Hari ini adalah hari yang penting.
Untuk sekolahku dan untuk Rey.
Hari ini adalah hari acara besar sekolahku, teman-teman menyebutnya dengan hari Pesimis. Walaupun sudah diberitahu akronim resminya adalah Petisi, tapi tetap saja banyak murid yang menyebut Pekan Kompetisi Siswa dengan akronim Pesimis.
Yah, setidaknya memang cocok dengan apa yang sedang kualami.
Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia untuk Rey, namun karena situasi yang tak terduga, hari itu takkan pernah datang. Kandas sudah harapan Rey dan Rena untuk bisa melihat Ayahnya berubah, karena Ayahnya tidak akan hadir. Aku tidak bisa menyalahkan Ayahnya Rey kali ini, bagaimanapun juga beban yang dipikulnya sangat berat. Jika dia datang, Rey akan mempercayainya. Tapi dia akan kehilangan pekerjaannya. Pilihannya adalah Rey atau Pekerjaan. Kemungkinan Ayahnya Rey akan memilih Rey ketimbang pekerjaannya sangat kecil. Karena itu aku sudah siap untuk menghiburnya saat Rey tahu kebenarannya. Aku siap menerima konsekuensinya.
Sekolah mulai ramai dengan banyak siswa yang mempersiapkan segala perlengkapan untuk berada sesuai di posisi, bisa dibilang ini hari paling sibuk sekolah kami. Aku sebagai panitia acara hanya mengingatkan dan memantau agar acaranya berjalan dengan lancar, sedangkan Rey sudah siap dengan kameranya sebagai tim dokumentasi. Setelah briefing, semua panitia berpencar ke posisi mereka masing-masing. Rey sempat menyemangatiku sebelum dia pergi. Acara dimulai dengan Upacara pembukaan yang berisi sambutan Kepala Sekolah dan simbolis sebagai telah dimulainya acara.
Pekan Kompetisi Siswa ini adalah rangkaian berbagai lomba yang diselenggarakan selama seminggu. Pada hari pembuka ini, yang berlomba adalah siswa sekolah kami. Baru pada hari ke-2 sampai hari ke-5 dilaksanakan oleh siswa sekolah lain.
Lomba pertama adalah Tarik Tambang, aku sudah bersiap di pinggir lapangan untuk memastikan waktunya sesuai rencana. Aku bisa lihat Rey di seberang pandanganku, dia sedang mengambil gambar siswa yang sedang ikut serta dalam tarik tambang. Aku penasaran apakah dia juga memotret perempuan juga. Tapi sepertinya benar. Lagipula dia memang harus begitu, walaupun aku sedikit cemburu.
Tiba-tiba seseorang mengagetkanku dari belakang.
"Hana! Gawat!" Ujar Amanda.
"Aduh, kamu bikin jantung aku pindah..., gawat kenapa??" Sahutku.
"Vina ga hadir!"
"Ya terus?"
"Kelas kita gabisa ikut lomba ekstafet kalau gaada yang bisa gantiin Vina!"
"Memangnya engga ada yang gantiin?"
"Lah, kalau ada yang bisa gantiin aku ga bakal ngomong ke kamu kek gini..."
"Hm, bener juga. Eh?! Maksudnya kamu nunjuk aku buat gantiin??!" Kagetku.
"Iyap, bisa ya. Oke!"
Lalu Amanda langsung berlari meninggalkanku, tanpa konfirmasi dulu.
Ya sudah lah, mau bagaimana lagi.
Oh ya! Aku baru ingat kalau perwakilan lomba ekstafet dari kelas kami itu Vina dan Rey. Berarti jika Vina engga dateng, aku dong yang gantiin dia!
Gawat, super duper gawat!
Bukannya aku tidak mau, tapi aku tidak selalu gugup ketika bersama Rey saat di sekolah.
Aduh, ada-ada aja sih aku. Kenapa harus gugup sama pacar sendiri sih???
Lomba tarik tambang sudah selesai, sekarang semua orang sibuk untuk mengurus lomba selanjutnya, ekstafet. Detak jantungku mulai berdetak dengan cepat, semakin lama semakin cepat. Aku tidak percaya diri, belum pernah sebelumnya aku lomba ekstafet. Malah aku belum pernah lomba sama sekali.
Intinya ektafet itu berlari dan memberikan tongkat ke Rey.
Ayo, Hana. Kamu pasti bisa.
Persiapan lomba telah selesai, semua peserta berdiri di posisi yang telah ditentukan. Detak jantungku semakin keras, kakiku bergemetar, keringat terus bercucuran. Aku melihat Rey yang jauh di depanku tersenyum dan mengacungkan jempolnya kepadaku.
