Ketika Fatin sampai di tempat kejadian perkara, dia menutup mulutnya dengan mata membulat. Sedetik kemudian Fatin berlari ke arah Rayhan yang tengah baku hantam dengan Fendy. Wajah kedua cowok itu sudah penuh luka, namun seakan tak merasakan sakit mereka terus berusaha melempar pukulan di wajah masing-masing. Tidak ada yang mengalah, tidak ada juga yang berusaha melerai karena terlalu takut.
"Stop!" Fatin menarik Rayhan menjauh sekuat yang ia bisa. Dilihatnya Jasmine yang menangis ketakutan tak bisa melakukan apa pun.
Orang-orang berkumpul, seakan menemukan tontonan menarik. Bahkan ada yang tak segan mengeluarkan ponsel dan merekam kejadian menghebohkan itu.
Dalam hati Fatin mengumpat, dasar orang-orang tak berguna. Apa mereka akan terus menonton sampai salah satu dari mereka mati.
"Udah Ray, udah." Fatin menghalangi Rayhan yang akan meringsek maju. Menghantam wajah Fendy untuk kesekian kali.
"Kalau sampe gue ngeliat lo lagi ada dideket Jasmine, gue patahin semua tulang lo." Fendy mengusap darah di sudut bibirnya.
"Lo pikir gue takut."
"Lo ..." kali ini Fendy yang ditahan oleh Jasmine.
"Fendy cukup, jangan." Air mata mengalir di pipinya.
Akhirnya setelah terjadi adu mulut yang cukup panjang. Fatin berhasil membawa Rayhan pergi dari tempat itu, begitu juga dengan Jasmine.
***
Restoran China itu selalu ramai pengunjung. Lokasinya yang dekat pusat perbelanjaan paling laris itu Jakarta itu menjadikan tempatnya strategis.
Di sudut restoran- sedikit tersembunyi dari penglihatan berkat hiasan pohon palem, Fatin sedang membantu Rayhan mengompres wajahnya yang lebam-lebam. Lak-laki itu meringis ketika Fatin sedikit menekan lukanya.
"Sakit Tin." Protesnya.
"Sukurin, siapa suruh berantem."
"Bukan gue yang mulai, kutu kupret itu yang tiba-tiba ngebogem gue. Adaw! Sakit woi!" Rayhan berteriak ketika Fatin dengan sengaja menekan luka di pelipisnya.
"Lo emang nggak mikir apa, kalau lo pulang bonyok gini reaksinya Mama Mona bakal kayak gimana." Fatin kemudian mengoles luka Rayhan dengan obat merah. "Dia pasti bakal khawatir banget."
Ketika melihat wajah penuh luka Rayhan Fatin tahu dia tak bisa membawa Rayhan pulang saat itu juga. Akan terjadi keributan jika Fatin melakukan itu. Setidaknya Fatin harus membersihkan noda darah dari wajahnya terlebih dahulu, dan mengobatinya sedikit.
"Waktu SMA aja lo nggak mau ikut tawuran, ini karena cewek langsung baku hantam."
"Males gue, kepala iket pinggang gue mau diganti gir sepeda. Yakali dah, iket pinggang gue kan mahal." Rayhan meringis ketika perih menyerang pipi dalamnya. Sudah pasti Rayhan akan menderita sariawan seminggu penuh.
Tak lama kemudian, Babah Sia datang membawa makanan untuk mereka. Dia ikut duduk dan mengamati wajah Rayhan.
"Ndak biasanya kamu berantem Han, ada apa to sebenernya?" tadi ketika Fatin datang membawa Rayhan yang babak belur, Babah Sia sempat terkejut. Setelah sepuluh tahun mengenal dua orang ini baru kali ini Babah Sia melihat Fatin yang cemas dan Rayhan yang terlihat marah.
"Makasih Bah." Fatin menggeser sup ginseng untuk Rayhan yang masih menekuk wajahnya. "Biasalah Bah, apalagi kalau bukan gara-gara cewek." Timpalnya lagi dengan nada menyindir.
"Baru sekali jatuh cinta udah bikin geger, gimana jadi playboy. Gunjang-ganjing kali ini dunia."
"Jahat lo."
"Bodo amat." Dengan itu Rayhan semakin manyun.
"Oalah, Babah kira kalian itu udah jadian. Ternyata belum to? Terus ini Rayhan malah suka perempuan lain gitu? Piye to Han, kenapa nggak sama Fatin aja? Jelas diterimanya loh." Seruan Babah Sia itu berhasil membuat Fatin dan Rayhan tersedak bersamaan.
"Bah, cukup saya jadi sahabatnya aja. Nggak usah jadi ceweknya. Umur saya bisa berkurang sepuluh tahun setiap harinya kalau saya pacaran sama bocah ini." Fatin menatap horor sambil menunjuk kening Rayhan.
