10 YEARS AGO...
LOS ANGELES, CALIFORNIA
.
.
.
.
.
"Diberitakan seorang pria paruh baya berusia 37 tahun ditemukan tewas dalam keadaan mengenaskan didalam rumahnya. Terdapat luka 32 tusukan diseluruh tubuh, jeratan kuat pada lehernya dan jari-jemarinya yang terputus. Mayat ini ditemukan setelah 3 hari dari kematiannya. Pria yang tak diketahui identitasnya ini, dilarikan ke rumah sakit DEVTON HOSPITAL setelah polisi mengamankan TKP. Aparat kepolisian masih mempertanyakan motif dan barang bukti jejak pelaku yang masih belum terlihat. Hingga aparat kepolisian mempertanyakan, siapa pembunuh kejam yang berhasil lolos dan masih berkeliaran disekitar lingkungan masyarakat kota---- ". Suara siaran berita televisi tiba-tiba terputus dan menampakkan layar televisi yang menghitam. Membuat seseorang yang sedang duduk disofa yang sedari tadi menonton siaran tersebut mengernyit tak suka.
"Ada pepatah mengatakan bahwa mendengar berita buruk dipagi hari dapat membawa kesialan untuk hari yang akan datang..." ujar yang sang pelaku yang mematikan televisi dengan polosnya lalu pergi masuk memasuki dapur. Membuat sarapan yang sudah menjadi tugas pertamanya dipagi hari.
"Ya, dan kesialan itu akan menghampiri seseorang yang dengan jahilnya mematikan televisi..." jawabku lalu mengikuti langkah perempuan itu menuju bar dapur. Perkenalkan, namaku Emily --- dan biasa dipanggil Em.
"Oh ayolah... jangan merusak pagi hariku dengan berita menyeramkan seperti itu, kau tau aku sangat takut dengan hal yang berbau dengan kesadisan. Dan lihat! pembunuhan itu terjadi tidak sampai 1 mil dari sini. Itu dekat sekali! Aku bahkan tadinya berpikir untuk tidak keluar rumah hari ini...". Seraya berbicara, ia menyiapkan sarapan dengan begitu lihainya. Membuat ku yang tertegun dihadapannya menghela nafas berat.
"Maka dari itu kau harus mendengar beritanya. Agar kau dapat mengetahui perkembangannya dengan jelas. Tidak mungkinkan kau terus menerus bersembunyi di apartemen tanpa CCTV seperti ini? Dan kau tau, apartemen ini bahkan tidak dapat melindungimu sedikitpun. Bahkan bisa jadi tempat yang sempurna untuk melakukan kejahatan tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Aku bahkan mulai takut untuk tinggal diapartemen murah ini. Beruntunglah ini hari Minggu..." jelasku sambil membenarkan posisi dudukku menegap.
Sang lawan bicara hanya mengedikkan bahu. Dan menaruh dua piring yang berisi omellet dan sosis goreng dengan sedikit salad ke hadapanku. Membuat mood yang semula menurun kini kembali naik.
"Omellet jagung huh? Ada apa ini? Kenapa kau memasakkan makanan kesukaanku pagi ini?" ucapku sambil menyendokkan omellet tersebut ke dalam mulut. Mengetahui seseorang yang berada dihadapannya ini memiliki maksud terselubung yang membuatnya harus menyogok dengan makanan kesukaanku. Kalian tau, ini hal yang sangat jarang. Kecuali... jika ia sedang membutuhkan bantuan.
"Tidak... aku tidak bermaksud apapun" tukasnya sambil memotong keras sosis yang ada dipiringnya. Aku yang mendengarnya langsung saja menyeringai.
"Apa yang kau perlukan? Waktu berlibur bersama Daniel? Berapa lama?" tanyaku langsung pada intinya. Membuat seseorang dihadapanku ini terdiam membatu mendengarnya. Aku yang melihatnya sontak tersenyum menahan tawa.
"Apa kau belajar menjadi seorang cenayang?" tanyanya sambil menunjukkan garpu kearah Emily.
"Biar ku tebak, ke Paris?" tebakku.
