Dalam sejarah hidupnya yang baru seumur jagung ini, baru kali ini Gio harus berusaha hanya untuk menemui seorang gadis. Gadis yang mengabaikan panggilan telfonnya, tak menggubris puluhan pesan yang dikirim dan bahkan berani memblok nomornya.
Saat itu juga Gio bersumpah, dia akan memberi Fatin pelajaran karena sudah berani membuatnya penasaran.
"Kenapa chat gue nggak lo bales, nggak punya pulsa apa kuota. Sini gue beliin kalau gitu."
"Lo bisa nggak jawab pertanyaan gue, gue harus cepet-cepet pulang."
Fatin tak tahan lagi, ini sudah lebih dari satu jam. Padahal interview kali ini hanya memiliki sepuluh pertanyaan sederhana yang bisa dijawab dengan mudah, tak membutuhkan waktu sebanyak itu untuk berpikir. Tapi Gio selalu mengalihkan pembicaraan pada hal kurang penting, bahkan berani mengatakan tidak mendengar pertanyaan yang Fatin berikan untuknya.
Dia ingin Fatin bicara sambil memegang toa atau apa. Apa pun itu asal wawancara ini segera berakhir. Fatin ingin segera beristirahat.
"Nggak ah, males, nanti aja jawabnya."
"Lo niat wawancara nggak sih sebenernya?!"
"Nggak, gue ke sini kan cuma mau ketemu sama lo. Kangen."
Gio masih terus melantur, seringai di wajahnya muncul setiap Fatin marah-marah. Dan setelah dua jam yang rasanya sia-sia, akhirnya wawancara itu selesai.
***
Rayhan menunggu dengan bosan di mobilnya, ini sudah lebih dari satu jam tapi Fatin tak juga muncul. Ditelfon pun tidak diangkat, artinya Fatin masih sibuk di dalam sana.
Setelah menimbang-nimbang, Rayhan memutuskan untuk turun dan menyusul masuk. Mungkin lebih baik menunggu Fatin di dalam daripada dia mati bosan di dalam mobil.
Ketika berjalan, ponselnya bergetar di saku baju. Senyum Rayhan mengembang saat melihat nama Jasmine terlihat di layarnya.
"Halo." Rayhan menyapa.
"Ray?" langkah Rayhan berhenti ketika mendengar nada bergetar dari suara Jasmine.
"Kamu kenapa Jasmine?" Rayhan tak bisa mencegah cemas pada kalimatnya.
"Aku minta maaf, gara-gara aku kamu jadi dipukulin sama Fendy."
"Ya ampun Jas, aku pikir kamu kenapa." Rayhan mengembuskan napas lega. Dia menyingkir ke tempat sepi. "Kamu nggak papa kan?"
"Harusnya aku yang tanya gitu. Kamu nggak papa kan, luka kamu gimana?"
"Tenang aja, udah diobatin sama Fatin kok."
"Fatin, sahabat yang pernah kamu ceritain itu?"
"Iya, yang itu. Kamu tadi sempet liat perempuan yang narik aku kan. Nah itu Fatin."
"Oh, tadi aku sempet lihat sekilas sih. Fatin cantik ya."
Rayhan terkekeh. "Cantik-cantik gitu tapi kelakuannya nggak cantik sama sekali. Tadi sebenernya aku mau kenali kamu sama dia, tapi keadaannya nggak memungkinkan. Mungkin kapan-kapan kalau kamu nggak sibuk, kita bisa makan bareng."
"Boleh, aku juga pingin tahu Fatin itu kayak gimana."
"Oke kalau gitu, gimana kalau akhir minggu ini kita ketemu."
Setelah membuat janji dan sedikit obrolan, sambungan itu putus dengan raut bahagia di wajah Rayhan. Dia berjalan menuju studio tempat biasa Fatin melakukan wawancara, bersiul-siul seperti burung yang menemukan pasangan. Langkahnya melambat saat melihat Fatin dari kejauhan, Rayhan memasang senyum lebar sambil mengangkat tangan hendak memanggil Fatin.
Tapi langkah Rayhan seketika berhenti ketika Fatin hampir jatuh, beruntungnya seseorang yang berjalan di belakang gadis itu menahan laju tubuh Fatin. Namun ada yang aneh dari posisi mereka.