"Yang mau sama cewek kayak lu juga siapa. Udah galak, rakus, ngorok lagi kalau tidur." Rayhan mendengus pun ikut menunjuk kening Fatin sadis.
Keributan itu menarik perhatian. Babah Sia yang duduk mengamati hanya bisa tertawa sambil mengelus-ngelus kumisnya yang panjang. Sudah biasa melihat pertengkaran Rayhan dan Fatin yang nyaris setiap hari terjadi.
Perdebatan itu berhenti ketika ponsel milik Fatin berdering, panggilan masuk dari Miranda membuat Fatin cepat-cepat mengangkat panggilan.
"Halo mbak, ada apa ya?" bingung Fatin, pasalnya jelas hari ini dia sedang libur dan semua pekerjaannya sudah selesai. Untuk apa Fatin dihubungi, jika hanya iseng sepertinya tidak mungkin.
"Hah, ke kantor sekarang? Tapi kan saya lagi libur mbak." Bukannya apa, tapi hari libur ini memang sudah menjadi haknya.
"Oh gitu, yaudah saya ke kantor sekarang. Iya mbak nggak papa. Oke, setengah jam lagi saya sampe."
"Lo mau ke kantor, kan libur katanya." tanya Rayhan ketika Fatin mematikan ponselnya.
"Nggak tahu, katanya ada artis yang nggak mau diwawancara kalau bukan sama gue." Tanpa semangat Fatin memasukan ponsel ke dalam tas.
Sebenarnya Fatin benar-benar lelah, jika bukan karena Rayhan dia pasti sedang di dalam selimut. Tidur sampai besok pagi.
"Gue anterin." Rayhan menyambar kunci mobil. Sebelumnya ia mengeluarkan dua lembar uang dan meletakannya di bawah gelas. Babah Sia sudah kembali sibuk di dapur, mereka jadi tak bisa berpamitan.
"Nggak usah, mending lo pulang sana. Gue bisa sendiri." Tolak Fatin. Rayhan seketika melingkarkan lengannya di leher gadis itu.
"Nggak usah sok-sokan lo. Pokoknya gue anterin, titik." Tak mempedulikan Fatin yang protes dalam rangkulannya, Rayhan membuka pintu mobil dan mendorong gadis itu masuk.
Rayhan melihat Fatin yang bersandar sembari memejamkan matanya. Dia tahu Fatin sebenarnya lelah, tapi demi dirinya gadis itu tetap memaksakan diri. Kadang Rayhan bingung, bagaimana bisa dia begitu beruntung memiliki Fatin di sisinya.
Jarinya menyentuh pipi Fatin yang memejamkan mata. Senyum tipis menghiasi wajah Rayhan.
***
"Tin, Fatin. Udah sampe." Rayhan membangunkan Fatin setengah jam kemudian. Sejak perjalanan ke kantor gadis itu sudah tidur, Rayhan sama sekali tak mengusiknya seperti biasa.
Fatin bergerak meregangkan tubuh. Tidur selama setengah jam itu sudah cukup mengisi energi.
"Minum dulu." Rayhan membuka botol air, membantu Fatin yang belum sepenuhnya bangun untuk menerima beberapa tegukan.
"Jam berapa sih?"
"Baru jam dua lebih dikit." Rayhan membersihkan tetesan air di dagu Fatin. "Udah sana masuk, gue tungguin di sini. Kalau udah selesai bisa langsung balik."
"Nggak usah lo pulang aja, gue bisa pulang sendiri." Fatin bicara sambil memperbaiki ikatan rambutnya.
"Udah nggak papa. Wawancara paling cuma bentar kan?"
"Paling lama satu jam."
"Nah, yaudah. Gue tungguin sini."
Dengan itu Fatin turun dari jeep hijau army Rayhan, memasuki gedung kantor yang padat pada hari rabu ini. Fatin menuju studio khusus yang bukan hanya untuk wawancara namun juga sekaligus sebagai tempat pemotretan. Miranda sudah menunggu kedatangan Fatin di luar ruangan.
"Yang mau diwawancara siapa sih mbak?" tanya Fatin penasaran, apa orang ini begitu istimewa sampai-sampai bisa mengacaukan hari libur Fatin.
"Oh itu Tin, sebenernya yang mau wawancara itu." Miranda agak ragu menyampaikannya.
"Siapa mbak?" kening Fatin mengerut heran.
Ketika pintu terbuka, Fatin membuka mulutnya tak percaya saat melihat seseorang duduk di sofa dengan gaya angkuh andalannya.
"Akhirnya dateng juga." Gio, yang duduk dengan angkuh itu menyeringai puas. Seolah sedang mengatakan ... kena lo akhirnya.