Apa yang disembunyikan Rey?
Aku tahu mungkin itu adalah masalah pribadi dengan keluarganya, tapi aku sangat ingin tahu. Mungkin aku egois, mungkin aku terlalu mencampuri urusannya, tapi aku adalah pacarnya.
Aku punya hak.
Hari ini kami berdua longgar dari segala tugas, walaupun Rey agak sibuk sedikit sebelumnya akhirnya bisa menemuiku lagi. Acara tinggal seminggu lagi, semua persiapan sudah matang, tinggal menunggu tanggal mainnya.Kami berada di balkon lantai paling atas, melihat ke bawah, memikirkan seberapa ramai acara nanti.
Itu yang kukatakan pada Rey.
Sebenarnya aku memikirkan Rey, tak henti-hentinya membuat diriku penasaran. Aku tidak bisa menahan ini terus-menerus, serasa sesak dada ini menyimpan pertanyaan yang belum menemukan titik terang. Sebenarnya aku sudah menebak bahwa dia adalah orang yang berada. Tapi setiap aku melihatnya terasa janggal untuk mengkonfirmasi hal itu. Aku adalah orang yang selalu penasaran, sama seperti pada seks, aku penasaran akan rasa yang pertama kali kurasakan dahulu. Saat tangan pedofil itu memasukkan jarinya ke dalam vaginaku, adalah rasa yang sama saat Rey menjilati vaginaku. Malah, rasanya lebih nikmat.
Karena itu aku bisa saja mati oleh rasa penasaran ini.
"Rey? Ka-kamu ini orang kaya atau miskin?" Ujarku.
Rey melihat kepadaku dan terkejut. Sepertinya pertanyaanku sangat menyakitkan.
"Ah, kenapa? Kenapa kamu tanya begitu?" Balasnya dengan wajahnya yang terlihat malu dicampur agak takut.
"Aku hanya ingin tau.., ah tapi kalau kamu tidak ingin jawab juga gapapa kok.."
"Baik, akan kuberitahu. Aku adalah orang miskin" ujarnya dengan tersenyum.
Senyuman itu memang menenangkan diriku, tapi dalam hatiku, aku merasa itu tidak benar. Hatiku menolak untuk mempercayai Rey.
Ya, dengan semua bukti yang kulihat dari Rena dan Ayahnya. Bagaimana mungkin Rey adalah orang yang miskin???
"Bohong. Aku engga percaya" balasku.
"Kenapa kamu ga percaya? Aku udah bilang yang sebenarnya.."
"Tapi!"
"Tapi apa?"
"Tapi semua itu. Rena dan Ayahmu?!"
"Kenapa dengan mereka?"
"Mengaku saja Rey! Yang jujur!" Ujarku dengan marah.
"Aku sudah bilang yang sejujurnya"
Hebat sekali, dia masih mempertahankan argumennya. Karena kesal karena Rey yang tidak mau mengaku, aku mulai menangis. Lagipula di lantai ini sepi, semua orang sedang sibuk di bawah.
"Mengapa kamu nangis, Hana??" Tanyanya sambil memegang kedua tanganku.
"Kenapa Rey?? Kenapa kamu engga mau ngaku?? Apa sih yang kamu sembunyikan??"
"Tapi, tidak ada yang aku sembunyikan.."
"Kalau begitu, beritahu aku apa yang terjadi antara kamu dan Ayahmu.."
"Tidak ada apa-apa antara kami.."
"Aku melihatnya, Rey! Aku melihatnya pada hari itu!"
"Maaf kalau kamu harus melihatnya, semuanya udah selesai kok.."
Aku berhenti menangis, lalu melihat kepadanya.
"Benarkah?"
"Iya.." balasnya dengan senyum.
"Kalau begitu, bolehkah aku nanti ketemu dengan ayahmu sepulang sekolah nanti?"
Tiba-tiba ekspresinya berubah dari tersenyum menjadi kaget.
"Eh? Darimana kamu tahu itu?" Tanya Rey.
"Semalam, ayahmu menelfon.., aku lalu mengangkatnya.., dan ayahmu memberitahukannya.." balasku.
"Hana. Kenapa kamu lancang begitu?" Ujarnya dengan wajah yang terlihat geram.