Mata Rayhan membulat ketika menyadari di mana orang itu meletakkan tangannya untuk menahan tubuh Fatin. Di depan, tempat di dada kiri gadis itu.
"Lepas nggak!"
Rayhan bereaksi lebih cepat dari orang-orang yang terpaku di tempat itu. Dia menarik Fatin yang berubah kaku menjauhi Gio yang kelabakan. Sumpah demi apa pun, itu tadi tidak sengaja, dia hanya ingin membantu Fatin yang hampir jatuh karena menginjak rok panjangnya sendiri.
"Lo tahu nggak sih lo tadi megang apa!?" teriak Rayhan.
"Sumpah gue nggak sengaja! Gue cuma mau nolongin Fatin!" Gio yang kalut ikut berteriak.
"Alesan aja! Lo pasti sengaja kan! Dasar mesum!"
"Kok lo jadi nyolot sih!"
Ketika Rayhan dan Gio sibuk dengan perdebatan mereka. Fatin memegangi kepalanya yang tiba-tiba pusing, mendengar suara Rayhan dan Gio memperparah kondisi. Fatin tak tahu apa yang terjadi, dia hanya merasa tubuhnya sangat ringan dan kegelapan menyelimuti pandangannya. Dari sisa kesadaran yang dia miliki, Fatin mendengar suara berteriak memanggilnya.
"Tin, Fatin bangun!" Rayhan mendekap Fatin yang tiba-tiba jatuh pingsan. Panik saat Fatin tak bergerak dengan wajah pucat. Sejak kapan Fatin terlihat tak sehat, bagaimana bisa Rayhan tak menyadarinya.
"Minggir lo, nggak usah pegang-pegang." Rayhan menepis tangan Gio.
"Gila ya lo, gue cuma mau nolongin."
"Nggak perlu, gue bisa nolong Fatin sendiri." Setelah itu Rayhan mengangkat Fatin dengan mudah. Ia berjalan cepat menuju mobilnya di halaman depan.
Gio menahan geram, tak habis pikir. Siapa orang itu sebenarnya, kenapa tingkahnya sok sekali. Lalu terlintas satu kemungkinan di kepalanya, pacar. Gio cepat-cepat menyingkirkan kemungkinan itu dari kepalanya. Siapa yang mau pacaran dengan gadis segalak Fatin, mungkin orang itu hanya teman. Iya, pasti hanya teman.
Tapi untuk apa seorang teman bertingkah selayaknya pacar. Gio menggeram pelan, mau pacar atau bukan itu jelas bukan urusan Gio. Urusannya hanya dengan Fatin, titik.
***
Rayhan membawa Fatin ke rumah sakit. Dokter bilang Fatin hanya kelelahan dan akan baik-baik saja jika mendapat istirahat yang cukup serta suntikan vitamin.
Rayhan menunggu Fatin yang baru saja mendapat suntikan vitamin, untuk berjaga-jaga Rayhan juga meminta Fatin diinfus. Sudah sejak satu jam yang lalu tapi Fatin belum juga bangun. Apa gadis itu benar-benar lelah. Rayhan tak bisa mencegah perasaan bersalah menggerogotinya.
Karena permintaan egoisnya, Fatin yang jadi korban. Andai ia tetap membiarkan Fatin istirahat di rumah, mungkin sahabatnya tak perlu terbaring pingsan di rumah sakit.
"Maaf, Tin." Rayhan menelungkupkan kepalanya di atas tangan Fatin.
"Jam berapa sekarang?" Rayhan mengangkat wajahnya, mendapati Fatin telah sadar dari pingsan.
"Ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu?" Fatin menatap Rayhan aneh, sebabnya laki-laki itu memandangnya dengan mata berkaca-kaca. "Nggak usah drama, serius."
"Tin maaf, gara-gara ngajakin lo ngeluyur lo malah jadi pingsan gini. Gue beneran minta maaf." Rayhan sekali lagi menelungkupkan kepalanya di tangan Fatin.
"Nah sadar juga kan lo akhirnya. Beliin gue sepatu baru abis ini." Fatin memukul kepala Rayhan pelan. "Udah ah, ngapain sih pake nangis. Lo kan cowok." Ketusnya, meski begitu Fatin mengelus rambut Rayhan lembut. Mungkin jika dilihat dari luar Rayhan akan terlihat seperti bocah nakal dengan segala tingkah lakunya, tapi di mata Fatin yang sudah bersamanya sejak kecil, Rayhan adalah bocah cengeng yang akan menangis hanya karena melihat Fatin jatuh dari sepeda.
