Chereads / Best Partner / Chapter 3 - Bab 3

Chapter 3 - Bab 3

"Baju kamu kok ganti?"

"Aku tadi ketemu cewek gila."

Alis Jasmine menyatu, "cewek gila?"

"Udah nggak usah dibahas lagi. Kamu udah fotonya, aku anter pulang yuk."

"Fen, kamu nggak perlu kayak gini setiap hari. Aku nggak mau ngerepotin kamu terus." Kalimatnya membuat gerakan tubuh Fendy berhenti.

Laki-laki itu menghela napas panjang. "Aku pernah bilang sama kamu, aku ngelakuin ini karena aku peduli sama kamu. Jadi kamu nggak perlu ngerasa gitu."

Jasmine menyerah, Fendy memang keras kepala.

***

Rayhan menemukan Fatin di parkiran, gadis itu sudah bertengger manis di atas motornya dengan helm batok kesayangannya. Wajah Fatin yang sama sekali tidak bersahabat membuat Rayhan meringis. Rayhan menghadang jalan motor Fatin, gadis itu melemparinya dengan tatapan tajam.

"Minggir!" galak Fatin.

"Nggak." Rayhan memegangi stang motor Fatin erat.

"Gue tabar nih?!" Fatin memelotot.

"Tabrak aja bodo amat!" Rayhan balas memelototinya. Ekpresi wajahnya berubah dengan cepat. "Jangan marah Tin, kalau lo marah gue gimana?" Melasnya.

"Bukan urusan gue. Minggir sana, PDKT lo kan lebih penting dari gue. Pergi sana!"

Gawat tingkat lima. Fatin sungguh marah padanya. "Jangan gitu dong Tin, elah lu mah. Mau minta apa deh gue turutin, tapi jangan marah sama gue."

"Nggak mau, minggir sana! Gue mau pulang, perut gue sakit!"

"Gue beliin makan."

Fatin yang tadinya berusaha menyingkirkan tangan Rayhan dari stang motor miliknya berhenti begitu mendengar kata makan. Rayhan yang melihat itu berusaha menahan senyumnya.

"Semua yang gue makan harus lo bayar."

"Iya, gue bayar semua yang lo makan. Jadi?"

"Ke tempatnya Babah Sia." Fatin menyerahkan helm pink untuk Rayhan.

"Siap." Rayhan mengenakan helmnya dan segera naik ke motor Fatin.

Memang makanan adalah senjata paling ampuh untuk menjinakan seorang Fatin Ayesha.

***

Restoran Babah Sia menyediakan makanan khas China sejak sembilan puluh tahun yang lalu. Lelaki setengah abad keturunan Jawa-Tionghoa itu adalah keturunan kedua yang menjalankan bisnis keluarga ini.

Fatin dan Rayhan datang setelah jam makan siang, membuat restoran dengan ornamen tiongkok yang khas oleh warna merah itu lumayan sepi. Fatin menghampiri seorang lelaki paruh baya bertubuh tambun berpakaian samfoo putih dan peci merah bercorak hitam-emas.

"Babah Sia." Sapanya, membuat lelaki itu menoleh.

"Patin, apa kabar?" senyum lelaki itu merekah.

"Baik Bah. Tumben Babah Sia di restoran jam segini?" biasanya Babah Sia hanya akan berada di restoran menjelang tutup.

"Cuma mau cek aja, kamu ke sini ndak sama Rayhan?" tanya Babah Sia dengan logat jawa yang kental.

"Sama Rayhan kok Bah. Tapi katanya Rayhan mau beli sesuatu dulu di mini market, saya disuruh pesen makan duluan."

"Ya sudah, kamu duduk aja di meja sana. Nanti biar Babah antarkan makanan spesial buat kalian. Ada menu baru yang belum pernah disajikan untuk pelanggan, kalian yang pertama." Mata sipit Babah Sia semakin tak terlihat ketika ia tersenyum.

"Wah serius nih Bah, makasih." Setelah mengobrol singkat dengan Babah Sia, Fatin akhirnya menunggu Rayhan yang belum terlihat batang hidungnya bahkan setelah makanan spesial yang Babah Sia janjikan terhidang di hadapan Fatin.

"Awas aja kalau kabur. Gue patahin semua tulangnya." gerutu Fatin sembari melahap pangsit kukus.