"Oh sepertinya kau memang belajar menjadi seorang cenayang..." jawabnya tanpa mau jujur mengakuinya.
"Selama 1 minggu? Dari situs perjalanan online terbaru?".
"Beritahu aku kepada siapa kau belajar. Aku juga ingin mendaftar..." tukasnya dengan sebal. Rencana liburan rahasianya gagal sudah dengan tebakan yang sempurna.
"Wahahaha... kau tau, tiket itu sedang marak-maraknya di internet saat ini. Bahkan aku juga ditawari oleh Brunerd beberapa hari yang lalu. Apalagi dengan wajahmu yang memerah dan badanmu yang tidak berkutik seperti itu menguatkan analisisku... aku hebat bukan?" sombongnya sambil meminum segelas susu yang sebelumnya sudah disiapkan oleh Janice. Ya, orang yang ada dihadapannya ini.
"Okay aku sudah menduga akan begitu..." ucapnya lalu membawa kedua piring yang sudah kosong berada diatas meja dan mencucinya.
Membersihkan segalanya lalu melangkah keluar dapur. Diikuti dengan langkah Emily yang mengikutinya.
"Kapan kau berangkat dengannya?" tanya Emily sambil kembali mendudukkan diri diatas sofa bekasnya tadi. Mengambil remote dan kembali menyalakan tv yang dimatikan temannya itu.
"Sekarang 1 jam lagi aku akan berangkat. Kau jagalah rumah baik-baik. Aku hanya pergi sebentar..." ucapnya sambil melangkah ke kamar mengambil barang-barangnya.
"APAA?! KENAPA KAU BARU MAU MEMBERITAHUKU SEKARANG?! APA AKU BUKAN SAHABAT SEMATIMU LAGI?!" teriakku dengan sedikit kesal. Walaupun aku sangat marah padanya saat ini, tapi aku benar-benar tidak bisa marah padanya. Tidak sekalipun.
CTAKK!! AAWWW!
"Kau tau bukan itu maksudku..." . Ia berlalu dengan polosnya setelah menyentil dahiku dengan tidak sopannya. Membawa dua tas besar dan sebuah koper besar hitamnya yang entah sejak kapan berada diatas sana.
"Lalu apa?!" kesalku sampai menjatuhkan kedua tasnya yang tadi ia taruh diatas meja. Ia menatapku sendu lalu tersenyum.
"Karena kau pasti akan minta ikut jika aku memberitahukanmu dari jauh-jauh hari... dan juga aku tak ingin membuatmu khawatir. Tenang, aku akan baik-baik saja. Kau tak perlu cemas..." jawabnya dengan lembut.
Tuhkan?! Apa kataku juga. Aku tidak akan pernah bisa marah padanya. Apalagi dengan kekaras kepalanya, membuatnya semakin tak terkalahkan.
"Huuhh... baiklah, asalkan kau pergi dan pulang dengan selamat. Aku takkan melarangmu pergi. Asal kau membawakanku oleh-oleh terlezat disana, aku takkan menuntut ataupun dendam padamu..." ucapku sambil tersenyum manis kepadanya.
"Dengan senang hati tuan putri..." . Badannya membungkuk 90 derajat ke arahku. Menekuk salah satu tangannya dipunggungnya dan satunya lagi didepan tubuhnya. Memberi hormat padaku. Aku yang melihatnya seperti itu, spontan terkikik dan disusul juga olehnya.
"Eh, tapi tuan putri..." . Tubuhnya sudah menegak kembali dan menatapku sedikit ragu. Membuatku menoleh ke arahnya dengan penuh tanya.
"Sepertinya di Paris banyak sekali keju yang enak disana... apa kau mau?" tanyanya sambil menatap ragu ke arahku. Arah bola mata yang berputar ke segala arah, dahinya yang sedikit mengernyit, tangannya yang sedikit terkepal dengan kuku yang saling menjenguk. Dia... ingin meminta bantuan?.
Dia terdiam cukup lama. Membuatku berkacak pinggang malas ke arahnya.
