Chereads / Best Partner / Chapter 8 - Bab 8

Chapter 8 - Bab 8

Fatin bernapas lega, akhirnya dia bisa keluar dari rumah itu. Benar-benar, dasar manusia sinting. Fatin menggerutu sepanjang jalan. Dia bersumpah, ini terakhir kalinya mereka bertemu. Bagaimana bisa Gio memaksanya makan ini-itu dan tak membiarkannya pulang.

"Punya kelainan kayaknya." Gumamnya kesal.

Fatin berhenti di lampu merah. Hari ini tak ada jadwal kuliah, begitu juga dengan Rayhan. Mungkin Fatin akan menghubungi anak itu dan mereka akan berkeliling Jakarta sampai mabuk. Lalu Fatin teringat, Rayhan sedang menjalankan misi memenangkan hati cinta pertamanya. Bahu Fatin lunglai seketika.

Saat Fatin mengedarkan pandangan selagi menunggu lampu hijau, dia melihat seseorang berjalan di terotoar, bersama gadis-gadis seusianya. Mereka tampak tertawa-tawa dengan masih menggunakan seragam putih biru yang mencolok.

"Atiqa!" Fatin berteriak dan meninggalkan motornya begitu saja, tak peduli pada lampu yang telah berubah menjadi hijau dan pengemudi lain yang memprotes tindakannya yang sembrono. Dia tetap melangkah ke tempat Atiqa saat ini.

Atiqa yang melihat keberadaan Fatin, menarik lengan kedua temannya. Berjalan lebih cepat dan mengabaikan Fatin yang terus memanggil. Tapi pada akhirnya, langkah Atiqa berhasil Fatin susul. Ditariknya tangan gadis belia itu hingga kini mereka berhadapan. Saat kedua temannya menyingkir, Atiqa tahu bahwa dia harus menghadapi Fatin sendirian.

"Lo ngapain di sini?" seharusnya ini masih jam sekolah. "Lo bolos." Jawabannya sudah jelas.

Atiqa menyingkirkan tangan Fatin dari lengannya, lalu berdecak malas. "Apaan sih, gue nggak bolos. Emang hari ini pulang cepet." Mata Atiqa melirik sudut kanan tanpa bisa dikontrol, reaksi psikologis ketika seseorang tengah berbohong.

"Gitu," Fatin meraih tangan Atiqa, kali ini menggenggamnya erat. "Kalau gitu ikut gue pulang sekarang."

"Nggak mau." Atiqa mengibas genggaman Fatin hingga terlepas lagi. "Nggak usah sok ngatur, lo pikir lo siapa bisa seenaknya." Atiqa menatap Fatin tanpa takut.

Ditunjuknya wajah Fatin yang terperangah oleh sikapnya. "Inget Tin, sampe mati pun gue nggak akan pernah ngakuin lo sebagai saudara."

Atiqa pergi meninggalkan Fatin yang terpaku di tempatnya. Kedua teman Atiqa hanya mengikuti dari belakang, samar Fatin mendengar cekikikan kedua gadis itu. Fatin tak berusaha mengejar Atiqa lagi saat gadis itu pergi menggunakan taksi.

Suara klakson mobil dan motor saling bersahutan, menyadarkan Fatin dari lamunan. Dengan gontai dia menghampiri motornya di tengah jalan, acuh pada makian pengguna jalan lain yang menganggap Fatin gila.

Kata-kata Atiqa teringang di telinganya. Sambil mengendarai sepeda motor, Fatin termenung. "Sampe mati pun gue nggak akan pernah ngakuin lo sebagai saudara." Dan sampai mati pun memang mereka takkan pernah menjadi saudara, karena darah yang mengalir di nadi mereka berbeda.

Dua puluh dua tahun yang lalu, seorang bayi ditinggalkan di rumah sakit sesaat setelah ia dilahirkan. Dia bayi perempuan yang cantik, jarang menangis, semua yang ada di rumah sakit itu menyukainya dan menjaganya dengan baik. Dua hari setelah kelahirannya, bayi laki-laki pun lahir di tempat yang sama. Yang berbeda, bayi laki-laki itu memiliki keluarga yang menyambut kehadirannya penuh suka cita. Dia ditempatkan di sebelah bayi perempuan yang kesepian.

"Anak kamu ganteng banget Mon."

"Iya dong, anak siapa dulu." Terdengar nada bangga di suaranya.

Mona- ibu bayi laki-laki, tampak menatap sayang pada anaknya yang diberi nama Rayhan. Mira- temannya yang mendorong kursi roda Mona ikut tersenyum melihat bayi Rayhan. Tanpa sengaja dia memandang box bayi yang terletak tepat di samping Rayhan, keningnya mengerut heran manakala tak mendapati keterangan lengkap pada box bayi itu. Hanya tanggal lahir dan jenis kelamin.

"Bayi itu tinggalkan oleh ibunya sesaat setelah dia lahir, kami tidak tahu siapa ibunya karena perempuan itu datang saat hampir melahirkan di teras rumah sakit." Itu penjelasan dari suster yang ditemuinya di depan ruang rawat bayi.

Mira terenyuh. Disaat orang sepertinya begitu mengidamkan seorang anak, bagaimana bisa seorang ibu tega meninggalkan anaknya begitu saja. Bahkan tanpa memberinya nama. Mira didiaknosa sulit memiliki keturunan sejak dua tahun yang lalu karena rahimnya kering.