Aku harus bisa,
setidaknya ini untuk Rey.
Bersiap!
And...
GO!!!
Aku mulai berlari dari garis start dengan sepenuh tenagaku, aku sempat melihat ke kanan dan kiri ku, ternyata aku yang paling depan. Lalu aku melanjutkannya, saat sudah setengah jalan, rasanya kakiku terasa sangat lelah. Aku sadar bahwa aku mulai melambat. Siswa lainnya mulai menyusul dan melewatiku, karena hal itu aku tidak memperhatikan langkah, aku tersungkur di tanah.
Sial, aku mengacaukannya.
Aku sudah kalah.
Tidak ada artinya lagi.
Maaf, Rey.
"HANA!!!" Teriak seseorang yang kukenal.
"Bangun! Ayo! Kamu bisa!"
Ya, itu adalah Rey.
Aku tidak bisa gagal di sini.
Aku mengangkat diriku secepatnya dan langsung melanjutkan lari menuju Rey, meskipun sudah tertinggal jauh dari yang lain, aku tetap menyerahkan tongkatnya kepada Rey. Lalu Rey berlari menuju kotak yang telah disiapkan. Dalam kotak itu berisi sebuah tantangan, bagi orang yang pertama kali menyelesaikan tantangannya, dia akan menang. Aku melihat Rey yang baru sampai di depan kotak itu, sedangkan yang lainnya sudah berpencar untuk melakukan tantangannya.
Kami masih punya waktu, semoga saja tantangannya mudah. Lalu Rey berlari ke arahku dan memegang tanganku.
"Eh?! A-a-ada apa??" Kagetku dengan malu.
"Udah, ayo ikut!" Sahut Rey.
Lalu Rey menarikku dan membawaku ke atas podium dengan ada pelantang suara di sana. Rey lalu mengangkat tanganku, dia mendekatkan bibirnya ke mikrofon.
"A-aku...." Ujar Rey dengan ragu.
Lalu dia menghela nafasnya seakan-akan sudah siap untuk berbicara.
"Aku mencintaimu, Hana!!!" Teriak Rey dengan sangat keras.
Seluruh orang melihat kepada kami berdua dengan kaget dan bersorak. Aku super duper ultra malu, sepertinya Rey juga. Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi. Tapi karena hal memalukan itu, kelas kami menang. Aku dan Rey menang dalam lomba ekstafet ini.
Setelah itu, kemanapun kami pergi, semua orang melihati dan berkata "cie-cie" kepada kami. Sampai sekarang aku masih bergemetar karena malu. Rey terlihat menahannya, tapi aku tahu kalau dia juga masih malu.
Momen itu sangat memalukan, namun juga sangat romantis bagiku,
seperti yang aku pernah lihat di anime.
Lalu kami berteduh di lorong sembari istirahat makan siang, namun kami belum memutuskan mau makan apa. Kami masih canggung untuk memulai percakapan. Aku yang sedang tesipu malu saat itu langsung berubah menjadi panik, karena aku teringat bahwa fakta Ayahnya Rey tidak akan datang. Entah datang dari mana itu, langsung merusakkan moodku yang sedang senang. Bagaimanapun, Rey perlu tahu kebenarannya. Aku tidak bisa terus-terusan membohonginya.
Ah! Kenapa sih harus terjadi hal seperti ini?
Kondisinya engga pas banget!
"Rey..." panggilku.
"Aku malu banget, Hana.." sahut Rey.
"I-iya, aku juga kok.."
"Apa kau sudah lapar?"
"Iya, sepertinya."
Aku harus bilang kepadanya sekarang juga.
"Rey, aku ingin mengatakan sesuatu..."
"Apa?" Sahutnya.
"Ah..., A-ayahmu tidak akan datang.." ujarku dengan ragu.
Seketika hal itu juga merubah wajah bahagianya menjadi datar.
"Aku sudah tahu kok." Sahut Rey.
"Eh? Kamu udah tau?"
"Iya, Rena bilang ke aku tadi pagi.."
"Maaf ya, Rey. Ini semua salahku, ini semua rencanaku.."
"Tidak apa kok. Lagipula hari ini kita bersenang-senang kan?"
"Benar sih.., tapi.."
"Ayo kita ke kantin.."
Kami berdua lalu berdiri, lalu menelusuri lorong untuk menuju kantin. Rey di depanku berjalan dengan pundaknya yang merendah, dia pasti sangat terpukul karena ini. Tak lama Rey berhenti berjalan, seseorang Pria dewasa menghalangi jalan kami. Aku lalu melihat wajah Pria itu, ternyata itu adalah...