"Ck! Sudahlah bicara saja... tak perlu merasa tidak enak begitu. Aku malah jijik melihatnya..." ucapku sambil mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya. Membuatnya semakin diam karena entah merasa tak enak atau merasa ragu untuk mengatakannya padaku. Sudah 10 menit ia terdiam seperti ini membuatku merasa jengkel padanya. Sangat sangat jengkel.
"Hey... sudah katakan saja apa yang kau butuhkan? Bantuanku kan? Atau otakku? Atau diriku?". Bahkan candaanku tidak mengubah raut wajahnya itu. Hingga aku berpikir. Apa yang sedang dia lakukan?.
"A-aku butuh bantuanmu, dan hanya kau yang bisa melakukannya...". Aku yang mendengarnya mencurahkan alis bingung. Pikiranku tertuju ke arahnya malah berganti menjadi ragu dan sedikit... takut?.
Iapun mendekatkan dirinya lalu membisikkan sesuatu padaku. Membuatku membelalakkan mata dan malu tingkat atas mendengarnya. Bahkan saking malunya, menelan salivapun terasa susah. Ia menatapku dengan puppy eyesnya. Memohon dengan sangat agar aku membantunya. Dia itu cantik dan menggemaskan. Apa dia tidak sadar akan dua anugerah itu?!. Tidak tidak! Jangan mata itu!.
"K-kau mau kan...?" tanyanya sambil meremas pelan telapak tanganku. Aku menghela nafas berat. Mengepalkan tangan kuat-kuat memberanikan diri tuk menolak. Dan alhasil, tidak bekerja.
"Baiklah aku pergi...".
••••••
'Astaga! Apa yang ku pikirkan?!' rutukku dalam hati karena keinginan teman bodohku yang tanpa pikir panjang ku turuti.
Emosi yang mengumpul di ubun-ubun semakin membara kala semua transportasi bus yang melewat tidak ada yang berhenti. Penuh. Semuanya penuh. Mengapa hari ini segalanya terasa sulit. Bahkan aku harus melewati me time pagiku dengan sulit hanya karena aku harus membeli 'sesuatu' yang sebenarnya ada di mini market terdekat, malah aku harus pergi dengan segera ke apotek.
Aku tidak mungkin kan membeli sesuatu seperti 'itu' dimini market!. Aku akan dikira perempuan tidak benar jika membelinya dengan spontan dimini market! Dasar teman biadab!. Terima kasih atas kelakuanmu yang merepotkan.
BRUKK!!
"Awwch!" rintihku saat merasakan bokongku yang berdenyut nyeri karena mencium jalanan secara tiba-tiba. Bahkan hidungku yang sudah kecil ini akan semakin kecil karena berdenyut sakit karena menabrak sesuatu yang sangat keras. Apa yang baru saja ku tabrak tadi?! Tidak mungkinkan seseorang menaruh tembok ditengah-tengah trotoar ini!.
"Apa kau baik-baik saja?". Sebuah tangan kekar terulur ke arahku. Aku yang tadinya terduduk menyedihkan dan meringis mengumpat tak jelas, menatap kesal ke arah tangan itu.
Ku mendongakkan wajah. Melihat pelaku kejahatan yang dengan teganya membuatku menjadi pusat perhatian yang memalukan. Namun sinar matahari seakan tak membiarkanku melihatnya kecuali ku menerima genggaman tangan itu saat ini juga. Dan pastinya, dengan terpaksa ku terima.
Seketika aku bangkit kala tangan itu menarik perlahan tubuhku yang teronggok mengenaskan dijalan. Membantuku membersihkan noda kotor dicelanaku. Hingga tanganku mencegahnya dan membersihkan diriku sendiri dengan tanganku.
"Ah tidak apa. Aku baik-baik saja" ucapku singkat karena masih kesal karena dirinya. Mungkin memang aku juga salah karena jalan tak melihat-lihat tapi dia juga salah. Kenapa tidak menghindariku yang akan menabraknya. Aku benar kan?.
Ku menatapnya tajam. Membuat naluri yang ditatap menyuruhnya untuk menoleh ke arahku. Ia melakukannya. Dan ia tentu membalasnya dengan kernyitan yang cukup dalam pada dahinya. Menatap bingung ke arahku yang berada dihadapannya. Membuatku berdecak sambil kacak pinggang melihatnya.
