Hari ini libur, Fatin berencana bangun lebih siang sebab kemarin dia sudah sangat sibuk. Kantor telah bekerja sama dengan beberapa rumah produksi untuk mempromosikan film mereka, alhasil ada banyak wawancara yang harus Fatin tangani kemarin. Belum lagi menulis artikel yang harus dikirimnya malam itu juga. Matanya sudah sangat lelah karena melihat layar laptop terlalu lama.
Tetapi rencana sempurna Fatin itu gagal ketika kelingking kakinya dipijat keras, membangunkannya dari mimpi indah yang nyaris menghampiri.
"Jangkrik!" Fatin tersentak, seketika menarik kakinya. Rasa kantuk sudah hilang entah ke mana.
Terdengar suara tawa membahana di kamarnya. Fatin mengerjapkan mata agar pandangannya fokus. Memastikan jika dia sedang tidak salah lihat.
"Ngapain lo pagi-pagi udah di sini. Kesambet setan apa lo." Fatin terkejut ketika melihat Rayhan sudah tampak rapi dan harum. Padahal biasanya- apalagi libur begini, akan sangat sulit mengusik Rayhan di pagi hari.
Tapi Rayhan hanya tersenyum lebar, tak membalas ejekan Fatin. "Siap-siap, kita pergi." Ucapnya.
"Hah, pergi kemane?"
"Biasalah, Jasmine."
Mendengar itu Fatin memutar matanya jengah. "Lu lama-lama ngelunjak ye. Nggak, gue nggak mau. Gue cuma mau tidur hari ini. Lu urus sendiri sono."
Fatin menenggelamkan dirinya ke dalam selimut, mengabaikan Rayhan yang cemberut di tempatnya.
"Tin, kan lo udah janji mau bantuin gue. Kok lo gitu sih." Rayhan merangkak naik ke tempat tidur Fatin. Merengek sambil menarik-narik selimut gadis itu.
"Fatin bantuin dong. Hari ini gue nggak bisa pergi sama Jasmine gara-gara si kutu kupret, dia kayaknya udah mulai curiga Jasmine sama orang lain. Bantuin dong Tin."
Jika badannya terus berguncang seperti ini, bagaimana caranya Fatin tidur. Sambil menggeram kesal, disingkirkannya selimut yang menutup tubuhnya. Fatin menatap Rayhan yang tersenyum tanpa dosa seperti mau memakannya hidup-hidup.
"Dasar ngerepotin." Sungutnya dan turun dari tempat tidur.
Rayhan yang melihat Fatin masuk ke kamar mandi pun bersorak. Mendengar sorakan lelaki itu Fatin tak bisa menahan senyum geli di bibirnya. Sial, kenapa Fatin selemah ini sih.
"Biar nanti gue beliin apa pun yang lo mau." Rayhan berdiri di depan pintu kamar mandi yang tertutup.
"Beneran ya apa pun?" Fatin yang sedang membilas tubuhnya dengan air berteriak.
"Iya apa pun. Asal harganya nggak lebih dari lima puluh rebu." Rayhan terkekeh ketika Fatin berteriak memakinya dari dalam kamar mandi.
"Becanda sayang, jan ngambek ya." bisa gawat urusan jika Fatin marah padanya.
"Tai kucing lu." Rayhan hanya bisa tertawa mendengarnya.
***
Bazar itu diadakan untuk memperkenalkan masakan Indonesia yang saat ini sulit untuk ditemui. Bahkan di tempat asalnya sendiri sudah mulai langka. Terdapat banyak stand dengan aroma menggoda lidah, dari makanan berat sampai jajanan ringan, semua ada dan sangat ingin Fatin cicipi.
Tapi apa mau dikata, dia harus menunda keinginan itu untuk sementara waktu. Karena tangannya terus saja digenggam Rayhan untuk mengikutinya membuntuti Jasmine dan Fendy.
"Hah? Apa?" Fatin tidak terlalu mendengar Rayhan, ada stand yang menjajakan kue putu. Aroma manis dan wangi pandan tercium dari tempat Fatin saat ini. Membuatnya tak fokus.
"Lo yang fokus dong, kita lagi misi penting nih." Rayhan berbisik kesal. Padahal jarak keduanya dan target cukup jauh, Jasmine maupun Fendy tidak akan bisa mendengar mereka.
Fatin berdecak bosan. "Iya-iya, seterah lo dah." Dikibasnya tangan di udara.
"Gitu dong, fokus. Ini demi masa depan sahabat lo sendiri tahu."
Fatin hanya bergumam tak jelas. Lalu tiba-tiba, "Ray kerak telor!"
"Mana?!"
"Mherekha mahu khemanah sih."
"Nggahk tahhu, yhang phenting ikhutin ajah."
"Okeh."
Fatin dan Rayhan bicara sambil mengunyah kerak telor. Jajanan wajib sejak masa SMA itu takkan bisa dilewatkan begitu saja. Bahkan oleh Rayhan yang tadi sempat mengomeli Fatin.
"Nggahk bisah dibiarin." Rayhan menelan kerak telornya susah payah. "Tin maju, singkirin si kutu kupret."
"Entar, gue tadi kayaknya ngeliat bir pletok."
"Hah, di mana?"
"Di sono."
Baiklah, sepertinya bukan hanya Fatin yang tidak bisa fokus di tengah surga ini. Dalam waktu singkat, tangan Rayhan atau pun Fatin sudah penuh jajanan. Bahkan dengan ajaibnya mereka bisa membawa soto betawi dan tongseng kambing. Tidak salah jika mereka sering mampir ke Rumah Makan Padang.
"Anjir cari kesempatan." Rayhan mengumpat lirih, ketika ia melihat Fendy menyampirkan rambut indah Jasmine ke belakang telinga.
