Seperti yang dijanjikan oleh Gio, semalam dia menghubungi Fatin dan hari ini mereka ada janji temu. Lelaki itu bilang dia bisa mengatasi masalah Fatin hari ini juga. Tentunya Gio mengatakan itu dengan gaya angkuh, yang membuat Fatin menyumpah-serapah dalam hati.
Fatin memastikan alamat yang Gio berikan padanya semalam. "Beneran ini?" Ucapnya tak percaya. Dia lagi-lagi memastikan alamat yang tertulis pada ponsel jadulnya. "Ajigile, bener ini rumahnya." Fatin menjerit tertahan.
Sepertinya Fatin sudah berurusan dengan orang yang salah. Tapi mungkin saja dia hanya tinggal di sini, bukan yang punya rumah. Fatin sangat ingin meyakini hal tersebut. Namun saat dia menekan bel di sebelah pagar tinggi, dan mengatakan tujuannya datang ke tempat ini. Orang yang menjawab lewat interkom itu langsung mempersilakan masuk layaknya menyambut tamu penting.
Artinya... "Oh, udah dateng." Gio turun dari tangga melingkar yang besar. Masih dengan penampilan preman pasar.
Seorang pelayan berseragam undur diri setelah meletakan minuman untuk Fatin, dia membungkuk hormat pada Gio sebelum benar-benar pergi. Tingkah pelayan itu semakin menyakinkan Fatin, jika Gio bukan hanya sekedar tinggal di rumah ini. Rumah yang bisa disebut juga istana.
"Gue tahu gue ganteng, tapi lo nggak perlu bengong gitu." Kata-kata itu seperti alarm yang menyadarkan Fatin.
"Lo bilang mau tanggung jawab, mana tanggung jawabnya?" Mereka duduk berhadapan di ruang tamu yang luas. Fatin menatap Gio dengan tajam, sedangkan lelaki itu menatapnya setengah bosan.
"Kalau ada yang denger kata-kata lo barusan, mereka pasti bakal salah paham." Menurut Gio itu terlalu ambigu. Tapi Fatin tak peduli, nasib pekerjaannya sedang dipertaruhkan saat ini.
"Nggak usah banyak omong. Katanya mau tanggung jawab, atau jangan-jangan lo cuma omdo." Semalam- setelah Fatin berhasil memperbaiki emailnya, dia menerima pesan dari Damar. Kepala editornya itu menanyakan artikel yang harusnya tayang malam itu. Beruntung Fatin mendapat alasan yang cukup bagus, jadi Damar tak menerornya semalaman.
"Tunggu, bentar lagi juga dateng." Gio melihat jam tangannya.
Fatin akhirnya diam, menunggu. Selama satu jam lamanya dia harus berpura-pura tak menyadari tatapan Gio yang terang-terangan. Entah apa yang ada di dalam kepalanya hingga memandangi Fain seperti itu. Sampai pelayan berseragam yang sama muncul, membawa beberapa orang di belakangnya. Saat itulah Fatin bisa bernapas lega.
Fatin seketika berdiri saat mengenali orang-orang yang dibawa oleh pelayan. Mereka adalah artis, aktor dan penyanyi yang hasil wawancaranya hilang. Jadi ini maksud tanggung jawab Gio, hebat juga. Harus Fatin akui.
"Makasih ya udah dateng, hampir aja gue omdo." Sindirnya, melirik Fatin sembari menyeringai. Gio menyalami satu per satu tamunya. Beramah-tamah sebentar sebelum melemparnya pada Fatin.
Saat Fatin mulai menyiapkan perekam suara tipe lama, sebuah ponsel keluaran terbaru muncul di depan wajahnya. Fatin mengangkat wajahnya dan mendapati Gio berdiri di depannya, mengulurkan ponsel itu.
"Ini juga sebagai bentuk tanggung jawab." Begitu katanya.
Fatin tidak mau meninggikan gengsi, lagipula ini memang haknya. Jadi diterimanya ponsel itu tanpa banyak bicara. Gio tersenyum setengah, seperti perkiraan gadis ini memang lain.
Gio duduk tetap duduk di tempatnya, ketika Fatin mulai mewawancara satu per satu pelaku dunia hiburan- yang secara khusus dia bayar untuk sesi wawancara ini.
