lalu menatapku tersenyum.

"Dokter, ini ..." bola mata Fara bergerak ke kanan ke kiri. Aku jadi kikuk di hadapannya kalua seperti ini.

"Cuma pengen lihat aja." jawabku lalu meringis.

Aku berbohong dan Fara tak mempermasalahkannya, ia mengembalikan buku itu ke tempatnya semula. Bersyukur ia tak banyak bertanya.

"Dokter kok kelihatan kurusan."

"Masak?"

"Serius. Pipi Dokter jadi makin tirus gituh."

"Serius"

Aku senang dapat melihat Fara, ia tambah cantik, mungkin perkiraanku saja. Sudah hampir tiga bulan setelah kepulangannya dari rumah sakit, aku tak melihatnya kembali. Syukurlah ia baik-baik saja.

"Dokter sendirian?"

"Hm ... nggak. Sama kamu …" kenapa aku gugup sekali, saat Fara menyadarinya dia hanya tersenyum.

"Aku juga. Aku mau mencari buku tentang perbandingan Mazab. Dan ternyata kosong."

"Perbandingan Mazab? Buku apa itu?' tanyaku penasaran.

"Oh, itu sebuah buku yang menjelaskan tentang hadist Nabi berdasarkan Mazab, ada Mazab Imam Syafi'i, Imam Hanafi dan Imam Hambali … eh maaf yah Dok, pasti enggak paham." Fara meringis, wajahnya terlihat polos.

Benar katamu Fara, aku tak paham sama sekali dengan apa yang kamu ucapkan.

"Mungkin di tempat lain ada." Fara hendak pergi, aku cepat mencegahnya.

"Tunggu! Fara. Kamu punya waktu untuk ... hmmmmmm ... sekedar minum bersama atau makan sesuatu."

Saat aku berkata seperti itu semuanya reflek aku ucapkan, Fara menatapku sesaat, aku senang dilihat seperti itu tapi jantungku rasanya tak bisa diajak kompromi.

Plis Fara cepat dijawab.

Aahhhh aku konyol sekali, tapi apa boleh buat aku harus melakukannya atau aku akan menyesal seumur hidupku. Fara masih memikirkannya.

"Hmmm … oke tapi aku enggak bisa terlalu lama Dok."

"Enggak papa."

"Dokter enggak jadi beli bukunya."

"Hmmm ... Cuma lihat-lihat aja kok"

"Oohhh ... kirain mau ngeborong hehe."

Inilah hidup, kita tak tahu apa yang akan terjadi. Bukankah beberapa jam yang lalu aku dan Bapa Hang membicarakan tentang Fara dan aku berkobar-kobar mengatakan kepadanya bahwa aku ingin melupakan Fara.

Tapi, saat ini. Aku pikir ini bukan suatu kebetulan aku dan Fara dipertemukan kembali, bukankah ini sebuah pertanda. Tuhan, ampuni aku.

Dan terima kasih kau telah menjawab doaku selama ini. Aku semakin yakin dengan perasaanku bahwa apa yang aku yakini semua ini benar adanya. Bagaimana jika ia, Fara benar-benar jodoh untukku atas kehendak Tuhan.

Dan jika memang benar, tak mungkin, ada jarak yang teramat jauh antara aku dan dirinya tak mungkin aku meninggalkan keluargaku dan atas apa aku berkorban untuk dirinya. Atas nama cintaku kepadanya yang tak pernah Fara ketahui. Tidak aku tak ingin merusak semuanya, biarkan saja aku hanya ingin merasakan dan menikmati waktu ini bersamanya.

"Dokter ... Dokter Adam. Kok bengong, katanya mau cari makan."

"Eh, iya." Aku terkejut ketika Fara memanggil namaku.

Mengapa aku terlalu jauh berpikir, saat ini jalani saja apa yang terjadi.

"Oh iyah." Jawabku sedikit malu karena kepergok tengah melamun.

Fara berkali-kali tersenyum lalu berjalan ke luar took buku.

Di sebelah ada tempat makan semacam foodcourt, aku hanya mengikutinya. Aku dan Fara masuk ke sebuah restoran cepat saji ia yang memilih aku mengikuti saja. Aku tahu ia sangat hati-hati untuk memilih tempat makan yang benar-benar halal dalam keyakinannya dan aku menghargainya.

Akhirnya Fara menemukan sebuah tempat makan yang ia inginkan, kami berdua masuk ke salah satu tempat makan. Fara duduk di meja dengan mengembangkan senyum manisnya, aku sedikit gugup dan berusaha untuk setenang mungkin agar tak terlihat olehnya. Fara memesan dua air mineral ukuran sedang dan dua buah burger daging. Aku ikut saja apa yang dipesan Fara.

Kami terdiam, tak ada perbincangan. Bibirku keluh, aku sendiri bingung apa yang harus aku katakan. Bersamanya saja seperti ini tak pernah sekalipun aku bayangkan. Kami saling terdiam menikmati makanan, Fara terlihat serius dengan makanannya, sementara aku tak sekalipun bisa menikmati makanannya, perutku seperti ada yang menusuk-nusuk, seperti ada kupu-kupu yang berterbangan. Rasanya tak bisa kuungkapkan, seperti inikah rasanya jatuh cinta.

Oh Tuhan.. mengapa harus dengan gadis ini.

"Dokter, terima kasih atas semuanya."

"Atas apa Fara?"

"Dokter membuatku seperti ini, aku bisa cantik lagi." Bisik Fara lalu tersenyum lebar. Wajah itu baru pertama kalinya kulihat, wajah bahagia.

"Aku enggak tahu kalau enggak bertemu sama Dokter Adam, mungkin aku masih menjadi gadis pesakitan yang pesimis." Fara meniup sedotan, menunduk, memainkan minumannya sehingga mengeluarkan suara gelembung air.

Deg!

Aku tak salah dengar. Fara menganggap begitu berharga atas apa yang aku lakukan, padahal bukankah wajar aku sebagai dokter melakukan yang terbaik untuk pasiennya. Atau ia pun memiliki rasa yang sama dengan diriku. Tentang rasa itu ... ah aku terlalu percaya diri. Kendalikan perasaanmu Adam Stainley Siahaan.

"Dulu, aku selalu berpikir bahwa aku akan bernasib sama dengan kebanyakan perempuan yang menderita penyakit Kelenjar Hyperthyroid. Kau tahu Dokter, maaf, aku enggak kembali untuk kontrol bukannya aku enggak berterima kasih sama Dokter. Ada hal lain yang enggak bisa aku ceritakan. Tapi, sekarang semuanya sudah membaik. Aku tahu sedikit cacat di leherku tapi masih terlihat cantik karena Dokter mengerjakannya dengan baik. Iya khan, Dok" Fara terus tersenyum, aku tak bisa berkata, kunikmati raut wajah Fara hanya ini yang bisa aku lakukan saat ini. Aku begitu bahagia bisa bersamanya seperti saat ini.