"Apa tidak ada sesuatu yang harus kau ucapkan padaku?" ketusku sambil menatapnya sebal. Dia itu robot apa sampai tidak mempunyai rasa simpati sama sekali?!.
Ia terdiam. Menatapku datar seperti sedang mencerna yang baru saja ucapanku. Sekarang malah berganti aku yang mengernyit menatapnya. Apakah ia sebodoh itu sampai harus berpikir keras terlebih dahulu?. Tapi di lihat dari pakaiannya, ia adalah seorang pengusaha. Seharusnya ia lebih pintar dariku kan?.
"Baiklah... kau ku maafkan". Mataku melotot. Mulutku menganga tak percaya. What?!. Apa yang barusan dia katakan?!. Aku dimaafkan?!.
"Hey dasar pria tak berperasaan! Apa kau tak pernah diajari untuk berkata maaf oleh orang tuamu?! Kau itu menabrakku kau tau?! Kau yang membuatku jatuh! Seharusnya kau mengatakan maaf padaku!" marahku saat melihatnya yang bahkan tidak terpikir untuk mengatakan maaf kepadaku. Apa yang ada di pikirannya itu?!.
"Awwh! What the---Apa yang sedang kau lakukan?!" kesalku bercampur panik saat cengkramannya menguat di pergelangan tanganku. Tiba-tiba saja ia mencengkram tanganku kuat-kuat---dan semakin menguat---lalu menarik paksa tubuhku mendekatnya.
"Jangan. pernah. sekali-kali kau menghina orang tuaku. MENGERTI?!" desisnya menekankan semua kata yang keluar dari mulutnya. Membuat rasa kesal dan panikku menguap entah kemana. Digantikan dengan rasa takut yang kuat sampai-sampai membuat tubuhku bergetar. Bahkan rasa takut ini diluar kehendakku. Saking takutnya, tak terasa setetes air mata meluncur dari mataku. Hingga aku yang merasakannya ikut terkejut.
"Arghh! Le-lepaskan... DASAR SIALAN!" umpatku berteriak kepadanya saat merasakan cengkramannya sangat menyakitiku.
Ku melepaskan cengkramannya lalu berlari sekencang-kencangnya menjauh darinya. Terus berlari hingga ku rasa aku berlari cukup jauh darinya. Ku membungkukkan badanku. Memegang kedua lututku sambil mengatur nafasku yang tak karuan karena pelarian yang baru saja ku lakukan.
'Apa-apaan orang itu?! Kenapa dia marah sekali saat aku sedikit menyinggung orang tuanya? Apa perkataanku keterlaluan? Ah tidak! Tidak mungkin! Yang pasti ini semua salahnya!' batinku menggerutu. Menyadari bahwa semua kesalahan ini hanyalah kesialan belaka.
Ya, hanya sebuah kesialan. Ku tatap bekas memar yang ia ciptakan di pergelangan tanganku. Apakah seburuk itu perkataanku sampai-sampai ia mengeluarkan kekuatannya? Sepertinya orang itu menyeramkan.
"Ah! Janice! Aku sampai lupa dengan orang itu!" ucapku bermonolog lalu pergi meneruskan perjalananku mencari apotek terdekat.
Berjalan santai sambil ia bertanya ke beberapa orang, menanyakan tentang apotek terdekat. Melupakan kejadian yang baru saja ia alami itu tanpa beban.
Ia bahkan tidak tau, bahwa kesialan itu takkan berhenti begitu saja. Kesialan itu bersembunyi diantara kegelapan, mengintainya sambil memegang sebuah benda persegi tipis di genggamannya. Foto seseorang.
Menampakkan seringaian yang mengerikan dan mata yang berkilat tajam setelah ia menurunkan ponselnya dari telinganya. Memperoleh informasi yang selalu bisa mengalir dengan mudah. Bahkan senyum jahatnya semakin berkembang di setiap detiknya.
"Tuan... kita akan melangkah ke rencana selanjutnya tuan. Sebaiknya anda bersiap-siap". Tutur orang kepercayaannya yang berada disebrang sana.
