"Nih." Dengan kasar dilemparnya kaos olah raga itu ke wajah Fatin. Hampir saja Fatin mengamuk, tapi dia berhasil menahannya. "Kaos begitu doang ampe segitunya, miskin ya lu. Awas ya lo kalau sampe gangguin gue lagi."
"Dasar nggak tahu diri! Tahu gitu nggak gue tolongin lo, biar aja mati dikerubung semut." sengau Fatin yang mulai emosi.
"Kok lo nyolot sih!"
"Yang nyolot duluan elu codot!"
Perang suara itu terdengar memenuhi lahan parkir. Tanpa sengaja Fatin melihat Rayhan yang berhasil membawa Jasmine pergi dari kejauhan. Temannya itu membentuk lingkaran dengan jarinya sembari tersenyum lebar, Fatin diam-diam menahan seringai. Rencana berhasil.
"Apes banget sih bisa punya urusan sama cewek kayak lo. Moga-moga gue nggak berurusan lagi sama lo." sengit Fendy, akan membalik tubuhnya namun cepat-cepaat Fatin tahan.
Jangan sampai Fendy melihat Jasmine di kejauhan sana.
"Apaan sih lo!?" Fendy berusaha melepaskan tangan Fatin di kedua lengannya.
"Tunggu dong, urusan kita kan belum selesai."
"Urusan apa lagi sih?! Buruan lepas, dasar gila!"
Sekarang bukan lagi perang suara, Fatin dan Fendy seperti pegulat yang saling menungunci satu sama lain. Saat Fatin melihat Rayhan mulai melajukan jeep hijau tentara dengan Jasmine di sampingnya, saat itu juga Fatin melapas kunciannya pada Fendy. Alhasil lelaki itu jatuh.
"Waduh bencong!" seru Fendy seponta, dia mengerang kesakitan sambil mengusap pinggulnya yang ngilu.
Fatin menatapnya tanpa belas kasihan. "Dah, urusan kita selesai hari ini." setelah itu Fatin melenggang pergi meninggalkan Fendy. Dia punya jadwal pekerjaan yang padat hari ini.
***
Fatin buru-buru memasuki kantor redaksi siang itu, dia terlambat dua jam karena harus mencari kendaraan umum terlebih dahulu, belum lagi terjebak macet. Semua ini karena dia berangkat ke kampus bersama Rayhan menggunakan jeep lelaki itu, meninggalkan motor merah kesayangan Fatin di garasi. Tapi mungkin mulai sekarang Fatin harus terbiasa sendiri, tidak mungkin kan mereka tetap bersama saat Rayhan sudah punya pacar nanti.
Fatin hampir bersenggolan dengan salah atu teman kantornya-Miranda, ketika akan memasuki ruangan Mas Damar, selaku kepala editor di kantor ini.
"Fatin, ati-ati dong." tegur Miranda.
"Maaf Mbak Mir, saya lagi buru-buru." Napas Fatin sedikit terengah.
"Mau apa sih sampe buru-buru gitu?"
"Ini mbak, mau ngasih file artikel hari ini."
Kening Miranda mengerut heran. "Kok nggak kamu email aja, kan lebih praktis."
"Saya lupa sandi email saya mbak, belum sempet saya benerin." Fatin tertawa getir sambil menggaruk lehernya gugup.
"Makanya hati-hati, jangan suka teledor. Kamu harus tahu betapa pentingnya akun email dan lain sebagainya, nih ya kalau perlu ..." Fatin hanya bisa menerima siraman rohani dari Miranda yang tak ada habisnya, dan sekali lagi hanya bisa diam saat Mas Damar ikut menceramahinya.
"Saya nggak mau kejadian ini terulang lagi, kamu harus lebih kompeten. Inget loh, kamu bukan pegawai freelance lagi, tapi pegawai tetap." Mas Damar mengakhiri kalimat panjangnya dengan peringatan keras.
"Baik mas, nggak akan saya ulangi." Yakin Fatin. Setelah itu dia keluar dari ruangan Damar menuju ruangan lain.
Fatin membalas sapaan beberapa rekan kerjanya, dia melihat keluar yang hari ini mataharinya bersinar terlalu terang. Untung saja selokan di kantornya ini dibuat kusus. Fatin tersenyum menatap segerombolan ikan yang berenang di air yang jernih. Konsep selokan ini sama seperti yang ada di beberapa distrik di Jepang. Membuat suasana menjadi sedikit lebih sejuk.
Rencananya hari ini Fatin akan mewawancarai seorang penyanyi pendatang baru. Dia seorang penyanyi yang awalnya hanya mengcover lagu, karena suara dan parasnya yang memenuhi syarat akhirnya orang itu berhasil masuk dapur rekaman. Fatin sedang membaca data diri penyanyi pendatang baru itu saat pintu ruangan terbuka tanpa diketuk.