"Ayah?" Ujar Rey dengan terkejut.
"Iya, nak. Ayah datang." Sahut Ayahnya Rey.
Rey mulai terlihat menunduk dan ia menangis dengan keras. Ayahnya lalu memeluknya. Para siswa disekitar terlihat bingung dan terheran dengan Rey yang menangis. Mereka tidak tahu bahwa momen ini adalah yang Rey dan Ayahnya tunggu setelah sekian lama. Sebuah pemandangan yang sangat menenangkan hati. Lalu ada Rena datang menghampiriku dan menjelaskan bahwa Ayahnya Rey datang dengan mengorbankan pekerjaannya. Aku tidak mengira bahwa Ayahnya Rey akan meninggalkan pekerjaannya demi menepati janji kepada anaknya. Aku sudah salah dan berprasangka buruk terhadap Ayahnya Rey, ternyata kekuatan Ayah dan Anak tidak bisa diremehkan.
Setelah itu, kami semua makan bersama. Rena sudah membawakan masakan cepat saji untuk empat orang. Sembari makan siang, Ayahnya Rey menunjukkan rekaman yang ia ambil sejak tadi kepada kami. Berdasarkan rekamannya, Ayahnya Rey sudah datang setelah upacara pembukaan selesai. Bahkan momen memalukan Aku dan Rey juga sudah diabadikan oleh Ayahnya.
Waktu istirahat sudah habis, aku dan Rey harus segera bersiap-siap untuk acara selanjutnya, yaitu penampilan dari kelas kami.
"Ayah sekarang pulang saja.." ujar Rey.
"Loh? Kan masih ada penampilan kelas kamu..." Sahut Ayahnya Rey.
"Tidak apa-apa, lagipula aku cuma ada dibelakang layar.."
"Apa kamu yakin?"
"Iya, Ayah. Lagipula ayah sudah datang dari pagi, aku sudah sangat puas." Jawab Rey dengan tersenyum.
Aku merasa lega, sepertinya Rey sudah mau kembali ke rumahnya seperti dulu lagi. Lalu Ayahnya dan Rena pulang sesuai pinta Rey. Aku seketika mengerti, Rey menyuruh ayahnya untuk pulang agar Ayahnya bisa menemui klien yang sudah membuat janji sebelumnya.
Sebuah pilihan yang bijak, Rey.
Kami lalu bergegas menuju aula untuk mempersiapkan pertunjukkan kami. Saat sampai di sana ternyata aku lupa membawa kostum wanita yang teman kelasku akan gunakan. Karena waktunya masih cukup, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Awalnya Rey ingin mengantarkanku, namun Rey dibutuhkan untuk menyiapkan musik yang akan kami gunakan, akhirnya Amanda mengajukan dirinya untuk menemaniku. Aku dan Amanda pergi ke rumahku dengan berjalan kaki, lagipula rumahku tidak terlalu jauh dari sekolah. Saat sampai di rumah, aku lupa menaruhnya di mana. Oleh karena itu aku dan Amanda berpencar untuk mencarinya.
"Kalau gitu, aku cari di kamar. Kamu cari di kamar mandi.." ujar Amanda.
"Oke" sahutku.
Setelah lumayan lama mencari, ternyata kostumnya ada di dapur. Aku menaruhnya di sana karena ada teras untuk menjemur pakaian, setelah menjemurnya pasti aku lupa memindahkannya. Lalu aku menyuruh Amanda untuk membawa kostumnya duluan karena aku harus membereskan rumahku yang berantakan terlebih dahulu. Aku membereskan ruang tengah dan kamar mandi yang berantakan, namun aku tidak membereskan kamarku karena sepertinya Amanda tidak membongkar apapun. Aku lalu mengunci kamarku dan mulai berlari menuju sekolah kembali.
Tiba-tiba seseorang memanggilku dari belakangku.
"Hana!"
Aku berhenti dan memalingkan badanku untuk melihat siapa yang memanggilku.
"Halo, Hana. Apa kabar?" Ujar pria yang berdiri jauh dariku.
Awalnya aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, lalu aku mulai menyipitkan mataku dan aku mulai jelas mengenalinya.
"Kamu masih ingat aku kan?" Lanjut orang itu.
Aku mengenal suara itu, aku juga mengenal postur tubuh itu. Otakku langsung mengingat orang itu.
Ya.
Bagaimana tidak?
Aku pernah bersetubuh dengannya.
Pria itu adalah mantanku.
Dia adalah cinta pertamaku.
Namanya adalah Faris Farendra.