Setelah Fatin selesai piring ketiga, Rayhan muncul dengan sekantung coklat dan sebotol minuman yang tak asing untuk kaum hawa. Pereda nyeri perut untuk wanita haid.

"Minum ini dulu, biar perut lo nggak sakit lagi." ucap Rayhan sambil membuka penutup botol berbentuk jam pasir tersebut.

"Lo beli ini?" Rayhan mengangguk. "Tapi kan lo cowok." Fatin bersemu membayangkan ketika Rayhan membeli minuman itu untuk dirinya.

"Terus kenapa, perut lo kan sakit, mana bisa gue diem aja. Padahal biasanya lo nggak pernah sakit perut setiap dateng bulan, kenapa sekarang jadi sakit?" pertanyaan Rayhan membuat Fatin yang akan berkomentar bungkam.

"Emang kadang sakit kok, lo aja yang nggak tahu." Fatin meminum jamu dalam kemasan tersebut guna menghindari pertanyaan lainnya. Tapi sepertinya gagal.

"Pasti gara-gara kecapean kerja, iya kan." tebak Rayhan tepat sasaran.

Fatin tak mengatakan apapun, hanya melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda. Rayhan menghela napasnya panjang. Sejak dua tahun yang lalu Fatin telah bekerja di salah satu plafrom berita tekemuka. Awalnya Fatin menulis artikel hanya untuk mengisi waktu luang sekaligus menambah uang jajan. Tapi sejak kejadian satu tahun yang lalu, Fatin semakin giat bekerja hingga akhirnya diangkat menjadi pegawai tetap sebagai jurnalis.

Tapi akhir-akhir ini Fatin semakin giat- jika tidak ingin dikata gila, bahkan sejak seminggu ini Fatin jarang ada di rumah untuk urusan pekerjaannya yang entah apa itu.

"Terserah lo deh. Cuma satu aja yang gue minta, kalau ada masalah lo harus cerita sama gue. Awas aja kalau sampe nggak, gue musuhin lo seumur hidup." Ancam Rayhan sungguh-sungguh.

Fatin terkekeh kecil. "Ngomong apa sih lo, iyalah gue bakal cerita sama lo. Lo kan tempat sampah gue."

"Iye tempat sampah. Tempat sampah paling ganteng, kan." Kedua alis Rayhan naik-turun dengan senyum lebar di bibir.

"Gue lagi makan Ray, jangan bikin eneg dulu bisa nggak." Fatin menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.

Rayhan mendengus, melahap pangsit yang tersisa dari piring Fatin tanpa permisi. Fatin berteriak tidak terima, dia menyisahkan bagian paling enak untuk saat terakhir. Sedangkan Rayhan mengunyah makanan di mulutnya tanpa rasa bersalah.

***

Malam itu Fatin memasuki rumahnya sembari mengucap salam. Namun bukan salam balik yang diterimanya, melainkan suara teriakan milik Sang Ayah. Teriakan penuh emosi itu tidak ditujukan untuk Fatin, tapi untuk adiknya yang lagi-lagi membuat ulah.

"Kamu pikir rumah ini apa, diskotik! Berani-beraninya bawa pulang minuman kayak gini!" lagi-lagi Jaka- ayah Fatin, berteriak emosi.

Fatin menghembuskan napas berat, dia melihat dari celah pintu yang terbuka. Ternyata ada Ibunya juga di sana, berusaha menenangkan suaminya yang mulai kalap. Sedang di hadapan pasangan paruh baya itu seorang gadis- yang merupakan adik Fatin, masih dengan seragam putih biru tampak duduk dengan malas, wajahnya memerah dan tatapannya sedikit tidak fokus.

Fatin juga melihat dua botol berwarna hijau tergeletak di dekat kaki adiknya, salah satunya sudah kosong dengan posisi terguling.

"Atiqa, kamu denger Ayah ngomong!?" lagi-lagi Sang Ayah berteriak marah.

"Ayah, sudah." Mira- Ibu Fatin, berusaha menenangkan suaminya untuk kesekian kali.

"Kamu juga!" Jaka menyentak lengannya yang dipegangi oleh Mira. "Kamu terlalu manjain anak ini, lihat jadinya kayak gimana! Baru SMP aja kelakuannya sudah kayak gini! Gimana besarnya nanti!"

