Chereads / Best Partner / Chapter 6 - Bab 6

Chapter 6 - Bab 6

Sejak usianya belasan tahun Jasmine ingin menginjakkan kaki di tempat ini. Studio foto. Tapi baik dirinya atau Fendy tak pernah bisa mewujudkan impian itu, yang bisa Jasmine lakukan hanya diam-diam memotret dengan kamera yang dihadiahkan oleh Fendy beberapa tahun lalu. Namun sekarang, dari Rayhan-orang yang baru sebentar dia kenal, Jasmine dibawanya ke tempat impian gadis itu.

"Aku kadang suka bantuin Bang Aji di sini, dia fotografer." ucap Rayhan saat ia menghentikan mobil jeepnya di depan studio foto. "Ayo turun, kamu pasti suka di dalem sana."

"Suka nggak?" tanya Rayhan yang sedang membersihkan beberapa lensa kamera di pojok tempat. Di ujung sana Bang Aji sedang melakukan sesi foto dengan modelnya.

Jasmine mengangguk, senyum ceria di wajah gadis itu membuat Rayhan ikut tersenyum. "Suka, suka banget. Makasih ya Ray, aku udah lama banget pingin lihat studio foto kayak gini." Ucapnya tulus.

Rayhan harap Jasmine tak mendengar jantungnya yang berdebar sedemikian keras. Dia bahagia, tentu saja. Sebenarnya Rayhan tak tahu harus membawa Jasmine pergi ke mana tapi beruntunglah Fatin memberinya saran yang bagus, dan seakan dewi keberuntungan sedang berpihak padanya, Bang Aji mengatakan bahwa ia membutuhkan bantuan di studionya hari ini. Membuat Rayhan dengan mudah membawa Jasmine ke sini.

Rayhan dan Jasmine menghabiskan waktu bersama hari itu, melupakan fakta bahwa mereka baru saling mengenal kemarin. Nyaman yang tercipta seolah mereka telah bersama sejak lama.

Sore hari ketika Rayhan mengantar Jasmine pulang. Waktu yang terlewati sama sekali tak terasa.

"Makasih ya." ucap Jasmine tak bisa menahan senyum di wajahnya.

"Sama-sama." Begitu juga Rayhan. "Jasmine?" panggilan Rayhan menghentikan Jasmine yang akan turun dari mobilnya. "Boleh minta nomor telfon nggak?" Rayhan menyodorkan ponselnya yang menyala.

"Boleh kok." Jasmine segera menuliskan nomor ponselnya. "Aku pulang dulu, sekali lagi makasih buat hari ini."

"Iya. Sampe ketemu besok?"

"Sampe ketemu besok."

Hingga Jasmine memasuki rumah dan tak terlihat lagi, barulah Rayhan melajukan mobilnya menjauhi kediaman gadis itu. Hatinya seperti taman di musim semi, berbunga-bunga. Bahkan ketika sampai di rumahnya Rayhan masih tak bisa melenyapkan senyum di wajah tampannya.

Rayhan memasuki rumah yang sepi, kemungkinan Ibunya sedang ikut Ayahnya. Sedangkan adik lelakinya mungkin sedang bermain game di kamarnya.

Tapi ternyata tidak. Edgar- adik lelaki Rayhan, baru saja memasuki rumah beberapa saat setelah Rayhan. Bocah itu masih menggunakan seragam putih birunya yang mulai kusut.

"Kok lo baru, Ed?" Edgar seperti terkejut saat mendengar suara Rayhan di ruang tamu, sedang melepas sepatu.

"Baru selesai kerja kelompok kak, di rumah temen. Kak Ray baru pulang juga." tanya Edgar sambil mendekat.

"Iya, tadi ada urusan jadi pulang agak." Rayhan meregangkan tubuhnya sembari mengerang. Dia lelah, tapi senang.

"Sama Kak Fatin?"

"Bukan, adalah." Senyum Rayhan membuat Edgar menyipitkan mata curiga.

"Tumben, biasanya Kak Ray selalu ngikutin Kak Fatin kemana-mana. Tapi bagus deh, kasian Kak Fatin jadi jomblo menahun gara-gara ketempelan sejak bayi."

Rayhan memelotot. "Maksud lo apaan oi?!"

"Cie merasa tersindir." Edgar menjauh dengan tawa menggema.

Rayhan mendengus, menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa. Ngomong-ngomong soal Fatin, Rayhan akan menceritakan keberhasilan hari ini pada gadis itu. Dia pasti akan ikut berbahagia. Tapi apa Fatin pulang hari ini, seingatnya Fatin bilang hanya memiliki sedikit pekerjaan hari ini. Jadi kemungkinan besar dia pulang. Rayhan melihat jam tangan, jika Fatin benar pulang seharusnya dia sudah ada di rumah sekarang.

Rayhan segera beranjak dari tempatnya. Dia membawa sepatu yang telah dilepas menuju kamar. Rayhan cepat-cepat membersihkan diri begitu masuk ke kamar, dia mengenakan kaos biru polos dan celana pendek selutut dan sandal rumah. Memanjat tembok pembatas rumahnya dan Fatin, seketika berlari ke jendela kamar Fatin yang tak pernah terkunci.

