Hari ini mereka memulai rencananya. Rencana yang sama sekali tidak bisa disebut sebagai rencana. Rayhan hanya menyeret Fatin tanpa mengatakan apapun, dia hanya bilang, "udah ikut aja." Fatin yang tidak ingin berdebat akhirnya hanya pasrah.
"Ray, mau sampe kapan di sini. Banyak nyamuk." Fatin memukul nyamuk yang hinggap di tangannya. Sesekali tangannya akan menekan perutnya sembari menekuk wajah.
"Ssttt ... Jan berisik napa sih. Nanti mereka tahu kita di sini." Rayhan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.
"Kalau gue kena DBD, lo harus tanggung jawab."
"Iya, nanti gue beliin jus jambu tiap hari. Udah, sekarang diem."
Mereka, Fatin dan Rayhan, bersembunyi di semak-semak di bawah pohon rindang. Mengawasi Jasmine yang tengah menyalurkan hobi fotografinya di taman kampus. Tentunya ditemani oleh Fendy, yang memang selalu mengikuti kemana pun Jasmine pergi.
Rayhan mendengus. Memang orang itu tidak memiliki kegiatan lain selain mengikuti Jasmine. Tapi tunggu dulu, Rayhan kan juga sama. Dia selalu pergi kemana pun Fatin pergi, seperti bayangan.
"Ray, Ray, itu Fendy pergi." Fatin dengan antusias melihat kepergian Fendy. "Kesempatan lo, sana samperin Jasmine." Fatin mendorong bahunya.
"Gue harus apa?" Rayhan yang melihat itu justru panik.
Fatin mengerutkan keningnya, berpikir keras. "Lo pernah kerja part time di studio fotonya Bang Aji kan, senior kita. Coba aja ngobrolin kamera atau apalah yang ada hubungannya sama foto. Pasti Jasmine bakal tertarik." Usulnya.
"Oh iya sih, gue coba deh. Tapi lo ikutin Fendy ya."
"Hah, buat apa?"
"Buat mastiin Fendy nggak balik ke tempatnya Jasmine. Biar gue ada waktu berduaan gitu sama dia." Rayhan menunjukkan deretan giginya.
Fatin berdecak malas. "Yaudah deh, gue ngikutin Fendy. Lo yang bener deketin dia, jangan kurang ajar. Paham?"
"Paham, tenang aja." Rayhan mengacungkan jempolnya pada Fatin.
Setelah itu, Rayhan menatap kepergian Fatin. Gadis itu mengikuti jejak Fendy yang menuju kantin. Rayhan secara perlahan mendekati Jasmine yang sedang duduk sambil melihat hasil jepretannya.
Rayhan berjalan di belakang Jasmine, mengintip apa yang sedang gadis itu lakukan. "Itu kamera Mirrorless, resolusinya standar. Tapi hasil fotonya nggak kalah sama kamera DSLR." ucap Rayhan tanpa sadar ketika melihat kamera di tangan Jasmine.
"Ya?" Jasmine menoleh dengan cepat, terkejut saat suara asing terdengar sangat dekat dengannya.
"Maaf, gue liat kamera lo, jadi refleks ngomong sendiri." Rayhan tertawa hambar, jantungnya nyaris melompat ketika Jasmine tiba-tiba menatapnya. Selama ini Rayhan hanya mampu memandang Jasmine dari jauh.
Tapi sekarang, mereka berdiri saling berhadapan. Rayhan memuaskan matanya memandang Jasmine dari jarak sedekat ini.
"Kamu ngerti soal kamera?" suara Jasmine yang lembut membelai indra pendengarannya.
"Gue pernah kerja part time di studio foto. Oh iya, gue Rayhan." Rayhan mengulurkan tangannya.
Awalnya ragu, tapi pada akhirnya Jasmine tersenyum manis, menerima uluran tangan Rayhan. "Jasmine."
***
Kecurigaan Rayhan ternyata benar. Fendy pergi hanya untuk berdiri di depan warung membeli dua cup pop ice dingin. Fatin melihatnya dari kejauhan, mulai berpikir apa yang harus dia lakukan agar lelaki itu tak kembali pada Jasmine dalam waktu dekat ini.
Lampu neon di atas kepalanya menyala. Fatin tersenyum licik ketika mulai mendekati Fendy yang baru saja membayar minumannya. Lalu, dengan sengaja- yang dibuat seolah tidak, menabrak bahu Fendy hingga cup minuman di tangannya meluncur menghantam tanah bersemen.
"Ya ampun mas, maaf banget saya nggak sengaja." Wajahnya dibuat semenyesal mungkin.
"Aduh mbak, ati-ati dong. Kena baju saya nih." Kesal Fendy menatap bajunya yang basah, dia mulai lengket.
Fatin menarik napas tajam, terkejut. "Saya beneran minta maaf, bakal saya ganti kok. Ayo." Ditariknya tangan Fendy.