Saat ini mereka duduk di meja yang disediakan oleh panitia penyelenggara. Tidak jauh dari keduanya- sekitar lima meja dari tempat Rayhan dan Fatin, Jasmine dan Fendy duduk sambil menyantap soto Banjar.
"Santuy bro, jan ngegas mulu. Diliatin orang kita." ucap Fatin tanpa melihat Rayhan, tongseng kambingnya jauh lebih menarik saat ini.
"Bikin panas ngeliatnya Tin."
"Bukan mereka yang bikin lo panas."
"Terus apa?"
"Jari lo kecelup soto."
"Kadal bunting!"
Saat Rayhan sibuk meniup jarinya yang kepanasan, Fatin tetap setia pada tongsengnya.
Fatin menghentikan Rayhan yang misuh-misuh. Tongseng di piringnya sudah ludes, jajanan yang mereka beli pun kini hanya menyisahkan bungkusnya.
"Udah, berisik banget sih dari tadi." ucap Fatin sambil mencari daging yang terselip di sela gigi. "Lo liat tuh, Fendy cabut." Tunjuknya menggunakan dagu belahnya.
Melihat itu, Rayhan tersenyum lebar. "Gutlak ye." Fatin menepuk bahu Rayhan dan beranjak menuju arah Fendy pergi. Fatin masih bisa mendengar Rayhan yang teriak penuh semangat padanya.
Sudut bibir Fatin tertarik. Betapa cinta bisa merubah seseorang. Fatin sempat berbalik untuk melihat Rayhan yang berjalan menghampiri Jasmine. Sekelibat, Fatin merasa ada yang aneh pada dirinya saat melihat senyum lebar Rayhan ketika menyapa Jasmine, dia sampai mengerutkan kening karena bingung. Tapi Fatin tak sempat mencari tahu karena dari sudut matanya, ia melihat sosok Fendy yang akan kembali ke tempat Jasmine.
Otak Fatin bekerja cepat. Dia harus melakukan sesuatu untuk menghalangi jalan Fendy. Tapi apa?
Saat Fendy semakin dekat, Fatin akhirnya melakukan langkah nekat. Sebodo amatlah, batinnya ketika tiba-tiba muncul di depan Fendy.
"Hai, ya ampun bisa ya kita ketemu di sini." Lagaknya sudah seperti teman yang sudah lama tak bertemu.
Sedangkan Fendy memelotot tak percaya. "Elu! Kok lo bisa di sini sih!" tanpa sadar Fendy bicara dengan nada naik dua oktaf.
Fatin menahan untuk tidak memutar matanya jengah. Reaksi lelaki ini terlalu berlebihan menurutnya. "Bisa dong, kenapa juga nggak bisa."
"Kayak curut aja lo bisa di mana-mana."
Kutu kupret! Minta diseleding! Fatin menahan semua umpatan di ujung lidah. Dia melebarkan matanya ketika Fendy berlalu melewatinya.
"Eh eh, mau ke mana?" Fatin merentangkan tangan di depan Fendy.
"Apaan sih, minggir nggak?"
Fendy berusaha mencari celah lain, tetapi Fatin terus menghalangi. Hingga mereka lelah dan mulai menjadi pusat perhatian.
"Lo minggir nggak!"
"Nggak mau!"
"Wah bener-bener ya ..." kata-kata Fendy berhenti saat matanya melihat seseorang yang familiar. Dia sedang berjalan bersama laki-laki lain menjauhi tempat mereka tadi.
Fatin yang penasaran akan apa yang dilihat Fendy pun menoleh. Lalu merutuki Rayhan yang bertindak ceroboh. Bukannya menjauhkan Jasmine ke arah berlawanan, kenapa malah berjalan kemari.
Duh, kebanyakan minum bir pletok apa yak?
Rayhan yang juga melihat keberadaan keduanya tak bisa menahan ekspresi kecut. Dia lupa jika arah ini yang tadi Fendy ambil.
Fendy melihatnya, gerak-gerik Fatin dan laki-laki yang saat ini berjalan berdampingan dengan Jasminenya. Mereka seperti sedang melempar kode lewat tatap mata. Sudah pasti saling kenal, dengus Fendy.
"Pantesan ya, lo muncul mulu di depan gue setiap Jasmine ilang. Tahunya emang lo komplotannya bocah tadi itu kan." Pantas saja Jasmine terasa lain sekarang. Setiap mereka bersama, Jasmine akan lebih sibuk dengan ponselnya. Jika hanya itu mungkin tidak begitu aneh, apalagi di jaman digital seperti sekarang. Hanya saja, gadis itu sering kali tertangkap sedang menahan senyum ketika memandangi ponselnya. Setiap Fendy ingin mengantarnya pergi pun ada saja alasannya.
"Nggak." Jawaban terlampau cepat itu semakin meyakinkan Fendy.
"Sekarang minggir, biar gue kasih pelajar temen lo itu."
"Eh tunggu!" Sekali lagi Fatin menghalangi Fendy. Baiklah, mereka sudah tertangkap basah, jadi nyebur aja sekalian. "Gini, lo tenang dulu biar gue jelasin semuanya."
"Mau jelasin apa lo, gue nggak butuh."
"Aduh dengerin dulu dong."
Fatin berteriak ketika tubuhnya tiba-tiba terangkat. Fendy yang geram mengangkat tubuh kurus itu dan memutarnya, membalik posisi Fatin menjadi di belakang. Menurunkan Fatin dengan cepat, gadis itu tak memiliki kesempatan ketika Fendy berlari meninggalkannya begitu saja.
"Mati dah, perang ini sih." Fatin berlari mengejar Fendy. Berharap belum terlambat menyelamatkan sahabatnya dari amukan banteng cemburu.