Ketika Rayhan keluar dari kamar mandi setelah membersihkan tubuhnya di pagi hari, dia menemukan Fatin masih bergelung di atas kasurnya yang empuk. Tertidur pulas bagai Aurora. Rayhan tanpa canggung melepas handuk yang melilit tubuh bagian bawahnya, berganti pakaian saat matanya tak lepas dari wajah terlelap Fatin.
Semalam Rayhan sangat terkejut ketika mendapati Fatin muncul dengan cucuran air mata, cemas juga menghinggapi hatinya ketika Fatin tak kunjung bicara dan hanya terus menangis. Tapi sejujurnya Rayhan bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi dengan sahabatnya ini.
Tidak ada orang lain yang bisa membuat Fatin menangis kecuali keluarganya sendiri.
Semalam juga Rayhan memutuskan untuk membawa Fatin masuk ke kamarnya melalui jendela. Selain tidak bisa membiarkan Fatin sendirian dalam keadaan kalut, gadis itu juga tidak mengendurkan pelukannya pada Rayhan sedikitpun.
Semalam suntuk Rayhan tidak tidur hanya untuk memastikan Fatin nyaman dalam tidurnya. Mereka berbaring bersama di atas kasur itu. Tidak sungkan karena itu bukan yang pertama kali. Dulu saat mereka masih sekolah dasar, Rayhan sering menyelinap ke kamar Fatin melalui jendela dan tidur bersama. Begitu juga sebaliknya. Sampai kedua orang tua mereka sering kalang kabut ketika tak mendapati anak-anak mereka di kamar keesokan harinya, tapi lama-kalamaan kedua orang tua mereka pun terbiasa dengan kelakuan Fatin dan Rayhan.
Rayhan melihat jam digital di atas meja, mereka ada kelas pagi hari ini, jika tidak ingin terlambat Fatin harus bangun sekarang. Tapi apa Fatin sudah baik-baik saja untuk beraktifitas seperti biasanya. Rayhan mengusap rambutnya bingung.
"Tin, bangun Tin. Udah pagi, kita ada kelas pagi hari ini." pada akhirnya Rayhan memutuskan untuk membangunkan Fatin. Jika nanti Fatin memutuskan untuk membolos hari ini, Rayhan akan dengan senang hati menemaninya.
Fatin mengerang pelan, matanya terbuka sedikit, mencoba mengumpulkan nyawanya yang masih berceceran di berbagai benua. "Jam berapa?" tanya Fatin dengan suara serak bangun tidur.
"Jam setengah delapan, mau kuliah nggak?" bilang nggak, please. Lanjutnya dalam hati, tatapan Rayhan saat itu seperti Ojan.
"Kuliah." Singkat Fatin.
"Lo yakin, mending istirahat dulu di rumah hari ini." Rayhan masih berusaha.
"Kuliah Ray, lo mau lulus cepet nggak sih." Fatin beranjak turun dari kasur.
"Emang lo udah nggak papa?" pertanyaan itu menghentikan langkah Fatin yang akan melompat keluar jendela.
Rayhan memang ingin bolos, tapi lebih dari itu, dia tidak ingin Fatin terlihhat baik-baik saja di saat tidak baik-baik saja.
"Nggak papa."
"Tin ...."
"Ray, gue bakal kepikiran terus kalau nggak ngelakuin sesuatu." Fatin berandar di kusen jendela. "Gue mau sibuk hari ini. Lagian, lo lupa kita masih punya misi. Padahal kan kemarin lo yang semangat banget."
"Misi apa?"
Fatin memutar mata bosan. Rayhan dan sifat pelupanya. Andai hidungnya tak terpasang di wajah, Rayhan pun pasti akan lupa. "Jasmine, lo masih mau dia jadi cewek lo kan." Ucapnya gemas.
Wajah serius Rayhan berubah seketika. "Bener juga." Senyumnya merekah. "Yaudah kalau gitu, ayo berangkat. Gue tunggu di depan." Rayhan meraih tas dan jaket parasutnya dengan kilat, kemudian berlari keluar seperti anak yang akan dibawa jalan-jalan ke taman bermain.
Fatin menggelengkan kepala. Bisa-bisanya dia memiliki sahabat sejenis itu. Tapi meski sering membuatnya kesulitan, Fatin menyayangi Rayhan seperti saudaranya sendiri. Melebihi saudara yang sesungguhnya. Fatin menghela napas berat ketika ia mengingat kejadian semalam, hatinya mengerut pedih. Dia harus segera sibuk atau akan terus memikirkan masalah ini sepanjang hari.
Karenanya, Fatin melompati tembok pembatas dengan segera tanpa kesulitan. Melupakan rok panjang yang sedang dia gunakan saat ini.
***
"Bener-bener kayak cicak, nemplok di mana-mana." Rayhan menggigit sedotan dengan sadis. Matanya memandang sengit dua orang dari kejauhan.
"Sadar diri." Fatin menoyor kepala lelaki itu tanpa ampun. "Lo tiap hari nemplokin gue ke mana-mana, bukan cicak tapi udah kayak buntut." Rayhan mendekus karena tak bisa membalas kata-katanya.