"Aku akan kembali dalam 15 menit. Aku ingin semuanya siap ketika aku sampai" tegasnya lalu memutuskan sambungan panggilan itu secara sepihak. Kembali mengarahkan pandangan matanya pada perempuan yang sedang tersenyum berbincang dengan seorang wanita tua dihadapannya.
Ku menyunggingkan senyum. Mengabsen seluruh rencana yang tersusun rapi dikepalaku. Bahkan dengan membayangkannya saja sudah memacu adrenalinku.
"I got you... Emily".
••••••
"Kau menghabiskan waktu 25 menit ke mini market? Ya tuhan... Kemana saja kau?" ucapan selamat datang dari Janice terdengar setelah aku membuka pintu apartemen. Menambah buruk mood yang ku punya saat ini. Ya, setelah kejadian itu, mood ku jadi jatuh seketika.
"Kalau kau jadi aku, kau takkan membeli itu dimini market. Aku jamin itu...". Akupun menyodorkan sekantung plastik putih ke arahnya. Yang diambilnya seketika dan mengintip isinya. Sepertinya ia memastikan bahwa apa yang ku beli tidak ada yang salah. Atau mungkin lupa.
Melihat perubahan mood ku, wajahnya langsung berubah khawatir. Ia yang tadinya jauh dihadapanku, perlahan mendekat dan memegang bahuku.
"Hei... apa kau baik-baik saja? Apa yang baru saja terjadi?" cemasnya sambil menuntunku ke sofa ruangan tengah. Mendudukkan diri dan bersandar setelahnya. Membuat seseorang disebelahku terlihat semakin cemas.
"Aku baik-baik saja" ucapku sambil memejamkan mata. Mencoba menenangkan pikiranku dan merilekskan tubuh yang tiba-tiba saja merasa sangat berat dan lelah.
"Ya aku percaya... kau mau aku berkata seperti itu?" tanyanya sambil melirikku tajam. Sepertinya ia sebal dengan rasa cemasnya sendiri. Ku menghela nafas berat. Seketika bangkit lalu menarik kedua tangan Janice dan mendorong tubuhnya keluar pintu apartemen.
"A-apa yang sedang kau lakukan?! What! Hey!" sebalnya sambil mencoba melepaskan diri dariku. Beberapa langkah lagi menuju pintu apartemen, ia berhasil lepas dariku dan berbalik menghadapku. Berdecak sebal dan menatapku tajam. Apa ia selalu seperti itu saat ia sebal? Itu sedikit menyeramkan.
"Huh.. ceritanya panjang. Daniel akan menjamur jika aku menceritakannya sekarang. Aku akan menceritakannya setelah kau pulang dari sana. Aku tau Daniel sudah menunggu dibawah dari tadi. Bahkan aku sudah melihat mobilnya sampai disini sejak aku meninggalkan apartemen. Kau tau? Menunggu itu menyebalkan..." ucapku sambil berusaha terlihat biasa saja dihadapannya. Ia masih ragu, semakin menatapku. Dengan datar.
"Ah lihat! 20 menit lagi kau harus berangkat! Kau pikir dari sini ke bandara cukup dengan waktu 25 menit?! Kau akan terlambat! Ayo! Aku tidak ingin kau ketinggalan pesawat hanya karena ini" sambungku sambil kembali mendorongnya ke luar. Ku lihat tadi barangnya sudah tidak ada diapartemen. Jadi ku pikir mungkin sudah berada didalam mobil mereka.
"Kau hutang satu penjelasan padaku! Ingat itu!" ingatnya.
"Sampai jumpa lagi 1 minggu ke depan Yang mulia ratu!".
"EMILY----".
BLAM!
Suara terbantingnya pintu mengakhiri percakapan kita hari ini. Bahkan aku masih bisa mendengar gerutuannya yang berada dibalik pintu ini. Dan hal itu membuatku sedikit menghela nafas.
Aku sendirian. Dihari libur yang seharusnya menyenangkan ini. Haahhh... ternyata ia benar. Seharusnya aku punya pacar.
