"Kenapa kau hanya diam saja? Apakah permintaanku terlalu berlebihan?" Tanyaku.
"Bukan begitu. Hanya saja, aku tidak mau.." kata Hana sembari menundukkan wajahnya.
"Kenapa tidak? Karena masa lalu? Cewek-cewek di sini engga kek teman kamu dulu.."
"Tetap saja, aku tidak bisa lagi percaya dengan orang.."
"Tapi kamu bisa percaya denganku! Aku bisa jamin itu!" Lanjutku berusaha untuk menyakinkannya.
"Percaya denganmu dan percaya dengan orang lain adalah hal yang berbeda, Rey.."
"Begini deh, kamu boleh komplen kalau hasilnya tidak seperti yang kamu mau! Tapi untuk sekarang kamu harus mencobanya.."
Hana lalu melepaskan pegangannya dari tanganku.
"Rey. Mengapa kau sangat memaksaku? Aku sudah bilang, aku tidak mau.." ujarnya sembari hampir menangis.
Aku lalu memeluknya, sembari mengelus rambutnya.
"Maafkan aku, Hana. Kalau aku terlalu memaksamu."
Sekarang aku mengetahui hal baru tentang Hana. Dia tidak suka dipaksa. Apalagi berhubungan tentang masa lalunya, dia bahkan ingin menangis. Aku tidak tega untuk membuat Hana menangis, apapun alasannya. Hana lalu melepaskan pelukannya dan menatapku.
"Kamu belum jawab pertanyaanku, kenapa kamu ingin banget aku punya teman?" Ujarnya dengan bibir cemberut.
Walaupun sedang ngambek, Hana masih terlihat cantik dan imut. Bibirnya yang cemberut dan bekas air mata di pipinya itu membuatnya terlihat seperti anak kecil.
"Aku ditunjuk untuk jadi panitia acara sekolah kita" Sahutku.
"Acara? Oh Pesimis?"
"Ahh, iya, tapi bukan itu akronimnya.."
Ya, sekolah kami akan mengadakan Pekan Kompetisi Siswa. Tapi karena belum ditemukan akronim yang tepat, banyak siswa yang memplesetkannya menjadi pesimis.
"Memangnya kenapa kalau kamu jadi panitia?"
"Ya, pasti aku akan pulang malam. Dan tidak mempunyai waktu untuk bersamamu.., aku akan kangen pasti. Kamu juga kan?"
"Yah, bener sih.."
"Karena itu aku mendaftarkanmu menjadi panitia juga!"
"Eh?! Kok engga nanya-nanya dulu?! Kan aku engga tau apa apa.." Hana sangat terkejut.
Setelah itu kami bertengkar cukup serius sampai kami sampai di depan apartemen Hana. Karena ngambek, bukannya dia mencium pipiku seperti yang kami sering lakukan, dia malah menggigit pipiku dengan giginya yang tajam itu. Wajahnya sangat seperti anak kecil saat sedang ngambek, aku merasa sedang berpacaran dengan anak kecil. Terlihat jelas di wajahnya bahwa dia juga sebenarnya ingin, tapi mungkin karena sudah lama tidak memiliki teman, dia bingung harus apa.
Keesokan harinya, kelas setelah jam istirahat hingga pulang sekolah ditiadakan. Karena akan diisi dengan pembagian hasil pemilihan panitia untuk acara tahunan sekolah kami itu. Aku sudah menyemangati Hana sejak pagi tadi, ternyata lumayan mudah untuk menenangkan Hana, tinggal peluk maka dia akan tenang. Lalu seorang cewek cantik dengan rambut tergerai dengan klip rambut berwarna merah itu maju ke depan kelas. Ya, itu adalah Ketua Kelas kami, Amanda.
"Perhatikan ya! Aku gak mau ngulang dua kali! Ini adalah daftar orang-orang yang jadi panitia!" Kata Amanda dengan tegas.
Amanda itu memang wanita cantik yang terlihat berwibawa, semua cowok di kelas pasti pernah naksir dengannya, kecuali aku.
"Pertama dari Divisi Acara! Dengerin ya! Orang-orangnya yaitu: Amanda, Febi, Novi, Ayu, dan Hana!" Lanjut Amanda.
