"Suster Maria ..."
Aku berlari tersengal-sengal menghampiri Suster Maria saat memanggilnya.
"Fara sudah pulang satu jam yang lalu Dokter, ini ada titipan darinya." kata Suster Maria saat aku sudah berada di dekatnya.
Aku mengambil secarik kertas dari tangan Suster Maria, ia meninggalkanku sendiri di ruangan ini.
Kubuka dengan cepat kertas ini.
---
Terima kasih Dokter ... aku sangat senang bisa bertemu denganmu. Aku yakin Tuhan akan membalas semua kebaikan dokter.
Oh yah ... hari ini Bapak datang menjemputku.
Sekali lagi terima kasih Dokter Adam.
By. Fara
---
Aku berdiri dengan lemas bagaimana mungkin aku melupakan hari ini, hari kepulangan Fara. Setidaknya aku bisa melihat wajahnya untuk terakhir kali atau mungkin aku bisa memberikan nomor teleponku kepadanya.
Aku terduduk di atas tempat tidur, saat aku tersadar. Masih ada minggu depan, yah kenapa aku lupa. Bukankah ia akan datang lagi untuk kontrol dan saat itu aku bisa memberikan kartu namaku, yah dengan kartu nama ia tak akan curiga kepadaku.
Aku berjalan keluar ruangan, kukantongi kertas putih tulisan tangan Fara. Aku berjalan menuruni anak tangga, masih ada rabu besok untuk menantinya kembali di sini. Aku tersenyum ... menertawakan diriku sendiri.
Aku tak mengerti mengapa perasaan ini sangat menyiksaku. Aku sendiri tak yakin, bagaimana dengan Fara, apa ia tahu apa yang aku rasakan padanya.
Dan suatu tak mungkin ia bisa menerimaku, aku seorang kristiani dengan wajah oriental berdarah batak, ibuku seorang keturunan Thionghoa dan ayahku batak tulen dengan ajaran agama kristiani kental. Bagaimana bisa Stanleys Adam Siahaan jatuh hati dengan gadis muslim pasiennya sendiri.
---
Natal telah tiba sudah hampir dua bulan aku tak bertemu dengan Fara, dan saat aku menunggu kedatangannya dengan yakin hingga larut malam ia tak kunjung datang. Minggu pertama aku menantinya, sangat berharap. Dan minggu kedua aku masih juga menunggu diruang praktek hingga malam hari.
Hingga akhirnya Suster Maria mengingatkan aku bahwa Fara tidak akan datang kembali untuk selamanya. Aku termangu di meja kerjaku, tak bergairah dan seakan hidupku berhenti. Bagaimana tidak, aku sangat merindukannya.
Apa yang harus aku lakukan, Suster Maria-lah yang sangat memahami perasaanku saat ini. Aku tak bersemangat datang ke rumah sakit dan dalam kelas kuliah aku hanya menyuruh para mahasiswa untuk presentasi tanpa aku mempedulikannya.
Sudah dua kali kepala divisi rumah sakit memanggil dan memberiku surat teguran atas kelalaianku dalam tugas. Aku tak bergairah. Kedua orang tuaku sangat mengkhawatirkan diriku. Aku tak pernah sekalipun mengatakan tentang perasaanku pada mereka, ayah dan ibu mengira aku terlalu lelah bekerja hingga aku mengalami kejenuhan tingkat tinggi.
Mereka sering sekali menawarkan aku untuk berlibur ke luar negeri agar aku refresing tapi aku terus menolaknya. Dan adikku sepertinya tahu dengan apa yang aku rasakan, namun setiap Agnes berusaha memancing pembicaraan denganku, aku tak menanggapinya.
Malam ini, natal yang pertama aku rasakan sangat tak bergairah. Aku duduk di samping jendela kamar tidurku suara kidung nyanyian dari dvd player dari ruang tengah terdengar hingga kedalam kamarku. Aku engggan berkumpul dengan semua kerabat. Setelah acara di gereja aku langsung pulang tak sekalipun berkumpul dan berjabat tangan dengan yang lainnya. Ayah dan ibu pasti sangat terluka melihatku, aku tak berdaya. Betapa sosok Fara telah membuatku menjadi seseorang yang berbeda.
