Chereads / implicit: it's just you and me / Chapter 13 - Kesempatan kedua.

Chapter 13 - Kesempatan kedua.

***Sudut Pandang Rey***

Aku lupa bahwa kemarin aku membuat Hana sedih, aku belum sempat bertemu dan minta maaf kepadanya. Karena itu setelah mengantar Rena pulang, aku langsung membawa mobil baruku ke apartemen Hana. Aku akan meminta maaf sekaligus memberikan kejutan mobil ini padanya.

Setelah aku sampai, aku langsung memarkirkan mobilku. Lalu menaiki tangga dan menuju kamarnya. Aku ingat memiliki kunci apartemennya, kugunakan untuk masuk secara diam-diam. Dengan perlahan aku memasuki kamarnya dan kulihat Hana yang sedang terlelap. Rasanya aku seperti orang cabul yang akan memerkosanya. Aku mendekatinya dan mencium bibirnya. Tak lama dia mulai kesulitan bernafas, dia terkejut dan langsung bangun dari tidurnya.

"Rey???" Kagetnya.

"Hehehe, maaf bangunin kamu kayak gitu.." ujarku.

"Rey!!!" Wajahnya berubah menjadi sedih dan mulai menangis.

Aku langsung menghampirinya dan memeluknya.

"Aku minta maaf ya kemarin bersikap seperti itu kepadamu.., aku sungguh engga mau jadi seperti itu.... Maafkan aku, Hana."

Syukurlah Hana mau memaafkanku, aku lalu membuatkannya Nasi Goreng, rupanya dia belum makan. Dia sepertinya banyak menangis sejak terakhir kami bertemu. Namun sekarang sepertinya dia sudah lebih baik. Sembari dia menyantap nasi goreng, aku menceritakan tentang keluargaku. Tentang bagaimana Ibuku menderita karena Ayahku yang terlalu nafsu akan mencari kekayaan. Ibuku sakitpun dia tidak peduli, hanya bisa memberikan uang. Sekalipun tidak menjenguk, jadi wajar jika aku begitu membenci ayahku.

Dia pikir semuanya bisa diselesaikan dengan uang?

Setelah bercerita, Hana sepertinya sudah mengerti dengan yang selama ini selalu ia tanyakan kepadaku, dia juga paham perasaanku. Dia lalu memelukku dan menenangkanku.

"Oh ya, kita jalan-jalan yuk!" Ajakku.

"Mau kemana?" Sahutnya.

"Udah ikut aja..., Mandi sana... Kamu bau nih.." ujarku menggodanya.

"Ish, bukannya kamu suka bau badanku? Kan kamu sendiri aja suka ngendus-ngendus ketiak aku...nih..." balasnya dengan mendekatkan ketiaknya kepadaku.

Setelah Hana selesai mandi, aku langsung mengajak ke parkiran apartemennya. Dia terlihat bingung, pasti karena tidak melihat motorku. Aku lalu menggandengnya ke arah mobilku. Lalu membukakan pintunya. Dia memasuki mobil dengan wajah terkejut. Aku juga ikut masuk ke dalam.

"Wah, Rey. Aku tidak tahu kalau kamu punya mobil.." kagum Hana.

"Memang engga. Rena baru aja belikan aku kemarin. Hadiah ulang tahun katanya.." sahutku.

"Hebat sekali.., di keluargaku tidak ada yang memberikan mobil sebagai hadiah ulang tahun.."

"Aku juga masih kaget sebenarnya.."

"Oh ya, memangnya kamu bisa menyetir mobil?"

Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan langsung membawa mobilku dengan kecepatan tinggi. Hana terlihat sangat panik. Lalu aku mulai menurunkan kecepatan dan membawanya dengan santai. Reaksi panik dari wajahnya sudah mulai menghilang.

"Iya, aku bisa nyetir. Udah lama kok.." ujarku.

"Jangan pernah membawa mobil dengan cepat kayak gitu lagi, kalau tidak aku engga akan kasih kamu jatah lagi.." ancam Hana.