Satu setengah jam kemudian, Fatin mengucapkan terima kasih pada narasumber yang akan menyelamatkannya dari ancaman SP 3. Sampai mereka semua menghilang di balik pintu, Fatin tetap mempertahankan senyum manisnya.
"Udah kan. Nah sekarang, temenin gue makan." Perintah Gio sambil menarik tangan Fatin ke ruang makan.
"Apaan sih, lepas." Fatin menarik-narik tangannya yang digenggam Gio kuat.
"Nggak usah banyak omong." Gio meniru kata-katanya. "Kalau lo nggak mau makan, gue nggak akan ngebiarin lo keluar dari sini." Ucapnya membuat Fatin mendelik marah.
Sepertinya Fatin memang berurusan dengan orang yang salah.
***
Tawanya melantun, Rayhan memutuskan jika suara itu akan menjadi favoritnya mulai sekarang. Siang ini Rayhan dan Jasmine pergi ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Salah satu tempat penting yang menyimpan banyak sejarah ini masih memiliki beberapa bangunan jaman kolonial Belanda, di tepi dermaga pun banyak kapal pinisi tua yang bersandar.
Lokasi ini adalah salah satu tempat yang menjadi surga untuk para fotografer.
"Aku nggak tahu kalau Jakarta masih punya tempat sebagus ini." kagum Jasmine yang tak berhenti membidik lensa kamera.
Rayhan tertawa kecil. "Sebenernya masih banyak kok tempat bagus di Jakarta, buat foto-foto atau buat refeshing. Aku sama Fatin sering jalan-jalan nggak tentu arah buat cari tempat baru yang asik, salah satunya di sini." ungkap Rayhan mengingat kenanganya bersama Fatin selama ini.
"Fatin ... pacar kamu ya?" langkah mereka berhenti. Jasmine menatap Rayhan yang tertawa mendengar kalimatnya.
"Bukan, dia sahabat aku. Aku sama Fatin udah sama-sama sejak kecil, bukan sejak kecil sih, tapi sejak bayi lebih tepatnya. Dia satu-satunya orang yang paling aku percaya, dan satu-satunya orang yang nggak akan ninggalin aku sesalah apa pun aku." Rayhan tak bisa menyembunyikan nada sayang pada suaranya. Jasmine yang menyadari itu terkapu.
"Lain kali aku kenalin kamu sama Fatin, kamu pasti suka temenan sama dia. Fatin itu..." tanpa sadar sisa hari itu Rayhan terus membicarakan Fatin. Membuat Jasmine mau tak mau penasaran akan sosoknya.
Sosok yang amat Rayhan banggakan itu, sebenarnya seperapa hebat.
"Makasih ya, aku seneng banget hari ini. Banyak foto bagus yang aku ambil." ucap Jasmine sambil terkekeh, membuat lesung pipi yang manis terlihat.
"Sama-sama, aku seneng kalau kamu seneng." Rayhan tersenyum. "Bentar." Dia menghentikan langkahnya, secara otomatis Jasmine pun melakukan hal yang sama. "Di kapal tadi sarang laba-labanya emang banyak." Ucapnya, menyingkirkan sarang laba-laba yang tersangkut di rambut hitam Jasmine.
Saat itulah netra almond Rayhan bertemu iris sehitam malam Jasmine. Rayhan membaranikan diri menggenggam tangan Jasmine.
"Jasmine, aku tahu kita baru aja kenal. Tapi boleh, aku minta ijin buat kenal kamu lebih jauh lagi?" Rayhan mengucapkannya.
"Maksud kamu?" wajah Jasmine merah.
"Aku mau kenal kamu lebih jauh lagi, bukan sebagai teman tapi lebih dari itu. Sebenernya aku mau nembak kamu sih, tapi kayaknya kecepatan, jadi begini aja dulu sebelum jadian."
Jasmine tak bisa menahan dirinya untuk tertawa. Rayhan sendiri tersenyum malu.
"Jadi, boleh nggak?"
Jasmine terlihat berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk dengan senyum manis. "Boleh." Baru kali ini Jasmine merasa nyaman pada orang yang baru dikenalnya, bahkan dia tak segan tertawa di depan Rayhan.
Rayhan mengembuskan napas lega, setelah tanpa sadar menahan napas beberapa detik. Akhirnya, Rayhan bisa berada di tahap ini. Sekarang hanya tinggal menunjukan keseriusanyan pada Jasmine, dan gadis ini akan menjadi miliknya.
Fatin harus tahu ini.