Kemudian satu gagasan terlintas di kepalanya. Ketika dia diijinkan untuk menggendong bayi perempuan itu, Mira tahu dia ingin menjadi ibu bayi tersebut. Dia ingin membesarkan dan mendidiknya menjadi seseorang yang lebih baik. Agar bayi itu tak melakukan kesalahan seperti yang ibunya lakukan dikemudian hari. Beruntungnya suaminya yang keras kepala mengiyakan keinginan Mira. Sepertinya dia juga jatuh hati pada bayi itu sama seperti istrinya.

"Mau kamu kasih nama siapa?" Mona yang saat itu menyusui Rayhan tersenyum lebar. Ditatapnya bayi perempuan di buaian Mira.

Mira dan Jaka baru saja menyelesaikan urusan hak asuh. Sekarang bayi itu telah resmi menjadi anak mereka.

"Namanya Fatin, aku selalu mikirin nama itu kalau punya anak perempuan." Mira mengelus pipi Fatin, bayi mungil itu tersenyum kecil seolah memberitahu Mira bahwa ia menyukai sentuhan lembut ibu barunya.

"Cantik." Mona menyentuh tangan Fatin yang dibalut sarung tangan.

"Aku juga berencana untuk merubah tanggal lahir Fatin, sama kayak tanggal lakhirnya Rayhan. Kamu nggak masalah kan?" Mira mengutarakan maksud kunjungannya hari ini ke rumah Mona.

"Iya, nggak masalah banget. Aku malah seneng." Itu terlihat jelas dari wajahnya. "Tapi kenapa harus ganti tanggal lahir. Kamu nggak bermaksud menyembunyikan identitas Fatin yang sebenernya kan?" Mona pikir itu pilihan yang berbahaya.

Mira menggeleng. "Nggak, aku nggak mungkin menghapus masa lalu Mon. Suatu saat nanti Fatin akan tahu siapa dia lewat mulutku sendiri. Aku cuma mikir, hari di mana Rayhan lahir adalah hari aku menemukan Fatin. Aku mau Fatin tahu, bahwa itu adalah hari paling membahagiakan dalam hidupku." Mira menatap Fatin yang tertidur dalam dekapannya.

"Hari di mana anugerah paling indah datang dalam dunia kami."

Sejak kehadiran Fatin di tengah-tengah keluarganya, hal baik terus berdatangan. Bahkan beberapa tahun kemudian Mira dinyatakan hamil dan melahirkan bayi perempuan. Seolah hal baik takkan pernah berhenti berdatangan. Namun kemudian, hari ketika Fatin tahu siapa dirinya pun datang.

Dia masih mengingatnya seakan itu terjadi kemarin. Kelulusan SMA yang menjadi momen paling membahagiakan, berubah menjadi malapetaka bagi Fatin.

Fatin dan Atiqa yang tak pernah dekat, semakin memiliki jarak ketika Atiqa tahu siapa Fatin. Fatin yang akhirnya tahu siapa dia sesungguhnya pun mengerti kenapa hanya dia yang berbeda di rumah ini. Rambut coklat pirang, kulit putih pucat dan mata coklat terang. Semua yang ada padanya mungkin saja milik orang tua kandungnya.

Fatin menghentikan motornya di depan rumah. Dia hanya duduk di atas motor sampai beberapa saat, Fatin menarik napas yang terasa lebih berat dari yang seharusnya. Menahan tusukan perih di mata coklat terangnya, Fatin melangkah memasuki tempat yang tidak lagi terasa seperti rumah sejak beberapa tahun yang lalu.

Aroma kue yang harum menusuk hidung. Fatin tersenyum getir, aroma ini yang mengingatkannya betapa dulu dia bahagia.

"Baunya enak." Ucapnya sambil duduk di meja makan. Di atas meja telah tersusun rapi kue kering yang sudah matang.

"Kamu ngagentin bunda aja sih." omel Mira sambil meletakan loyang berisi kue yang baru saja diambil dari oven.

Fatin terkekeh sembari melepas topinya. "Ada pesenan banyak ya?" Bundanya itu, walau hanya di rumah tetap tidak ingin berdiam diri. Sudah dua tahun ini Mira membuat kue dan mengirimnya ke beberapa toko bahkan swalayan.

"Iya, nanti kamu bantu anterin ya."

"Siap kapten." Mira tertawa ketika Fatin melakukan hormat seperti prajurit tempur.

Fatin memandangi Mira yang tengah menata kue ke dalam wadah. Mira merasakan tangan yang melingkari pinggangnya, dia tersenyum saat Fatin menyandarkan kepala di pinggul wanita itu.

"Fatin sayang sama Bunda."

Mira meninggalkan kuenya, mengelus kepala Fatin yang sudah jarang bermanja padanya. "Bunda lebih sayang sama kamu." Dia menunduk untuk menanam kecupan sayang di kepala Fatin.

Sekalipun mereka takkan pernah memiliki darah yang sama, meskipun rumah ini tak lagi menjadi tempatnya pulang suatu saat nanti. Pelukan ini akan menjadi tempat terbaik Fatin sampai kapanpun. Dan semoga untuk selamanya.