"Aku akan langsung ke intinya saja, duduklah Kak."
Aku menuruti kata-kata adikku, kuangkat tubuhku untuk duduk di kursi kamar Agnes di depan meja yang besar dari milikku dan lebih berantakan dari kamar tidurku.
Tumpukan buku-buku di lantai dan di atas meja barang-barang miliknya yang ia bawa dari tempat kosan-nya dulu masih berserakan dan membuat mataku malas untuk menatapnya namun tetap saja aku melihat semuanya.
Agnes baru seminggu membawa semua barang miliknya setelah acara wisuda sarjanan ekonominya kelar minggu lalu. Kini ia duduk di hadapanku bagai ketua sidang majelis yang hendak menghakimi para pejabat yang terlibat kasus korupsi yang tengah marak akhir-akhir ini. Pertunanganku dengan Ester ditunda hingga ayah benar-benar sehat dan kembali normal hingga tahun ini baru terlaksanakan dan itu minggu depan.
Agnes kini telah dewasa tak seperti dahulu, tatapan wajahnya sangat serius dan aku baru kali ini melihat Agnes menatapku dengan tatapan tajam tanpa ekspresi. Aku terbiasa melihat tampangnya yang manja kepadaku dan ia tak pernah bisa berbicara serius denganku tentang hal apapun karena aku tahu sebelum ia berkata aku sudah lebih dulu menggodanya.
Kali ini tidak, aku berusaha menahan tawa menatapnya namun Agnes tak bergeming, dahinya berkerut dan pupilnya melebar.
"Kak, kamu serius mau melakukannya?" tanya Agnes kepadaku.
Aku tahu tujuan pertanyaannya, aku menatapnya tajam dan mengangguk dengan mantap.
"Kak... ayolah bukannya Kakak enggak pernah mencintainya."
"Cinta?" aku tersenyum mendengar Agnes berkata tentang cinta.
Agnes manyun dan bola matanya makin melebar melihatku dengan tatapan kesal.
"Kakak. Kakak enggak pernah mencintai Ester."
"Bukankah cinta akan tumbuh ketika kita hidup bersama, itu kan yang selalu Bapa Hang katakan dalam khotbah minggunya di gereja hampir setiap minggu. Kau pasti lupa yah, karena sudah lama sekali enggak ke gereja."
"Kakak, aku serius."
"Aku juga serius."
Aku mengaitkan jemariku dan mencodongkan badanku kedepan kearah wajahnya. Agnes menutup matanya dengan kedua tangannya.
"Kak, aku tidak ingin melihat Kakakku hidup menderita. Kakak bisa mengatakan kepada Papi untuk menolaknya. Dan aku ..."
"Agnes ..." kutarik tangannya dan kugenggam, aku tahu Agnes sangat menyayangiku.
Kami tidak ingin mengganggu kosentrasi belajar dan skripsinya maka kami tak pernah membicarakan masalah apa pun dihadapannya. Dan ternyata kami salah. Agnes mengira pertunangan itu dibatalkan tapi ternyata tetap berjalan. Agnes biar bagaimana pun bagian dari keluarga ini.
Ada butiran bening tertahan dikelopak matanya yang sipit. Aku dan Agnes tidak begitu mirip secara fisik. Aku lebih berkulit putih sementara Agnes lebih mengikuti ayahku yang berkulit coklat bersih namun mata kami sama tak memiliki kantong mata namun pupil kami berdua sedikit lebar.
"Maafkan Kakak. Kami tak bermaksud mengabaikan keberadaanmu di rumah ini. Papi, mami dan aku hanya ingin kamu serius dalam kuliah sampai wisuda. Aku enggak apa-apa, kamu jangan berlebihan berpikir. Semua sudah aku putuskan dan aku ingin semua berjalan dengan lancar."
"Kak, bagaimana dengan perasaanmu terhadap gadis muslim itu. Aku tahu Kakak sangat mencintai dia. Aku bisa melihatnya, Kakak ingat ketika kita makan bersama di rumah sakit bersama teman Kakak. Binar mata Kakak ketika menatapnya, Kakak sangat mencintainya. Lalu bagaimana mungkin Kakak bisa melakukan semua ini. Aku memang tidak menyetujui perasaanmu kepadanya tapi akupun tidak ingin Kakak hidup dengan terpaksa."
"Adikku sudah dewasa ternyata." Aku menggodanya dan ia tersenyum.
Aku bangkit dari tempat duduk dan menggeser kursiku bersebelahan dengan Agnes.
"Kamu tahu enggak, banyak hal yang harus aku pikirkan untuk kebahagiaan dan kebaikan kita bersama. Aku sangat senang ketika ayah sembuh dari penyakitnya dan bisa kembali beraktivitas seperti semula dan perusahaan ayah kembali normal sehingga semua pegawai ayah tak perlu khawatir dengan pekerjaan mereka. Aku hanya ingin berusaha menjadi seorang anak yang baik. Cinta, perasaan ini." Aku menunjuk ke dadaku sambil tersenyum ke Agnes.