Mira menundukan kepalanya, tak berani memperlihatkan wajahnya yang mulai basah karena air mata. Atiqa yang sejak tadi diam mulai berdecak kesal, tubuhnya sempoyongan saat dipaksanya berdiri.

"Ayah itu berisik!" sentak Atiqa. "Sangking berisiknya kepala aku rasanya kayak mau pecah!"

Dada Jaka kembang-kempis, wajahnya memerah menahan amarah. "Anak kurang ajar!" tangannya terangkat siap untuk menghantam pipi Atiqa.

"Ayah jangan!"

Suara tamparan itu seakan menulikan telinga Mira. Wanita setengah baya itu membekap mulutnya saat menatap Jaka tak percaya. Sedangkan Jaka terkejut bukan main, bukan wajah Atiqa yang terlempar sebab tamparannya, tetapi Fatin yang tiba-tiba saja muncul.

Fatin mengangkat wajahnya, bekas tamparan Jaka menjejak di pipi kanan gadis itu. Dia menatap Jaka dan Mira dengan tenang, dalam kesunyian yang tiba-tiba menyergap Fatin membungkuk memungi botol minuman yang tergeletak di sebelah kakinya.

"Biar Fatin yang buang ini. Ayah sama Bunda masuk aja ke kamar, istirahat." Ucapnya dengan ketenangan luar biasa, seolah tamparan yang baru saja diterimanya bukanlah apa-apa.

Mira bahkan Jaka tak bisa mengeluarkan sepatah katapun dari mulut mereka, tapi Atiqa yang setengah tak sadar justru berteriak marah pada Fatin.

"Nggak usah sok ngebelain gue! Lo cuma mau cari muka di depan bokap nyokap kan!"

"Atiqa!" Jaka memelotot padanya. Namun mata Atiqa yang memerah hanya tertuju pada Fatin.

"Ayah, biar Fatin aja." Fatin menatap Jaka meyakinkan.

Jaka mendengus, dia melengos pergi tanpa menoleh lagi pada anak-anaknya. Mira yang berurai air mata mengikuti setelah menatap Fatin penuh penyesalan, Fatin tersenyum lemah sembari mengangguk kecil seolah menenangkan wanita kesayangannya tersebut.

Yang tersisa saat itu hanya Fatin dan Atiqa. Usia mereka selisih delapan tahun, namun sejak dulu baik Atiqa ataupun Fatin tak memiliki kedekatan layaknya saudara pada umumnya. Fatin cenderung lebih diam sedangkan Atiqa dengan jiwanya yang bebas. Mereka adalah minyak dan air yang takkan pernah bersatu.

Atiqa jatuh ketika kepalanya mulai berputar-putar, efek samping alkohol yang dikonsumsinya mulai terasa membebani tubuh mudanya. Fatin yang melihat itupun menghela napas. Meletakkan botol di sembarang tempat, Fatin mengangkat Atiqa hingga adiknya kini terbaring di tempat tidur. Atiqa sepertinya telah kehilangan kesadaran sepenuhnya, dia meracau tak jelas sambil sesekali mengumpati Fatin yang melepas sepatu dan kaos kakinya.

Begitu selesai menyelimuti Atiqa, Fatin keluar dari kamar bernuansa pink tersebut sembari menenteng botol kosong di tangan kanannya. Udara dingin di luar rumah menyapa Fatin, dia tak langsung kembali ke rumah setelah membuang botol minuman milik Atiqa. Dipandanginya rumah yang berada tepat di samping rumahnya.

Fatin sendiri tak sadar ketika kakinya melangkah mendekati rumah itu, dia masuk ke perkarangan samping setelah memanjat tembok yang menjadi pembatas. Lampunya masih menyala saat Fatin melihat melalui jendela. Sama seperti kakinya, tangan Fatin bergerak sendiri mengetuk jendela kamar tersebut.

Jendelanya terbuka tak berapa lama kemudian, ada Rayhan yang muncul dengan senyum mengembang. Tahu betul siapa yang mengetuk jendelanya di jam malam seperti ini. Tetapi senyum itu lenyap secepat kedipan mata, ketika ia melihat wajah Fatin yang basah oleh air mata.

Tak perlu bertanya, tubuh Rayhan berkerja lebih cepat dari otaknya. Dia melompat keluar dan membawa Fatin dalam pelukan. Meredam isak tangin gadis itu dalam dekapan kuat.