"Eh, mau bawa saya kemana?" tak ada jawaban, hanya ada tarikan tangan Fatin yang tidak lemah. Membuat Fendy mau tak mau mengikutinya.
Mereka ada di gedung olah raga, masuk ke ruangan penuh loker. Fatin berjalan ke salah satunya, membuka loker dengan kunci yang dia ambil dari dalam tas. Menarik selembar baju basket dan menyerahkannya pada Fendy.
"Pake ini dulu." Ucapnya.
"Punya lo?" tanya Fendy yang memutuskan untuk tidak lagi bersikap formal.
"Iya. Gue anggota basket cewek, tapi seragam ini bisa dipake cowok kok. Tenang aja." Fatin meyakinkan.
Fendy lalu mengganti pakaiannya di salah satu bilik, sekaligus membersihkan sisa minuman yang menempel pada tubuhnya. Fatin sendiri gelisah, setelah ini apa yang mesti dia lakukan. Di tengah kebingungan tersebut, Fendy keluar dengan seragam basket kepunyaan Fatin.
"Lain kali kalau jalan liat-liat, jangan maen sosor kayak soang."
"Gue kan udah minta maaf, nggak usah sinis gitu donk." Fatin yang mendengar nada sinis dari Fendy ikut nyolot. Dia sudah kesal pada Rayhan yang menyeretnya kemari tanpa rencana matang, sekarang kelakuan Fendy berhasil membuatnya makin kesal.
"Heh, kenapa jadi lo ikutan nyolot. Yang salah kan elu." Tuding Fendy.
"Terus kenapa kalau gue salah, lo juga nyolot duluan kok sama gue, padahal gue udah minta maaf."
"Dateng bulan lo?" setelahnya, Fendy harus melindungi kepalanya dari serangan Fatin.
"Dasar nggak sopan! Baru kenal udah ngomongin dateng bulannya cewek! Nggak punya akhlak lo!" Fatin melampiaskan kekesalannnya pada Fendy. Dia sebenarnya memang sedang datang bulan , karena itu, jadi sedikit lebih sensitif.
"Woi gila! Udah woe! Aduh sakit!" begitu berhasil menghindari serangan Fatin, Fendy segera berlari keluar dari ruang ganti. Merutuki nasib sialnya bertemu cewek aneh.
Napas Fatin kembang kempis meraup udara, dirapikannya rambut panjangnnya yang kusut dan keluar dari ikatan. Lalu sejenak termenung, jika Fendy pergi, artinya dia akan kembali pada Jasmine.
"Bego." Fatin menepuk keningnya sendiri. Segera mencari ponselnya untuk memperingatkan Rayhan.
***
Sedangkan Rayhan, dia sama sekali tidak mengira akan selancar ini berbicara dengan Jasmine. Pengetahuannya di bidang foto membuat gadis itu memusatkan perhatiannya pada Rayhan. Di tengah perbincangan menyenangkan tersebut, mereka harus berhenti lantaran ponsel Rayhan berdiring. Nada sambung yang diaturnya khusus untuk Fatin.
"Bentar ya." Rayhan mengangkatnya sembari menjauh.
"Apaan sih lo, ganggu aja." Sungutnya begitu mereka terhubung.
"Woi kancut, jangan kurang ajar lo ama gue!" Mendengar nada sengit di seberang sana, Rayhan meringis. Dia tahu hanya saat kedatangan tamu Fatin akan sesensi ini.
"Iya maaf, kenapa telfon?" suara Rayhan lembut, tahu bagaimana ia harus bersikap jika Fatin sedang seperti ini.
"Gue nggak bisa nahan Fendy lama-lama, dia udah cabut. Pasti bentar lagi udah sampe sana, mending lo pergi sekarang." Ketusnya.
"Yah Tin, lo gimana sih. Gue kan udah minta tolong sama lo."
"Oh mau nyalahin gue sekarang, mau marah. Udah untung gue bisa nahan dia sampe selama ini. Terserah lo gue nggak peduli! Perut gue sakit!"
Fatin mematikan sambungan mereka begitu saja. Rayhan mengacak rambutnya, yakin seratus persen jika Fatin ngambek padanya. Ketika Rayhan berbalik untuk berpamitan pada Jasmine, dan berniat meminta nomor telfon gadis itu. Ternyata Fendy sudah ada di sampingnya. Rayhan berdecak kesal, mau tak mau dia harus pergi tanpa pamitan dan nomor telfon Jasmine.
Rayhan bukan takut pada laki-laki berkulit sawo matang tersebut. Dia hanya merasa ini bukan saat yang tepat berhadapan langsung dengan Fendy, tidak sebelum Rayhan mengenal Jasmine sebaik Fendy mengenal gadis itu. Dia hanya sedang mengumpulkan modal.
Sekarang ada hal yang lebih penting yang harus Rayhan lakukan. Yaitu menemukan Fatin sebelum gadis itu semakin ngembek padanya. Jika Fatin mendiamkannya lagi seperti waktu itu bencana akan terjadi, setidaknya untuk dunia Rayhan.