"Ih, mainnya ngancem-ngancem.."

"Aku serius, Rey.. itu bahaya.."

"Minta yang serius dong.."

"Bawanya pelan-pelan aja ya sayang..., Aku takut nih..." Ujar Hana dengan manja.

Aku tersenyum melihatnya begitu. Membuat diriku semakin gemas dengannya.

"Kau bilang tadi kalau Ayahmu tidak hadir di penampilan mu di SMP dulu? Itu yang membuat almarhum ibumu kesal.." tanya Hana.

"Iya. Kenapa kami tiba-tiba bahas itu.." sahutku.

"Maaf, Rey. Tapi bagaimana jika kamu ajak Ayahmu untuk datang ke Acara Sekolah kita nanti?"

"Percuma saja. Acaranya 1 hari lagi. Sangat mendadak untuknya, lagipula dia akan mementingkan urusan bisnisnya.."

"Justru itu akan menjadi momen yang pas. Kamu masih ingin kan melihat Ayahmu seperti dulu?"

"Ya, aku ingin dia berubah."

"Kalau begitu pas sekali.."

"Tapi aku malas harus memberitahukannya ini.."

"Kalau begitu biar aku yang memberi tahu..."

Sejenak aku berpikir, bahwa yang dikatakan Hana ada benarnya. Ini bisa menjadi momen yang pas memberikan kesempatan kedua kepada Ayah. Aku masih ingin keluargaku kembali seperti dulu. Tapi aku ingin Ayah berubah dari sifatnya yang duniawi itu. Jika memang hal ini bisa membuat perubahan, maka aku akan dukung Hana.

"Baik, Aku setuju, Hana." Jawabku.

Hana lalu menelfon Rena untuk mengadakan pertemuan dengan Ayahku malam ini. Dia merencanakannya di kedai kopi yang sama yang pernah Hana dan Rena kunjungi. Rena bilang bahwa Ayah memiliki waktu untuk bisa datang. Hari semakin gelap dan aku mengantarkan Hana ke kedai kopi sesuai perjanjian. Hana pergi menemui Ayahku sendirian, sedangkan aku hanya menunggu di parkiran.

Semoga kau benar tentang hal ini, Hana.

***Sudut Pandang Hana***

Akhirnya aku tahu kenyataanya, bahwa Rey adalah orang kaya. Aku sudah sedikit lega, namun aku harus masuk ke dalam masalah Rey untuk bisa menyelesaikannya. Aku ingin Rey kembali dengan Ayahnya dan Rena di dalam satu rumah selayaknya keluarga, untuk saat ini hanya itu yang kuinginkan. Aku sedikit gugup untuk menemui ayahnya Rey, aku tidak tahu sifatnya seperti apa. Aku takut akan salah bicara dan mengacaukan semuanya. Karena itu aku sudah menjelaskan maksudku ke Rena, setidaknya ada Rena yang bisa membantuku jika aku buntu. Hanya aku dan Rena yang sudah sampai di kedai kopi, Ayahnya Rey sedang ada urusan sebentar.

"Jadi..., bagaimana Kak Eyan?" Tanya Rena.

"Ah, dia baik kok. Engga bandel.." sahutku.

"Maksudku bagaimana hubunganmu dengannya? Aku dengar kalian sudah berpacaran.."

"Ah itu. Yah, selayaknya orang pacaran.." jawabku dengan malu.

"Begitu ya. Tolong jaga Kak Eyan ya..., Aku percayakan dia kepadamu.." ujar Rena dengan tersenyum.

Tak lama Ayahnya Rey datang dan menghampiri kami berdua, aku memulai panggilan suara dengan Rey agar Rey bisa mendengar jawaban dari Ayahnya secara langsung. Ayahnya lalu duduk dan bersalaman denganku.

"Maaf ya, saya telat. Ada urusan penting tadi..." Ujarnya.

"Iya tidak apa-apa, Om." Sahutku.