"Kak ..." suara Agnes terdengar dari balik pintu, dan tak lama ia telah berdiri disampingku. Aku tak menghiraukannya.
"Kak, ayolah bergabung bersama kami. Aku tahu tentang perasaanmu."
"Agnes?"
"Maaf ya Kak, Agnes cari tahu dari suster Maria, awalnya seh dia enggan cerita tapi aku paksa hehe. Karena aku sangat khawatir sama Kakak tauk. Papi sama Mami aja sama mikirin Kakak. Kak, jangan gini dong ... khan jadi kelihatan kasihan banget."
"Kamu ..."
Aku berdiri mendekatinya, ku peluk Agnes, kami jarang sekali bertemu. Ia kuliah di luar daerah dan sebulan sekali belum tentu ia pulang ke rumah.
"Kak, aku yakin jika Fara berjodoh dengan Kaka. Kalian pasti kalian ketemu lagi."
"Kamu benar."
"Kenapa kakak enggak menikmati malam ini, Papi sama Mami ... kasihan mereka sangat khawatir sama kakak. Kakak harus tegar, bukannya kakakku bisa mengobati luka pasien kenapa sekarang jadi cengeng."
Aku mencubit pipinya Agnes, dia kini tumbuh menjadi gadis dewasa setelah berpisah dengan kami. Ia menjadi sosok yang dewasa bukan gadis manja seperti dulu. Aku tersenyum melihatnya.
"Kakak, sangat menyukainya yah." Aku mengangguk hanya itu yang bisa aku lakukan.
"Aku tahu, Kak ... jangan sedih yah. Kalian pasti bakalan ketemu lagi. Percaya deh!" Agnes mengerlingkan mata.
Aku tersenyum melihatnya dan aku berjalan beriringan dengannya menuruni anak tangga. Makanan telah terhidang dan ada Suster Maria di sana bersama ayah dan ibu, tunggu Clara dan kedua orang tuanya pun hadir ada apa mereka tiba-tiba datang ke rumahku. Aku menatap ibu dan ayah bergantian. Wajah mereka tetap tenang tak ada yang mencurigakan.
"Kak, tenang. Keluarga Clara cuma mampir sebentar mereka akan ke bandara nanti malam dan terbang ke Australia untuk liburan Natal." Jelas Agnes melihat mimik wajahku yang penuh tanda tanya dengan keberadaan mereka di rumahku.
"Oh ..."
Suster Maria tersenyum menyapaku, senyuman itu aku paham, dia seakan tahu kelemahanku saat ini. Aku hanya mengangguk, membalasnya.
Agnes dan aku bergabung dengan mereka, Suster Maria sengaja di undang oleh Agnes, karena Natal ini ia tak bisa pulang ke kampung halamannya di Flores, ia mendapat giliran jaga di hari Raya Natal dan karena kasihan Agnes mengajaknya untuk bergabung bersama kami.
Suasana ruang tengah begitu hangat, Clara tak banyak bicara tak seperti dulu lagi, kini lebih kalem dan elegan. Aku yakin semenjak kejadian saat aku mengatakan kepadanya bahwa aku mencintai gadis lain, ia berubah terhadapku.
Tak seperti dulu berusaha mencari perhatianku. Dan tahun depan ia akan mendapat SK untuk ijin prakteknya nanti. Aku tersenyum kepadanya begitu pula kepada kedua orang tua Clara. Ibu berkali-kali menatapku dengan wajah penuh tanda tanya atas apa yang aku lakukan siang tadi pergi meninggalkan mereka terlebih dahulu tanpa berkata apapun.
Maafkan aku Mami.
Setidaknya malam ini hatiku tidak merasa sedih karena ada keluarga dan sahabat yang menemani dan aku bersyukur memiliki keluarga yang indah ini. Aku, setidaknya dapat sejenak melupakan Fara dalam pikiranku.
Ayah memimpin doa, semoga keluarga dan semua orang yang hadir di sini diberkati Tuhan ...
Kami mengamini.
---
"Dokter, bukankah apa yang akan kau lakukan ini malah justru membuat Fara dan keluarganya curiga dengan apa yang dokter lakukan."