TOK! TOK! TOK!
Suara pintu dibelakangku diketuk. Membuat kelapaku memiring bingung. Janice kembali lagi?. Untuk apa? Apa segitu khawatirnya padaku sampai-sampai ia meninggalkan liburannya dan Daniel? Itu benar-benar bukan Janice. Lalu apa? Apa ada sesuatu yang ia lupakan atau tertinggal? Sepertinya alasan itu lebih masuk akal.
"Hei jika kau mengkhawatirkanku kau lebih baik per---" . Mulutku terhenti saat pintu apartemen terbuka dan tidak menampakkan siapapun. Bahkan bukan Janice sekalipun.
Ku mengernyit semakin bingung. Lalu siapa yang mengetuk tadi? Orang iseng yang lewat? Oh tuhan... apartemen ku berada diujung koridor dan langsung disambut dengan sebuah jendela setinggi dadaku. Lagipula aku tidak melihat siapapun dilorong ini. Masa orang itu melompat darisini? Itu tidak mungkin. Apa hantu? Hiii... membayangkannya saja membuatku merinding.
Saat ku berniat untuk menutup kembali pintu, sesuatu tertangkap mataku. Sebuah kotak. Berada diatas lantai dihadapan pintu apartemenku. Berwarna putih dan tidak terlalu besar dan diikat dengan pita biru. Waaww... pitanya lucu sekali. Dan kebetulan sekali aku suka warna biru. Sepertinya aku akan menyimpannya. Bahkan ada sebuah kertas kecil yang menggantung disana.
For you...
-Your Secret Admirer.
Wahhh apa jaman sekarang masih ada yang namanya secret admirer? Sepertinya ini langka. Cepat-cepat ku mengambilnya dan menutup pintu. Berlari ke kamar dan langsung menjatuhkan diri ke kasur. Saking senangnya, aku sampai lupa bahwa 5 menit yang lalu mood ke benar-benar buruk. Membuka kado itu perlahan takut merusak sesuatu yang ada didalamnya. Bisa saja kan barang yang ada didalam itu terikat langsung dengan kotak. Hingga akhirnya aku perlahan membukanya. Mataku berbinar tak percaya. Ini keajaiban!.
Ku ambil perlahan sesuatu yang ada didalamnya. Dan apa kalian percaya?! Dia memberiku boneka!. Boneka yang sebulan lalu aku inginkan. Boneka harimau yang lucu yang sangat menggemaskan. Bahkan harganya masih tergantung di sana dengan nominal yang cukup 'menggemaskan'.
Langsung saja ku peluk ia erat-erat. Aahhh... ini sangat menakjubkan!.
"Have a nice day!". Telingaku menajam kala sebuah suara terdengar. Perlahan ku jauhkan boneka itu dan menatap wajahnya. Apa barusan ia bersuara? Tapi mana mungkin. Apa... apa ia hidup?!. Jika benar aku bisa gila!. Tiba-tiba saja mataku tak sengaja melihat secarik kertas didasar kotak. Yang langsung tanpa pikir panjang ku ambil dan membacanya.
Peluk ia erat agar ia bisa membalasmu!. Tekan 2 kali perutnya untuk memberinya nama.
Pegang tangannya agar ia menyayangimu. Sama sepertiku.
-Your Secret Admirer.
Ahhh... ternyata benar. Itu adalah suaranya. Dengan senangnya ku tekan perutnya 2 kali.
"Give me a name!" ia kembali bersuara. Ku terdiam memikirkan nama yang cocok untuknya. Bahkan aku tidak bisa berhenti tersenyum memikirkannya.
"Taytay! Your name is Taytay!" jawabku dengan semangat. Ku genggam erat tangannya. Boneka beruang itu merekamnya dan memberikan respon cepat.
"Taytay love you!" riangnya setelah ku genggam tangannya. Ternyata boneka ini ajaib!.
"Emmy love you too!" riangku lalu menjatuhkan diri ke atas kasur. Memeluk erat boneka besar itu dan menatap mata besarnya yang menggemaskan. Hingga tak sadar, aku terlelap setelahnya.
••••••