*****
Sudah Tiga Minggu berlalu, kami berdua sedang sibuk-sibuknya menyiapkan acara tahunan sekolah kami. Ya, sebenarnya seluruh murid kelas 11 ikut sibuk juga, kecuali beberapa murid yang enggan membantu. Banyak sekali yang harus disiapkan, walaupun aku Divisi Acara, aku juga sibuk sekali. Setiap 2 hari sekali kami rapat dengan OSIS, hal-hal yang kami rancang seringkali ditentang oleh OSIS yang membuat kami harus merancang ulang. Bagian paling mengesalkan adalah OSIS hanya bisa mengkritik dan tidak memberikan solusi apapun. Sedangkan Rey juga ikut sibuk membantu bagian perlengkapan untuk menyiapkan barang dan memindahkannya. OSIS memerintahkan semua panitia cowok untuk ikut bantu.
Tiga Minggu ini kami jarang sekali melakukan hal yang sering kami lakukan tiap pulang sekolah, selalu saja kami pulang larut. Satu-satunya kesempatan kami berdua adalah saat pulang dari sekolah, tapi kami berdua sangat lelah, karena itu kami jarang berbicara. Ya walaupun capek dan mengesalkan, kami mendapat dispensasi untuk mangkir kelas. Sebuah keuntungan yang lumayan, walaupun terkadang aku kadang berpikir lebih baik di kelas saja.
Seharian ini aku berkali-kali keluar masuk Ruang Guru dan Kepala Sekolah, banyak sekali yang harus ditandatangani. Karena sekolah kami sama sekali tidak mengeluarkan biaya alias kami menggunakan media partner untuk menunjang acara ini, katanya Kepala Sekolahnya ingin hemat biaya.
Hemat atau pelit?
Beberapa kali aku berpapasan dengan Rey saat dia membawa barang-barang. Aku khawatir apakah dia kelelahan atau tidak. Sekarang aku sedang duduk menunggu Novi keluar dari Ruang TU, dia sedang mengurus soal proposal untuk sponsor. Kalau dipikir-pikir, acara ini terlalu mepet, masa persiapannya cuma sebulan? Pantas saja kalau orang-orangnya kalang kabut mengurus acara ini, harusnya sudah disiapkan berbulan-bulan. Tanpa sengaja aku melihat Rey yang sedang bersandar di pilar, aku lalu menghampirinya dan menyapanya.
"Halo, Rey.."
Dia terlihat berkeringat dan lelah sekali. Aku lalu berjongkok di depannya.
"Kau lelah ya?" Tanyaku.
"Ah, engga juga. Kamu sendiri?" Balas Rey.
"Yah, begitu lah."
"Nanti kamu kelar jam berapa?"
"Ah, sepertinya rapat acara kelar jam 7 sih.."
"Wah, cepat ya. Aku engga tau kelar kapan. Masih ada banyak barang sponsor yang akan datang. Dan harus di atur posisinya."
"Hmm, kalau begitu aku tunggu kamu deh.."
"Eh, gausah..., Kamu pulang duluan aja.."
"Gapapa kok. Aku tunggu ya.."
Aku lalu mendekatkan wajahku dan mengecup pipinya.
"Semangat ya, sayangku.." lanjutku.
Aku lalu berdiri dan berjalan ke arah Ruang TU. Lalu menoleh kebelakang, kulihat Rey juga berdiri. Dia juga melihatku, tampaknya dia terlihat lebih semangat daripada sebelumnya. Saat aku sampai di depan Ruang TU, terlihat Novi yang menaruh kedua tangannya di pinggangnya, sepertinya dia menungguku. Dia juga pasti melihat aku dan Rey.
"Yeh, dasar bucin.." celetuk Novi.
"Ah, ma-maaf, Novi.." jawabku.
Wajahnya yang cemburut berubah menjadi sedikit tersenyum.
"Hmm, yaudah ayo. Kita masih banyak kerjaan nih.."
Setelah itu kami kembali meneruskan pekerjaan kami hingga sore. Pada sore hari kami rapat Divisi Acara di ruang OSIS, kebetulan OSIS sedang tidak memakainya, kami rapat sampai langit sudah gelap, di jam tertuju pukul 7 malam. Amanda menyudahi rapat, katanya hampir semua tugas Divisi Acara sudah terselesaikan. Tugas kami selanjutnya hanya mengawasi dan memastikan semua berjalan sesuai rancangan.