"Rasa ini ..." ku ulangi lagi.
"Tidak ada yang pernah tahu, bahkan aku sendiri. Aku masih saja takut bahwa rasa yang kurasakan kepada Fara bukan benar-benar rasa cinta yang sesungguhnya. Karena hingga kini aku pun belum bisa mencari tahu atas nama apa aku mencintainya. Aku tidak ingin terbawa hawa napsu sesaat. Aku tidak ingin menyesal di akhir hidupku dengan apa yang aku lakukan. Bukankah baik semua kembali ke tempat semula. Aku ditakdirkan untuk hidup selamanya bersama Ester, mungkin itu yang di inginkan Tuhan."
Aku menatap langit-langit ada sesuatu dalam kelopak mataku dan aku takut Agnes melihatnya. Walau aku sendiri merasa sakit dengan semua ini, namun aku harus melakukannya demi semua yang aku sayangi.
Toh, aku belum memulai dari awal dengan Fara, maka tak terlalu sakit untukku. Tak bisa jika harus dibandingkan dengan kedua orang tuaku yang telah hampir dua puluh tujuh tahun usiaku. Aku telah hidup bersama dengan mereka. Aku yakin aku bisa mengatasi rasa ini.
"Kak, ini enggak adil. Aku sendiri enggak paham tentang cinta. Tapi... aku enggak mau Kakak mengorbankan hidupmu demi kebahagian kami."
"Agnes, kamu tahu apa arti hidup kita? Membuat orang lain bahagia atas apa yang kita lakukan."
"Kakak, kamu salah bukan berarti kamu berkorban untuk kebahagian mereka."
"Lalu menurutmu, aku harus bagaimana? Mengatakan kepada mereka kalau aku mencintai gadis lain dan tidak ingin menikahi Ester." Aku tertunduk, mataku mulai basah, ada apa denganku, aku menjadi sentimentil.
"Kak, aku ... aku ..." Agnes memelukku dan menangis, kami saling berpelukan ada sesuatu dalam lubang hidung keluar dan cairan itu telah jatuh memenuhi bibrku.
Aku sendiri tidak tahu mengapa aku bisa ikut hanyut dengan Agnes.
"Kak, setidaknya Kakak berusaha untuk cinta yang Kaka rasakan."
Aku melepaskan pelukanku dan menatap Agnes.
"Kamu tahu enggak Nes, mungkin aku akan bahagia kalau aku mengatakan ke semua orang kalau aku mencintai gadis muslim bernama Fara seorang mantan pasienku di rumah sakit dan aku akan menikahinya dengan keyakinan yang sama dengannya. Apa kau pikir aku akan bahagia? Tidak Agnes, tidak semudah itu. Aku tidak ingin Fara menanggung penderitaan atas apa yang aku rasakan. Cintaku kepadanya akan membuatnya menderita. Semua orang tidak akan membencinya. Apa yang akan terjadi dengan papi, ia akan kecewa dengan apa yang aku lakukan. Betapa ia akan malu dan tak berani bertatap muka dengan semua kerabat dan teman-temannya. Mami, ia yang akan paling menderita dan tersiksa. Karena mereka semua menganggap Mami tidak bisa mendidikku menjadi seorang anak yang baik dan berbakti kepada orang tua. Apa mereka pantas mendapatkan semua itu karena rasa cintaku? Tidak Agnes. Aku, biarlah kusimpan rasa ini. Sudah hampir setahun aku berusaha untuk menepis semua rasa ini dalam hatiku tapi tidak bisa juga aku hilangkan. Kamu tahu, aku diam-diam melakukan semua yang Fara lakukan, aku belajar sholat di tengah malam aku baca semua buku dan kitab yang dimiliki Fara. Aku sering berdiskusi dengan para ulama tentang Islam hingga akhirnya Mami mengetahui semua apa yang aku lakukan. Aku, bukan aku ingin berkhianat atas keyakinanku tapi aku hanya ingin mencari jawaban atas nama apa aku mencintai Fara. Karena kalau kita mencintai seseorang kamu harus bisa mencintai semua apa yang ia miliki, hidupnya, keluarganya, keyakinannya dan semuanya. Aku tidak bisa Agnes..."
Aku menangis dipelukan Agnes setelah mengutarakan semua yang ada di benakku selama ini, ada perasaan lega dalam diriku ketika aku bisa mengungkapkankan semuanya.
Aku terus menangis semakin keras, Agnes mendekapku dengan erat kami saling berpelukan dan menangis bersama. Tubuhku terguncang-guncang, dadaku bergemuruh aku lebur dengan semua kesedihan yang aku rasakan. Malam ini seakan menjadi malam terakhirku untuk berjanji bahwa aku benar-benar akan melupakan Fara untuk selamanya.
Bersambung..