"Jadi kamu Hana ya. Rena sudah cerita tentang kamu.."

"Iya, Om."

"Lalu? Mau bicara tentang apa? Rena bilang tadi ada hubungannya dengan Reyan..."

"Baik. Aku sudah mendengar soal masalah keluarga Om dari Rey. Aku mengerti dengan Rey, mengapa dia seperti itu kepada Om. Aku juga memiliki ayah yang mungkin sama seperti Om, sibuk mencari nafkah hingga melupakan keluarga. Ya, mungkin ayahku tidak separah Om, karena ibuku masih hidup dan----" ujarku dipotong olehnya.

"Sebentar. Kamu ajak saya ke sini mau bandingkan keluarga kamu dengan saya?" Ujar Ayahnya Rey dengan nada agak tinggi.

"Maaf Om, Maaf Rena. Bukan maksudnya membandingkan. Oke mungkin Om engga paham dengan maksudku. Aku langsung pada intinya saja. Boleh?"

"Iya, silahkan."

"Apa Om mau Rey kembali pulang ke rumah seperti dulu?"

"Tentu saja."

"Apa Om mau melakukan apapun untuk membuat Rey kembali?"

"Pastinya lah! Berapapun harganya akan kulakukan demi anakku kembali.., akan kuberikan segalanya demi Rey.."

"Nah, di situlah Om salah.."

"Salah? Maksudnya apa?"

"Om menganggap bahwa uang bisa membeli segalanya, bisa membeli kebahagiaan, bisa membeli Rey.."

"Saya engga paham maksudmu.."

"Rey dan Almarhum Istri Om sangat benci dengan sifat Om yang seperti itu. Om menganggap uang bisa membeli segalanya, oleh karena itu Om sangat giat dalam mencari uang.., benar bukan?"

"Saya udah paham hal itu. Begini, saya sudah mencoba berubah. Saya sudah tinggalkan obsesi itu, saya hanya ambil bisnis secukupnya saja. Tidak seperti dulu. Namun masih saja Rey tidak mau percaya..., Ya, saya harus apa lagi? Jika uang tidak bisa mengembalikan Rey, maka apa yang bisa?"

"Sebuah bukti nyata, agar Rey bisa mempercayai Om."

"Ya, apa???"

"Datang ke acara sekolah Rey. 1 hari lagi, acaranya hari Senin.., pukul 9 pagi"

"Hari Senin? Kok mendadak banget kasih taunya??"

"Om mau atau tidak?"

"Bukannya tidak mau, tapi hal mendadak kayak gini engga bisa segampang itu.."

"Karena itu Rey mau mencoba Om dalam hal ini, apakah Om sungguh-sungguh dengan perkataan Om.."

"Tapi saya udah ada janji dengan klien, dia jauh-jauh dari Inggris. Engga mungkin bisa di tinggal begitu aja.." ujar Ayahnya Rey dengan panik.

"Berarti Om mementingkan pekerjaan dibandingkan Rey?" Pancingku.

Tiba-tiba muncul seseorang di belakang Ayahnya Rey dan berkata "Ini adalah kesempatan kedua yang aku berikan, ayah.."

Ternyata itu Rey. Lalu Ayahnya Rey berdiri dan berhadapan dengan Rey.

"Reyan..., Ayah--"

"Kesempatan kedua. Jika Ayah tidak bisa, maka jangan harap aku akan memaafkan ayah" Ujar Rey.

Rey terlihat sangat dingin dengan nada yang datar dan tidak menatap Ayahnya. Wajahnya berubah menjadi seperti saat aku dan Rey sedang bertengkar.

"Baik." Ujar Ayahnya sembari mengangguk.

Setelah itu Ayahnya pergi meninggalkan kami. Lalu aku dan Rena diantar pulang oleh Rey. Rey terlihat masih dengan mimik wajah saat melihat Ayahnya.

"Apa kau yakin akan berhasil?" Tanya Rena.