"Ah, maaf. Aku tidak bermaksud begitu.., aku tidak tega untuk membangunkanmu.."
"Lebih baik kamu membangunkanku. Daripada kamu bertindak begitu.."
Wajahnya menjadi datar dan tidak sedikitpun melihatku. Setelah itu dia pergi meninggalkanku, aku mengikutinya, dia membantu yang lain memindahkan barang. Walaupun sudah selesai, dia tidak kembali lagi untuk menemuiku. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang dan melihatnya dari jauh. Baru kali ini aku melihat Rey marah seperti ini. Dia hanya diam saja, tidak berbicara dan tidak melihatku.
Maafkan aku, Rey...
***Sudut Pandang Rey***
Maafkan aku, Hana.
Aku harus begini
Kalau tidak kamu akan terus bertanya-tanya
Aku tidak ingin kamu mengetahui yang sebenarnya.
Aku hanya ingin kamu mencintaiku apa adanya seperti saat ini.
Terasa berat bagiku, mengabaikannya seperti ini. Dia selalu mengikuti kemanapun aku pergi, tapi aku tidak bisa melihatnya, aku harus menahannya. Setelah waktunya pulang sekolah, aku mengambil tasku dan bergegas menuju parkiran mobil. Ternyata Hana masih mengikutiku.
"Rey!" Panggil Hana.
Aku lalu berhenti tanpa melihat ke arahnya.
"Apa?" Sahutku.
"Maafkan aku Rey. Jika perkataanku dan perbuatanku menyakitimu.."
"Gapapa. Lagipula aku juga tidak peduli."
Lalu aku melanjutkan langkahku, sepertinya Hana sudah tidak mengikutiku lagi. Hatiku hancur untuk berusaha mengatakan hal itu kepadanya. Aku tidak bisa berhenti berpikir keadaannya sekarang. Pasti dia pulang dengan keadaan menangis.
Aku harus cepat-cepat menyelesaikan ini dan segera berbaikan dengan Hana.
Setelah sampai di parkiran mobil, aku melihat terparkir mobil BMW X3 berwarna biru yang tidak asing bagiku. Di kabin depan terlihat Ayahku dan Rena. Aku lalu menghampiri mereka dan masuk ke dalam kabin belakang.
"Haloo, kak.." sapa Rena.
"Halo, Rena.." sahutku.
"Halo, Reyan..., Bagaimana sekolahmu?" Ujar ayahku.
"Halo, Wahyu.." sahutku.
"Kakak.., jangan begitu ihh" ujar Rena.
"Tidak apa, Reyan. Tapi tolong panggil aku Ayah saat kita sudah sampai di tujuan kita.."
"Mau kemana kita?" Tanyaku.
"Kita akan makan. Kamu laper kan?" Jawab ayahku.
Lalu kami berangkat dari parkiran sekolah menuju sebuah restoran yang lumayan mahal. Aku masih menggunakan seragam sekolah, sedangkan Rena sudah berganti baju.Setelah sampai, Rena memesankan makanan untukku. Aku sama sekali tidak menghiraukan ayahku yang ada di depanku. Tak lama, ayah memperhatikan seorang pria dewasa dengan pakaian formal yang baru saja masuk ke dalam restoran itu. Ayah lalu berdiri.
"Ayah tinggal dulu ya sebentar.."
Lalu ia meninggalkan kami berdua dan menghampiri orang tersebut. Mereka berada di meja yang cukup jauh dari aku dan Rena.
"Kak, kakak seharusnya ga begitu ke ayah.." ujar Rena.
"Lihat aja dia. Ngajak makan tapi malah ninggalin kita berdua demi urusannya. Dia emang ga pernah berubah!" Geramku.
Rena hanya terdiam mendengar kata-kataku. Tak lama makanan kami sampai, kami berdua langsung memakannya. Sedangkan ayah masih saja sibuk berbincang dengan orang tadi. Bahkan hingga kami telah menyelesaikan makanan kami, ayah masih belum selesai. Karena kesal, aku pergi meninggalkan restoran itu. Rena berkali-kali memanggilku, tapi tak kuhiraukan. Sampai aku berada di jalan raya, tidak ada tanda-tanda ayah mengejarku.
Aku sangat kecewa.