Namanya Lucas Georgino, atau kerap juga disapa Gio. Dia laki-laki yang cukup tinggi dengan kulit kuning langsat. Gayanya sedikit urakan dengan rambut yang dibiarkannya memanjang dan cara berjalannya yang petantang-petenteng seperti preman pasar.
Fatin menatapnya dari ujung kaki hingga kepala. Orang-orang seperti ini bisa juga jadi artis? Fatin bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya seburuk apa sistem dunia hiburan di negera ini. Tapi apa peduli Fatin, mau buruk penampilan atau perilakunya sekalipun, selagi orang-orang ini bisa memberinya berita jelas bukan masalah.
Kenyataan yang cukup ironis bukan.
"Buruan ya, gue abis ini ada janji. Nggak bisa lama-lama."
Sombong, check!
"Panas banget sih ni tempat."
Belagu, check!
"Lo biasa aja dong ngeliatin gue, naksir lo?"
Over PD, check!
Sudah Fatin putuskan, dia akan menjadi orang pertama yang mendislike semua video klip lelaki ini. Walau hatinya dongkol setengah mati, Fatin tetap bersikap profesional. Bagaimanapun juga dia masih butuh uang dari tempat ini.
Sesi wawancara itu berjalan dengan cukup baik. Meski Fatin berulang kali harus menghela napas panjang diam-diam. Sampai akhirnya wawancara itu selesai barulah Fatin dapat bernapas lega. Dia tak perlu menunggu sesi pemotretan singkat yang sedang berjalan saat ini karena sudah ada Miranda yang turun tangan mengarahkan, Fatin bisa kembali ke kubikelnya dan mulai menyusun materi artikel yang malam ini juga akan dimuat.
Tapi ternyata tak semudah itu pekerjaan Fatin selesai.
Ponsel yang Fatin gunakan untuk merekam wawancara mereka tadi basah kuyub sama seperti dirinya. Gio sebagai pelaku utama yang menyebabkan Fatin tercebur di selokan, hanya bisa meringis sembari mengusap rambut panjangnya.
"Panjang urusan." Gumamnya saat Fatin memelotot padanya.
"Nggak punya mata lo!" seru Fatin tanpa menahan amarah sedikitpun.
Miranda yang juga menyaksikan insiden tersebut, segera membantu Fatin berdiri. Fatin tak tahu harus mendahulukan marah atau panik saat ia melihat ponselnya yang mati total. Seharusnya Fatin mengukuti saran Rayhan untuk membeli ponsel anti air.
Alhasil, karena perasaan yang campur aduk, membuat Fatin hanya bisa menangis. Gio yang menyadari itu dibuat kalang-kabut. Mereka mulai menjadi tontonan dan hal ini tidak baik untuk karirnya yang baru saja akan dia rintis.
"Gue bakal tanggung jawab." ucap Gio berbisik.
"Emang harus tanggung jawab." Suara Fatin yang kelewat keras itu makin menarik perhatian.
"Besok gue bakal wawancara ulang, lo yang tentuin tempatnya. Hari ini bilang aja gue nggak bisa wawancara dan cuma bisa foto." Gio menjanjikan. Dia beralih pada Miranda yang menjadi satu-satunya orang paling dekat dan melihat keteledoran yang Gio lakukan. "Lo juga setuju kan?"
Miranda mengangguk. "Udah Fatin, kamu tenang aja, nanti mbak juga bakal bantuin." Miranda mengusap lengan Fatin untuk menenangkan gadis itu.
"Masalahnya, ini isinya bukan cuma wawancara sama dia." Tunjuk Fatin sengit. "Tapi ada file wawancara sama artis lain juga, saya nggak bisa back up karena email saya nggak bisa dibuka."
"Biar gue yang atur. Udah gue bilang gue bakal tanggung jawab." Gio mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya pada Fatin. "Kasih nomor lo aja, nanti gue telfon. Gue harus pergi sekarang." Burunya tak sabaran.
Fatin menyambar ponsel Gio dengan kasar, segera mengetik nomornya di layar enam inci tersebut. "Kalau malam ini lo nggak telfon gue, gue beberin ke sosmed gimana kelakuan yang belagu." ancam Fatin tak segan-segan.
"Iya, pasti gue telfon. Kapan lagi kan, lo nerima telfon cowok ganteng kayak gue." ucap Gio, mengedipkan sebelah mata dan meninggalkan Fatin yang tercengan melihat tingkahnya.
"Dasar nggak waras."