"Gimana sekarang?"
"Nggak tahu. Emang lo nggak ada rencana?"
"Kenapa jadi gue. Yang mau jadian sama Jasmine pan elu, bukan gue."
Rayhan menggaruk pelipisnya bingung. "Terus gimana dong?"
"Makanya, banyakin pengalaman ama cewek. Jangan ama sabun, begini kan jadinya." cibir Fatin habis-habisan.
"Iya deh yang punya pengalaman ama cowok, tapi ujungnya diselingkuhin. Percaya gue, percaya." Rayhan melengos sebal. Dia memang tidak pernah memiliki tambatan hati sebelum ini, padahal bisa saja Rayhan memanfaatkan tampang bule yang diturunkan oleh kakeknya untuk memikat lawan jenis. Tapi Rayhan malah menyia-nyiakan tampang ini.
"Bacot lo, jangan bahas aib gue terus bisa nggak sih." Fatin menjentikkan jarinya di kening Rayhan kuat-kuat. Saat SMA kelas satu, Fatin memang sempat menjalin hubungan dengan kakak kelas. Padahal saat pertaman kali berkenalan orang itu begitu manis, tapi sebulan kemudian wujud aslinya mulai terlihat. Kalimat manis yang membuat Fatin terlena ternyata bukan hanya untuknya, tapi juga untuk tukang kebun di belakang sekolah.
Udahlah diselingkuhin, sama yang berbatang pula. Sejak saat itu Fatin tak mau lagi berurusan dengan lelaki mana pun kecuali Rayhan. Karena sudah terlanjur juga.
"Gini aja deh." Fatin menarik Rayhan dan berbisik di telinganya.
"Ide bagus tuh." Senyum mengembang di wajah Rayhan.
"Laksanakuen kalau begitu."
Fatin dan Rayhan meninggalkan meja, berjalan berlawanan arah. Rayhan ke kasir untuk membayar sarapan rapel makan siang, Fatin mendekati meja Jasmine dan Fendy yang tengah menikmati makanan mereka.
"Loh, mas yang kemarin?" Fatin mulai menjalankan rencananya.
Fendy menelan baksonya bulat-bulat. Matanya memelotot. "Kok lo bisa di sini!? Ngikutin gue lo!?"
"Mas bukan Lee Dong Wook, sori. Saya kuliah juga di sini." sengit Yuki.
"Kamu kenal?" Jasmine menatap Fendy penasaran.
"Orang gila yang kemarin." Sahutnya membuat Fatin memendam kesal. "Terus ngapain lo di sini, pergi sana!"
"Nggak usah ngegas kayak bajaj, santai aja kalau mau umur panjang. Mumpung ketemuan di sini, saya mau minta kaos saya yang kemarin. Mana?" Fatin mengulurkan tangan, wajahnya tengil.
"Udah gue buang." Sungutnya tanpa rasa bersalah.
"Wah, nggak bener lu. Barang punya orang maen dibuang sembarangan." suara Fatin naik beberapa oktaf. "Nggak mau tahu, pokoknya balikin baju gue!" sisa datang bulannya masih ada makanya Fatin bisa segalak ini.
Rayhan yang melihat dari kejauhan pun terkekeh ketika Fendy mulai kalang-kabut karena menjadi bahan tontonan.
Saat Fatin terus berteriak-teriak menarik perhatian, pada akhirnya Fendy menyerah dan menyeret gadis itu menjauhi kantin. Mau ditaruh di mana wajahnya jika tersebar berita yang tidak-tidak tentang dirinya, nanti fansnya bisa kabur.
Saat Fatin dan Fendy hilang dari pandangan, itulah saat Rayhan menjalankan maksud tujuan. Memang tidak salah, Fatin adalah satu-satunya orang yang bisa ia andalkan.
Jasmine sudah selesai memakan sarapannya, dia berniat memasukkan jurnal ke dalam tas tapi malah menjatuhkan tasnya sendiri tanpa sengaja. Jasmine berdecak merutuki kecerobohannya sendiri. Saat akan meraih tas tersebut, sudah ada tangan lain yang mendahuluinya.
"Hai?" Rayhan menyapa sembari meletakkan tas Jasmine di atas meja.
"Hai. Kamu kuliah di sini juga?" Jasmine menatap Rayhan yang jauh lebih tinggi darinya.
"Iyalah, nggak mungkin kan aku iseng main ke kampus orang."
"Bener juga sih." Ucapnya sembari terkekeh malu, dan itu sangat manis di mata Rayhan.
Rayhan menempati kursi yang tadinya milik Fendy, Jasmine tak keberatan dengan itu. Mereka mulai bicara tentang banyak hal, Rayhan tak menyangka jika Jasmine memiliki banyak kesamaan dengan dirinya. Terutama pada bidang foto. Jasmine pun merasa lebih leluasa saat bicara dengan Rayhan. Mereka asik dengan pembicaraan itu hingga melupakan dua orang yang baru saja pergi meninggalkan keduanya.