"Aku yakin. Jika memang Ayah kalian ingin Rey kembali. Maka dia harus merelakan pekerjaannya" Sahutku.

"Tapi kalau tidak berhasil? Kalau Ayah tidak datang?" Tanya Rena lagi.

"Kalau Ayah tidak datang maka aku akan berhenti memanggilnya Ayah. Aku tidak akan pernah memaafkannya. Aku akan putuskan semua hubungan dengannya." Sahut Rey dengan geram.

"Jangan begitu, kak.." ujar Rena.

Rey hanya terdiam saja, seakan-akan keputusannya sudah bulat. Memang tidak baik, tapi ini satu-satunya cara agar Rey bisa memaafkan Ayahnya. Setelah mengantarkan Rena pulang, kami menuju apartemenku. Sesampainya di sana kami hanya berdiam diri di dalam mobil. Aku melihat wajah Rey yang cemberut itu lalu berinisiatif untuk mencium pipinya.

"Jangan cemberut gitu, Rey.." ujarku.

Wajahnya berubah, lalu berkata "Maaf ya. Aku hanya saja masih ragu.."

"Kita akan segera tahu kepastiannya, Rey. Tidak ada yang perlu dicemaskan lagi"

"Ya, kamu benar.."

"Tenang, Rey. Bagaimanapun aku akan tetap mendukung dan berada di sisimu.."

"Aku tahu. Tapi bagaimana jika Ayahku tidak berubah?"

"Rey, aku janji denganmu. Jika Ayahmu masih seperti itu. Kita akan tinggalkan kota ini, bahkan kita akan tinggalkan negara ini jika perlu.., kita akan kabur ke tempat di mana Ayahmu takkan bisa menemukan kita.."

"Hmm, terdengar seperti gombalan.."

"Ya memang gombal.., tapi kamu ngerti maksudku.."

"Iya, Hana. Aku paham."

"Apakah kamu lebih mendingan?" Ujarku sembari mengelus rambutnya.

"Iya, terima kasih ya sayang.."

Lalu kami berdua berciuman sebelum aku keluar dari mobil. Setelah itu, Rey lalu pergi meninggalkan apartemenku. Aku masuk ke dalam kamarku langsung berbaring untuk tidur. Tubuhku serasa lelah sekali, entah kenapa.

Keesokkan harinya aku terbangun karena suara ponselku yang berbunyi, saat kulihat terdapat 16 panggilan yang tak terjawab dari Rena. Tak lama Rena menelpon lagi, aku mengangkatnya.

"Halo, Rena?"

"Halo, Kak Hana.., kemana aja sihh" ujar Rena.

"Maaf ya, aku baru bangun.."

"Dari semalam aku sudah menguping pembicaraan ayah.., sepertinya klien dari Inggris itu sudah sampai di Indonesia. Dan dia tidak mau untuk mengatur ulang jadwal pertemuan."

"Seriusan???"

"Aku juga dengar kalau Ayah engga hadir di rapat itu, maka proyeknya akan dibatalkan. Lebih parahnya, bukan cuma perusahaan Ayah, tapi perusahaan lain juga. Karena Ayah ditunjuk untuk jadi perwakilan dari 5 perusahaan yang akan bekerja sama dengan klien ini.."

Berita yang tidak menyenangkan datang ke telingaku di pagi hari Minggu yang tentram ini. Tidak ada hujan, petir cobaan ini menyambarku tanpa kuketahui. Aku tidak menyangka situasinya akan menjadi serumit ini, pastinya sebuah pilihan yang sulit untuk Ayahnya Rey.

Apa reaksi Rey jika Ayahnya tidak datang?

Rey tidak akan peduli apapun alasannya.

Seharusnya aku tidak menyarankan hal ini jika aku tahu keadaan akan menjadi seperti ini.

Andai aku bisa memutar waktu untuk membatalkan hal yang sudah kulakukan.

Ini semua salahku.

Aku sangat bodoh sekali.

Maafkan aku, Rey.

Maaf.