Tak lama Rena datang menghampiriku dengan berlari. Dia memegang tanganku.
"Kalau kakak tidak mau mendengarkannya, biar aku yang bicara.." ujarnya.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" Tanyaku.
Tanpa menjawab pertanyaanku, Rena memanggil taksi. Kami menuju sebuah garasi yang tak jauh dari rumah Rena. Garasi di sana sudah keluarga kami sewa untuk menaruh kendaraan milik ayahku. Dia mengajakku masuk ke dalam garasi tersebut, di sana terdapat mobil kota yang kutahu itu milik Rena, namun ada mobil Civic Sedan berwarna merah keluaran terbaru yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"Jadi kamu beli mobil baru?" Ujarku.
"Nih, coba deh.." Rena memberiku kunci mobilnya.
Kami berdua masuk ke dalam mobil itu. Aku tidak begitu kaget, karena aku sering melihat review mobil ini. Mobilnya terasa nyaman dan seperti mengajakku untuk membawanya.
"Bagaimana?" Tanya Rena.
"Wah, ini mah mobil nyaman banget. Tapi tetep aja gaada yang bisa ngalahin B--" ujarku.
"--BMW. Ya aku tahu kakak akan bilang begitu.." kata-kataku dilengkapi olehnya.
Aku terkejut, padahal aku tidak pernah memberitahukan hal ini atau yang berhubungan dengan mobil dengannya.
"Darimana kamu tau aku suka BMW?" Tanyaku dengan senyum.
"Ya sebagai adik yang baik harus tau kesukaan kakaknya dong.." sahutnya.
"Itu engga menjawab pertanyaannya.."
"Ga penting. Intinya kakak suka ga?"
"Kalau ditanya suka, ya pasti suka.."
"Bagus deh. Itu buat kakak ya.."
"Loh, maksudnya?"
"Iya. Itu hadiah Ulang Tahun kakak dariku!!" jawabnya dengan senang.
Seketika aku langsung tersadar maksudnya, aku lalu keluar dari mobil itu dan memalingkan wajahku.
"Kak? Kok begitu? Kakak ga suka hadiahnya?" tanya Rena sembari keluar dari mobil.
"Cukup, Rena. Aku engga akan terpengaruh"
"Loh? Ada apa?"
"Engga usah sandiwara lagi! Aku udah ngerti maksud kalian berdua!" Ujarku dengan memperlihatkan wajah marahku.
"Ta-tapi, maksud apa??"
"Ini ulah ayah kan?! Ini hadiah dari dia?!"
"Tapi ini dariku.."
"Bohong! Kalian berdua tau aku suka mobil. Lalu kalian mau nyogok aku dengan ini?! Gak akan mempan!" Ujarku dengan sangat kesal sembari membanting kunci mobilnya.
Terlihat Rena mulai menangis.
"Sekarang aku tanya. Darimana kalian tau kalau aku suka mobil? Jawab Rena!" Lanjutku.
"Aku tau dari Hana!!" Sahutnya dengan menangis keras.
Aku membiarkannya menangis seperti itu, lalu aku terdiam mencoba untuk meredakan amarahku. Rena lalu menghampiriku dan memberikanku sebuah kertas bukti pembayaran dari dealer mobil.
"Kalau kakak tidak percaya padaku, mungkin ini bisa membuat kakak percaya.." ujar Rena yang masih menangis.
Kertas itu menunjukkan bahwa pembayaran dilakukan melalui sebuah rekening. Nomor rekening itu tidak asing bagiku, ya karena itu adalah nomor rekening Rena.
"Apa maksudnya ini, Rena?" Tanyaku.
"Aku membelikanmu ini dengan tabunganku sendiri.." sahutnya.
"Tapi, Rena. Ini mobil seharga sekitar 500 juta.."
"Aku tidak pernah memberikan kakak apapun..., Karena itu aku ingin memberikan hadiah yang spesial untuk kakak.."
Aku pun tersadar. Aku lalu menghampirinya dan langsung memeluknya. Rena lalu menangis makin keras seakan melepaskan semuanya.
"Maafkan aku, sudah membentakmu..." Ujarku sembari mengelus rambutnya.
"Gapapa, asal kakak mau menerima hadiahnya.." sahutnya dengan terisak-isak.