Tapi saat Rayhan sampai di kamar gadis itu, ruangan itu kosong.

"Masa nggak pulang lagi sih." Rayhan berdecak kesal. Dirogohnya saku celana mengambil ponsel, Rayhan lagi-lagi berdecak ketika nomor Fatin tak bisa dihubungi.

"Awas aja kalau nggak pulang." Gerutunya, menjatuhkan diri di kasur Fatin yang empuk. Rayhan akan menunggu di sini sambil tidur sebentar. Kamar Fatin adalah salah satu tempat paling nyaman untuk Rayhan, aroma Fatin yang manis memenuhi tempat ini, membuat Rayhan seakan merasakan kehadiran gadis tomboi itu di sisinya.

Pukul delapan malam, Rayhan merasa bahunya diguncang pelan. Ketika matanya terbuka dia melihat lampu di samping tempat tidur Fatin menyala, dan lampu-lampu kecil di atas langit-langit kamar benderang layaknya bintang di malam hari.

"Sejak kapan lo di sini?" itu suara Fatin.

Rayhan bergegas bangun dari tidurnya. "Kok lo baru pulang jam segini?" dilihatnya jam di meja samping tempat tidur. "Gue nungguin lo lama banget, ampe ketiduran."

Fatin menghela napas panjang, dia melempar handuk yang baru saja digunakannya mengeringkan rambut. Sepertinya Fatin memilih langsung membersihkan tubuhnya terlebih dahulu daripada membangunkan Rayhan tadi.

"Ada kecelakaan tadi." Fatin membungkuk untuk membuka laci paling bawah meja. Dia meraih ponsel tipe lama yang masih disimpannya sejak dulu.

"Kecelakaan apa?" Rayhan yang tadinya masih sedikit mengantuk, seketika bangun mendekati Fatin. Memeriksa tubuh Fatin dari ujung kaki hingga kepala. "Lo luka nggak? Ada yang sakit?"

Fatin pusing ketika Rayhan memutar tubuhnya seperti gasing. "Bukan kecelakaan beneran Ray." Fatin melepaskan tangan Rayhan dari tubuhnya.

"Terus?"

Fatin mendekus saat mengingat kejadian siang tadi. Dia menancapkan charger model lama, mengisi daya ponsel jadul yang hanya bisa untuk menelpon dan SMS. Fatin pun menceritakan tragedi yang dialaminya hari ini. Sebagai sahabat yang baik tentu Rayhan tertawa ketika Fatin menyelesaikan ceritanya.

"Diem nggak lo, suara ketawa lo jelek." Fatin memukul kepala Rayhan menggunakan guling.

"Makanya, udah gue bilang beli yang anti aer. Repot sendiri kan lo sekarang." ucap Rayhan, tawanya masih tersisa di wajah. "Tapi yang punya cerita hari ini bukan cuman elu, gue juga punya. Bedanya cerita gue membahagiakan."

"Cerita apaan? Paling nemu duit di jalan kayak biasanya."

"Bukan itu. Lo lupa sih, Jasmine." Seringai Rayhan.

"Oh iya bener juga, gimana hari ini?" Fatin dengan antusias duduk di samping Rayhan, mendengarkan cerita lelaki. Seumur hidup mengenal Rayhan, baru kali ini Fatin melihatnya begitu bahagia.

Fatin telah berjanji, apa yang membuat Rayhan bahagia akan membuatnya bahagia juga. Tapi entah kenapa ada perasaan mengganjal di hatinya saat ini. Jika Rayhan dan Jasmine resmi menjalin hubungan nanti, akankah Fatin dan Rayhan masih bisa seperti sekarang?

"Kenapa nggak." sahut Rayhan cepat. "Lo kan sahabat gue, mana bisa gue ninggalin lo cuma buat satu cewek."

"Lo bisa ngomong gitu sekarang, tapi nanti kan nggak ada yang tahu." balas Fatin merebahkan tubuhnya di karpet berbulu.

"Pokoknya nggak. Gue nggak akan ninggalin lo. Jasmine itu baik, dia pasti bisa ngerti kalau kita cuma sahabat." Rayhan ikut berbaring di sampingnya.

"Semoga aja ya. Karena gimanapun juga cewek itu nggak pernah mau perhatian cowoknya terbagi sama hal lain, apalagi cewek lain. Nggak peduli sebaik apa pun cewek itu." Fatin menatap langit-langit kamarnya yang berkilauan. "Gue juga nggak mau pisah dari lo. Kalau nggak ada lo gue bakal gimana." Membayangkan saja membuat Fatin ingin menangis.

Rayhan melingkarkan lengan kokohnya di perut Fatin, membuat wajahnya terbenam di lekuk leher gadis itu.

"Gue janji, kita nggak akan pernah pisah." Rayhan pun tak menginginkan jauh darinya. Itu seperti mimpi paling buruk yang pernah ada, dan Rayhan akan menjauhkan mimpi itu dari hidupnya.

"Iya, semoga." Fatin menggenggam tangan Rayhan di atas perutnya.