Hana terkejut mendengar namanya disebut di Divisi Acara. Bagaimana tidak, Divisi Acara adalah yang paling sulit, segala hal tentang acara harus dipikirkan oleh anggotanya. Ternyata aku masuk ke Divisi Publikasi dan Dokumentasi, engga kaget sih. Lagipula sangat cocok denganku.
"Sekarang kumpul per Divisinya masing-masing!" Ujar Amanda.
Hana melepaskan tanganku dengan berat, dia lalu mulai meninggalkanku dan pergi ke sebrang kelas. Aku yakin ini akan berhasil, aku tahu Hana akan mendapatkan teman yang benar-benar baik padanya.
Semoga berhasil, sayang...
***Sudut pandang Hana***
Aku sangat gugup, karena berpisah dengan Rey, dan juga karena akan mulai berinteraksi dengan orang lain secara intensif. Aku tahu maksudnya Rey itu baik, tapi aku belum siap akan hal ini. Mentalku tidak siap.
"Ya, selamat bergabung di Divisi Acara. Untuk kelas ini aku yang jadi koordinator Acaranya.." ujar Amanda.
Yah, setidaknya aku mengenal Amanda.
"Eh, ini acaranya kapan sih?" Ujar Febi, wanita yang rambutnya terkuncir seperti ekor kuda.
"Acaranya satu bulan lagi." Sahut Amanda.
"Yaudah, ayo sekarang kita harus ngerjain apa?" Tanya Ayu, wanita yang memakai kerudung.
"Ah gausah udah sih, baru juga pertemuan pertama! Masa udah ada tugas aja.., mager ah!" Ujar Novi, wanita yang terlihat jutek itu.
"Kamu ini ada kontribusinya dikit dong buat sekolah.., nanti aku bilangin wali kelas nih" ancam Amanda ke Novi.
"Et dah, mainnya ngancem-ngancem nih, iya deh iya.." balas Novi.
Lalu Amanda mengambil alih dan membuat keadaan kondisif kembali. Kami membahas tentang konsep acara yang telah dibuat oleh OSIS, sekarang bagaimana cara kami menerapkan konsepnya sesuai dengan kelas kami.
Walaupun sebenarnya kami terlihat sedang berdiskusi, tapi aku sama sekali tidak terlibat. Amanda, Febi, Ayu, dan bahkan Novi aktif dalam membahas acara ini dengan sering kali beradu pendapat, sedangkan aku sama sekali tidak berbicara, hanya memperhatikan saja.
"Eh, Hana. Lu daritadi diem aja, ngomong dong. Jangan pasif, kita di sini semua mikir loh!" Sindir Novi.
"Iya nih, bantu dong. Kita juga perlu pemikiranmu..." Sahut Febi.
"Apa kamu punya saran, Hana?" Tanya Ayu.
Mereka semua menyudutkanku, sedangkan Amanda diam saja melihatku. Mereka terlihat menunggu aku berbicara sesuatu, wajah mereka sangat serius melihatku.
Apa yang harus ku katakan?
Jadi begini, konsep yang diberikan OSIS adalah setiap kelas wajib membawakan sebuah pertunjukan yang bisa berisi tentang nilai kebudayaan yang warga millenial sering lupakan, durasi minimal adalah 20 menit, dan semua siswa harus ikut tampil.
Febi berpendapat bahwa menggelar penampilan musik tradisional seperti tarian, namun ditentang oleh Amanda karena durasinya masih kurang dari 20 menit. Jika ingin lebih 20 menit maka setidaknya butuh 3 tarian lebih yang pastinya akan sulit untuk melatihnya dalam waktu sebulan.
Ayu berpendapat bahwa membuat sebuah perpaduan berbagai musik tradisional yang disajikan dalam bentuk tarian tradisional dan modern. Tapi tidak bisa dipakai karena musik yang dipakai haruslah karya asli musisi zaman dahulu dan bukan merupakan hasil aransemen ulang.
Sedangkan Novi, berpendapat bahwa membuat pertunjukan drama yang berisikan tentang nilai-nilai kehidupan dalam cerita rakyat. Dalam pandanganku, ide Novi setidaknya adalah yang paling mendekati. Karena Pertunjukan drama pasti bisa lebih dari 20 menit, memang memerlukan latihan yang serius, namun semua murid di kelas pastinya bisa dapat peran, apalagi yang ditunjukkan adalah cerita rakyat yang memang karya sastra asli orang zaman dahulu walaupun banyak versi yang berbeda.