"Ahhh, akhirnya bisa santai juga..." Novi lega.
"Eh, aku cabut duluan ya.., udah ditunggu bebeb.." ujar Febi.
Febi lalu meninggalkan kami berempat. Ayu terlihat masih mengobrol dengan Amanda, sedangkan Novi tiduran di pahaku. Lalu Ayu berdiri.
"Eh kalian mau nitip ga? Aku mau ke kantin.." Tanya Ayu.
"Wah boleh, air mineral satu yak..." Jawab Novi.
"Ah, aku juga dong satu.." jawabku.
Ayu lalu pergi ke kantin.
"Eh, Hana. Gw penasaran dah, rasanya lu sama Rey adem-adem aja..., Rahasianya apa sih?" Tanya Novi.
"Rahasianya? Apa ya? Kami berdua menjalaninya biasa aja.." sahutku.
"Hmm bohong ah, pasti lu udah macem-macem ya! Ayo ngaku lu berdua ngapain aja!" Ujar Novi.
"Wah iya.., bener tuh. Ayo ngaku aja Hana..." Sambung Amanda.
"Ah, kami engga ngapain-ngapain kok.." jawabku.
"Ga mungkin lah..., Lu aja berani cium dia di sekolah, pasti kalian udah lebih jauh!" Novi terus memaksaku dengan bercanda.
"Seriusan? Ciuman! Wahhh, aku aja baru tahu.." kata Amanda.
"Aduh, gimana ya..." Sahutku.
Bagaimana ini? Aku belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Apakah aku harus bilang sejujurnya? Atau tetap disembunyikan?
"Ah, yah kami memang sudah pernah ciuman..." Jawabku.
"Wahhhhh, pelukan juga berarti???" Tanya Amanda dengan penuh semangat.
"Ya, pernah beberapa kali.."
"Hmm, tapi lu belom jawab pertanyaan gua. Paling jauh lu berdua udah ngapain aja?" Tanya Novi.
Tidak mungkin aku akan mengatakannya.
"Tapi memang hanya segitu yang pernah kami lakukan..." Jawabku.
"Oh begitu, yaudah lah. Seenggaknya gua udah tau bahwa cewek sepolos Hana aja udah pernah Ciuman!!" Ujar Novi.
Memangnya aku terlihat polos ya?
Novi lalu melemparkan pertanyaan yang sama kepada Amanda, Amanda menjawab bahwa dia dan pacarnya hanya pernah ciuman sekali. Tak lama, Ayu datang dan ikut bergabung obrolan kami. Ternyata Ayu orang yang sangat terbuka, dia menceritakan yang dia pernah lakukan dengan pacarnya. Mereka tentunya pernah ciuman, dan pacarnya seringkali meremas payudara Ayu tetapi tidak membuka baju. Ayu mengaku bahwa terkadang hal itu membuatnya tidak nyaman, namun dia tidak bisa menolak permintaan pacarnya.
Yah, kurang lebih sama seperti aku, walaupun aku juga yang sebenarnya ingin diremas.
Lalu kami berbicara panjang hingga cukup malam, jam menunjukkan pukul 9 malam. Tidak lama setelah aku mengecek jam, Rey datang dan menjemputku.
"Ayo, Hana. Aku sudah selesai..." Ajak Rey.
"Kalau begitu aku pulang duluan ya.." ujar ku ke Amanda, Novi, dan Ayu.
"Dah! Hati-hati ya.." sahut Ayu.
"Rey! Jagain terus Hana ya! Jangan sampe lecet!" Kata Novi.
"Siap!" Balas Rey.
Kami lalu meninggalkan sekolah dan berjalan menuju apartemenku, hari sudah sangat malam, kendaraan di jalanan juga mulai jarang, saat berjalan kami tidak berbicara apapun. Aku merasakan ada yang aneh dengannya. Lalu aku memulai bicara.
"Kita akhir-akhir ini jarang berbicara ya..." Ujarku.
"Yah, mau bagaimana lagi. Kita berdua sibuk..." Sahut Rey.
"Benar juga.."