"Iya, aku terima hadiahnya. Tapi kamu harus nabung lagi ya biar keisi lagi tabungannya..."
"Iya, kak. Aku akan nabung lagi.."
"Apa ada lagi yang kamu mau bicarakan?"
"Pulang kak, aku mau kita seperti dulu lagi.."
"Maaf, Rena. Aku masih engga bisa pulang. Tapi aku janji, saat waktunya tepat, nanti aku pulang..."
"Baik, kak. Akan kutunggu."
Aku lalu melepaskan pelukannya, lalu kukecup keningnya.
"Aku bawa ya kuncinya. Tapi aku ga bisa bawa ini ke kontrakan. Gaada lahan parkir di sana. Nanti kalau aku mau pakai pasti aku ke sini.."
Setelah itu kami berpencar, Rena pulang kerumahnya, sedangkan aku pulang ke kontrakan. Hari sudah mulai gelap, aku menuju rumahku menggunakan bis umum. Sembari menunggu busnya sampai ke tujuan, aku memikirkan Rena. Dia sangat baik. Bahkan terlalu baik untuk seorang adik tiri.
Ya, dia bukan adik kandungku.
*****
Dulu saatku sedang mengikuti Sekolah Dasar, aku merasa kesepian di rumah. Hanya ibuku yang mengajakku main, sedangkan ayah sibuk bekerja setiap siang hari. Sejak lama ibuku menginginkan anak perempuan. Tapi semua itu tidak bisa terwujud. Aku adalah anak pertama dan juga anak terakhir yang lahir dari rahim ibuku.
Sampai suatu ketika, aku tidak ingat pasti kejadiannya. Hari itu kami baru saja pulang dari rumah nenek, kami menempuh perjalanan yang jauh. Pada malam itu gelap sekali, hujan deras turun, dan disertai petir yang besar. Aku hanya bisa bersembunyi dibalik selimut yang diberikan ibuku.
Tiba-tiba mobil kami berhenti, ayah dan ibuku keluar meninggalkanku sendirian di dalam mobil. Aku sempat ketakutan dan ingin menangis. Tidak lama, ibuku membawa masuk seorang gadis cilik yang terlihat seumuran denganku. Dia terdiam dan terlihat menggigil dengan darah bercucuran di dahinya. Lalu ibuku kembali meninggalkan kami berdua, tak lama terdengar suara yang sangat keras. Suara itu bukan petir. Gadis cilik itu menangis dan aku mencoba menghiburnya. Aku berhasil membuatnya sedikit tenang.
Setelah itu kami dikerumuni oleh banyak orang hingga pagi hari. Setelah orang-orang mulai sepi, kami melanjutkan perjalanan. Entah mengapa gadis cilik itu ikut juga bersama kami ke rumah kami. Ibuku mengatakan bahwa gadis cilik ini akan menemaniku dan dia bernama Rena. Ya, aku tidak begitu ingat kejadiannya. Tapi setelah aku cukup besar, aku sadar. Bahwa Rena dirawat dan diadopsi oleh keluargaku karena kejadian malam itu. Aku menyimpulkan bahwa orang tua Rena kecelakaan dan meninggal pada hari itu.
Ibuku sangat senang memiliki Rena, beliau merawat Rena dengan sepenuh hati. Meski terkadang aku juga pernah cemburu karena ibuku melebihi sayang padanya daripada kepadaku. Tak bisa dipungkiri juga, bahwa Rena menjadi teman terbaikku yang pernah ada dalam hidupku. Dia selalu menemaniku kemanapun aku pergi, dia sangat perhatian denganku. Bahkan alasan mengapa aku belum pernah berpacaran sebelumnya karena aku sudah memiliki Rena yang selalu ada untukku. Jadi buat apa aku memiliki pacar, lagipula aku menyayanginya.
Aku menyayangimu, Rena.
Namun semuanya berubah. Kini Rena terasa seperti orang asing. Ya, karena mungkin sudah 2 tahun kita tidak pernah bertemu sesering dulu. Sejak kejadian yang menimpa ibuku. Keluarga kami menjadi terpisah. Aku juga terpisah dari Rena. Semua ini terjadi karena ayahku.
Aku tidak bisa memaafkannya begitu saja.