"Suster Maria, aku tidak bisa berdiam diri selamanya menunggu dia datang ke sini. Bukankah ini alamat lengkap Fara. Aku akan berpura-pura menanyakan tentang kesehatannya."
"Dokter, aku mohon gunakan akal sehat. Berpikirlah lebih jernih Dokter, sebelum melakukannya."
"Suster Maria, apa yang harus aku lakukan. Aku sangat merindukan Fara. Kau tahu betapa aku tersiksa dengan perasaan ini."
Aku memukul kepalaku sendiri.
Suster Maria masih berdiri di depanku dengan wajah sedikit kesal. Hanya aku dan Suster Maria dalam ruang praktek. Tak ada pasien, sudah sore dan tinggallah aku dan Suster Maria. Aku berencana untuk mendatangi rumah Fara, setelah sekian lama aku memikirkan bagaimana caranya agar aku dapat bertemu dengan Fara, setidaknya sekali saja.
"Dokter, aku yakin jika kalian berjodoh hari itu akan datang, kalian akan bertemu kembali. Yakinlah Dokter." Suster Maria berusaha meyakinkan aku, ia duduk di depanku.
Aku pun sadar, benar perkataannya jika aku kesana justru mereka akan mencurigai aku. Aku menghela napas panjang.
"Suster, kamu boleh pulang. Tinggalkan aku sendirian. Percayalah aku tidak akan melakukannya."
"Benarkah Dokter."
"Yah, aku janji. Kamu benar Suster. Aku harus bisa menahan diri."
"Aku tidak menyangka Dokter seperti ini, Dokter pernahkah berpikir jika kedua orang tua dokter mengetahui bahwa putranya mencintai seorang gadis muslim."
"Suster Maria, apa yang kamu katakan benar. Aku selalu berpikir tentang hal itu, namun aku tidak bisa menguasai perasaanku. Aku sudah mencobanya untuk tidak memikirkannya. Aku pikir, aku hanya tertarik dengannya dan itu akan segera menghilang. Tapi kenyataannya salah, aku ... aku sendiri tidak paham dengan hati dan perasaanku mengapa harus seorang Fara. Dan aku tidak bisa melawannya, kamu tahu Suster, semakin aku melawan perasaanku semakin tak dapat aku bendung, Fara telah tertambat dalam hatiku. Aku sendiri takut, Tuhan Yesus apakah akan memaafkan dosa-dosaku atas apa yang aku lakukan."
"Dokter, tidak ada yang salah dengan cinta. Dan mencintai seseorang yang berbeda dengan keyakinan kita bukanlah dosa besar. Aku yakin Tuhan Yesus mengerti dengan apa yang Dokter rasakan saat ini, mungkin butuh waktu, Dokter. Aku sendiri belum pernah merasakan apa yang Dokter rasakan tapi jika aku tak lancang dan terlalu menggurui, sebaiknya dokter lebih banyak berdoa dan datang ke gereja berdiskusilah dengan pendeta tentang masalah yang tengah Dokter hadapi saat ini, setidaknya bisa mencurahkan perasaan dan mendapat pencerahan. Cinta itu murni dokter, hanya saja datang pada tempat yang salah dan orang yang tidak tepat, bukan begitu Dokter." Suster Maria menatapku tajam.
Aku terdiam mendengar penjelasan Suster Maria, perkataannya benar. Aku harus bisa menguasai diriku dan berbagi cerita dengan seseorang yang bisa membuatku tenang, sudah lama aku tak datang ke gereja semenjak natal.
"Terima kasih Suster, setidaknya membuatku sedikit tenang dengan nasehatmu. Akan aku pertimbangkan." Aku tersenyum.
"Baiklah Dokter, aku pulang dulu." Suster Maria meninggalkan aku sendirian.
Kusandarkan kepalaku ke belakang kursi, dan aku masih berpikir, betapa ini menyiksaku. Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini. Tapi ... semakin aku berusaha untuk melupakan Fara, hatiku semakin sakit. Kertas pemberian Fara masih aku pegang, kupandangi lekat, seakan wajah Fara terlukis di kertas itu.
Aku sudah gila.
Yah, kurasa aku sudah gila.
Bersambung ...