"Aku setuju dengan Novi" jawabku.
"Nah, apa gua bilang!" Ujar Novi.
"Memang benar sih, pertunjukan Drama pas banget dengan kriteria yang kita cari.." kata Amanda.
Kami lalu setuju bahwa kelas kami akan membawakan Pertunjukan Drama untuk ditampilkan sebagai penampilan kelas, cerita Rakyat yang kami pilih adalah Kisah Rama dan Sinta. Setelah selesai mendiskusikan Pertunjukan kelas, Amanda melanjutkan dengan menjelaskan bahwa kami juga akan membantu Divisi Acara OSIS untuk menjalankan acara tahunan sekolah ini.
Sungguh merepotkan, aku tidak bisa membayangkan apa saja yang akan terjadi.
Kami lalu menjelaskan konsep Pertunjukan Kelas yang telah kami buat, semuanya setuju. Kami memilih pemeran-pemerannya, syukurlah aku dan Rey tidak mendapat peran. Aku bertugas untuk mendekorasi set latar tempat yang ada di cerita, sedangkan Rey yang akan menata musik pengiring pada cerita yang kami bawakan agar lebih dramatis.
Sepulang sekolah, aku melihat notifikasi di ponselku bahwa aku di masukan ke grup Acara oleh Amanda. Grup itu langsung ramai, aku pun juga ikut berdiskusi di grup. Semua tanggapan dan saranku direspon positif oleh mereka, hal itu membuatku sedikit lega. Tanpa kusadari, aku sudah membuat percakapan dengan orang lain. Sekali aku berbicara dengan mereka, aku langsung cepat terbiasa seperti dengan Rey. Mungkin Rey benar, bahwa mereka tidak akan seperti teman-temanku yang dulu.
Apa memang begitu?
Atau aku saja yang terlalu cepat menyimpulkan?
Tiba-tiba ponselku berbunyi, terdapat panggilan masuk yang bertuliskan Amanda. Aku lalu mengangkatnya.
"Halo, Amanda?"
"Halo, Hana. Bagaimana kabarmu?" Tanya Amanda.
"Ah, baik. Ada apa menelfonku?"
"Gapapa, hanya ngecek aja."
"Hmm? Maksudnya?"
"Bagaimana dengan grup acara? Kamu sudah bisa berbaur kan?"
"Ah iya. Sekarang aku sudah bisa terbiasa berbicara dengan mereka..."
"Syukurlah kalau begitu. Kalau kamu ada kesulitan ataupun malu untuk berbicara, bilang saja kepadaku ya!"
"Baik, Amanda. Terima kasih udah baik banget dan perhatian denganku.."
"Ah gausah terima kasih, emang udah tugasku sebagai ketua kelas"
"Eh? Ketua Kelas? Oh jadi kamu itu ketua kelas?!" Aku terkejut.
"Lah emang iya.., selama ini kemana aja kamu..."
"Maaf, aku selama ini tidak tahu. Aku tidak pernah berbicara dengan orang selain Rey soalnya.."
"Hmm, gapapa. Karena itu kamu harus lebih terbuka lagi dengan yang lainnya ya! Setidaknya kamu bisa terbuka denganku.."
"Baik, akan kuusahakan"
"Ngomong-ngomong, bagaimana hubunganmu dengan Rey?"
"Ah, gimana ya. Lancar aja kok.."
Malam itu pertama kalinya bagiku untuk berbicara dengan teman ditelepon dengan sangat lama. Sekitar setengah jam lamanya kami berbicara hingga Amanda menutup panggilannya karena dia mempunyai urusan dengan pacarnya.
Enak ya jadi Amanda, bisa berbicara dengan semua orang dengan mudahnya.
Dia cantik, pintar, dan juga disegani orang.
Kapan aku bisa sepertinya?
Apakah diriku yang sekarang ini normal?
Tapi Rey tidak pernah mengeluhkannya...
Apakah karena Rey mencintaiku apa adanya?
Kenapa?
Tapi bahkan dia terlalu baik untukku.
Ah, mikir apa sih aku..
Saat ini Rey ada di pandanganku, dia tidak akan meninggalkanku...
Aku juga takkan meninggalkannya.