Dan hal itu tak berubah hingga sekarang, mungkin juga sampai nanti.
"Maaf, Tin."
"Iya, udahan dong nangisnya. Nanti orang-orang yang ngeliat bisa salah paham, nanti mereka pikir gue mau mati lagi kalau liat lo nangisnya begini."
Fatin masih terus mengelus rambut Rayhan seperti kucing. Setelah puas menangis- setengah jam lamanya, Rayhan dan Fatin akhirnya pulang. Rayhan menuntun Fatin turun dari mobil, membawa gadis itu memasuki rumahnya.
"Kok kalian baru pulang sih sayang." Mira menyambut kepulangan anak gadisnya dan Rayhan. Mengernyit ketika menyadari wajah pucat Fatin. "Fatin kok pucat? Fatin kenapa Ray."
Mira menyentuh wajah Fatin dengan cemas. Rayhan dan Fatin saling melirik melempar kode. "Jangan coba-coba bohong sama Bunda, kasih tahu Fatin kenapa Rayhan." Tapi ketegasan dalam suara Mira membuyarkan rencana keduanya dengan cepat.
"Anu, Bun, itu, tadi Fatin pingsan. Kata dokter Fatin kecapean." Walau ragu Rayhan pun menjelaskan.
"Tapi udah nggak papa kok bun, Fatin udah sehat lagi." Tambah Fatin cepat-cepat. Tidak ingin membuat wanita kesayangannya khawatir.
"Bunda tuh heran sama kamu, kenapa sih kamu harus kerja keras kayak gini. Emang yang Bunda sama Ayah kasih buat kamu itu kurang, masih belum cukup. Apa sih yang sebenernya kamu cari sampe nggak merhatiin kesehatan kamu sendiri."
Membuat Bunda yang lemah-lembut marah adalah hal terakhir yang ingin Fatin lakukan. Dia tak bisa bicara apa pun, hanya bisa menunduk tak berani menatap Mira. Rayhan yang melihat itu pun lagi-lagi didesak rasa bersalah.
"Bunda, ini salah Rayhan kok, jangan marahin Fatin."
"Iya, emang ini juga salah kamu. Kamu udah tahu Fatin mau istirahat malah kamu ajak main seharian ini. Kalau Fatin sampe kenapa-napa gimana."
"Maafin Rayhan Bun, Rayhan nggak akan ngulangin lagi." Rayhan menundukkan kepala dalam-dalam. Fatin meliriknya dari samping.
Dia ingat dulu mereka juga sering dimarahi oleh Bunda atau Mama setiap membuat ulah. Rasanya hal itu pun tak berubah sampai sekarang.
"Pokoknya, kalau kamu sampe kayak begini lagi. Kamu harus berhenti kerja, Bunda juga bakal lapor sama Ayah kalau kamu hari ini pingsan." Tegas Mira tak bisa lagi menolerin.
"Yah Bunda, jangan kasih tahu ayah." Bisa tamat riwayat Fatin. "Fatin kan udah gede Bun, Fatin bisa jaga diri. Emang hari ini lagi sial aja." ucap Fatin setengah memohon.
"Nggak. Pokoknya Bunda bakal kasih tahu Ayah, biar kamu tahu rasa. Sembarangan aja bikin orang tua khawatir." Setelah itu Mira melangkah menuju kamarnya, mengabaikan rengekan Fatin yang masih ingin membujuknya.
Mira duduk di tepi tempat tidur dengan mata berkaca-kaca, sedetik kemudian air matanya benar-benar jatuh membasahi pipi. Dia tidak mungkin tidak menyadarinya, Mira tahu kenapa Fatin bekerja keras sejak dirinya lulus SMA. Dia juga menyadari barang-barang di kamar Fatin mulai berkurang sedikit demi sedikit, gadis itu pun sesekali tidak pulang ke rumah dengan alasan menginap di rumah teman. Sedangkan satu-satunya teman dekat Fatin hanyalah Rayhan. Mira tahu, sangat tahu.
"Fatin." Mira tak bisa mencegah rasa sakit mengaliri tubuhnya. Jika saja Mira tahu akan begini jadinya, dia takkan pernah mengungkap jati diri Fatin yang sesungguhnya.