"Tapi, kamu juga sibuk ngurusin divisi acara.." ujar Rey dengan nada yang sedikit kesal.
"Loh? Kamu kan juga sibuk bantuin divisi perlengkapan..., Bawa barang ini itu, emang kamu engga capek apa?"
"Ya, mau bagaimana lagi..., Kamu sibuk dengan urusan acara..., Engga ada waktu buat ketemu.."
"Kok? Kamunya juga sibuk..., Lagipula hari ini aku udah nyamperin kamu tadi! Malah aku juga sering nunggu kamu pulang.."
"Tetap aja, kamunya sibuk rapat sampai malem..."
"Ihhh, aku kan ikut rapat sampai malem karena nunggu kamu selesai bantuin perlengkapan!!"
"Justru aku bantu perlengkapan karena sekalian nunggu kamu selesai rapat malem terus!!!"
Lalu kami berdua terdiam. Entah mengapa aku baru tersadar. Kalau dipikir-pikir, penyebab kami berdua pulang malam adalah karena kami yang saling menunggu satu sama lain. Karena aku, dia menunggu hingga malam, dan karena dia, aku menunggu hingga malam. Sungguh memusingkan, sebuah lingkaran yang tidak memiliki awal dan akhir. Kami berdua lalu mengucapkan 'maaf' secara bersamaan.
"Yah, sepertinya kita seperti terjebak di loop gitu ya kan.." ujar Rey.
"Benar juga..."
Tak lama, kami sampai di depan apartemenku. Entah menagapa kami hanya berdiam diri saja bertatapan, dia tidak pergi, aku juga tidak naik ke tangga.
"Hana, sudah lama aku tidak kerumahmu..., Bolehkah aku main?" Tanya Rey.
"Ah, ya. Tentu saja. Ayo masuk.." sahutku.
Kami berdua lalu menaiki tangga dan masuk ke apartemenku. Setelah itu aku pergi ke dapur menyiapkan Teh hangat untuk kami berdua. Entah kenapa aku melakukan itu, seperti refleks, ketika orang asing datang ke rumahku. Yah, memang sudah sekitar 3 Minggu Rey tidak main ke rumahku. Rasanya sangat berbeda. Aku lalu membawa teh itu dari meja ke ruang tengah, lalu meletakkannya di meja yang ada di depan Rey. Aku lalu duduk di samping Rey.
"Sudah lama ya..., Kamu engga kesini.." ujarku.
"Ya. Sudah lama.." sahut Rey.
Rey tiba-tiba merebahkan badanku ke sofa, dia lalu mencium bibirku dengan nafsunya. Dia memainkan lidahnya.
Aku terkejut melihat Rey melakukan itu.
"Rey???" Kagetku.
"Hana, apa aku boleh jujur kepadamu?" Tanya Rey.
"Ah, i-iya Rey. Bo-boleh kok.." sahutku.
"A-aku sedang berhasrat..., Sudah lama kita tidak bertemu se sering dulu.., aku rindu, rindu seluruh tubuhmu!" Ujar Rey yang terlihat sedang terangsang itu.
"Kau tahu, Rey? Aku juga sama..." Sahutku sembari tersenyum.
"Benarkah?"
"Iya, sudah lama sekali..., Aku ingin memintaku untuk memuaskanku, tapi aku takut kamu capek..."
"Kalau begitu, aku akan memuaskanmu sekarang..."
Kami berdua lalu pergi ke kamarku. Aku lalu menciumnya dan mendorong nya perlahan hingga kami berdua terjatuh ke atas kasur. Aku membuka kancing kemejaku satu persatu, lalu mengangkat bra. Aku mengisyaratkan Rey untuk menjilati payudaraku. Sembari menikmati jilatan Rey, aku memanjakan vagina dengan kedua jariku. Rey menyadarinya, dia lalu berhenti menjilati payudaraku dan membuka rokku lalu berganti untuk menjilati vaginaku.
"Rey..., Ahh..., Mmhh,.....lebih cepat...."
Tanpa sadar aku mendesah kenikmatan.
Rasanya nikmat gila.
Ya, ini sangat nikmat.
Tidak ada kata-kata yang bisa menjelaskan kenikmatan ini.
Aku meminta Rey untuk menjilat vaginaku lebih cepat lagi. Rey sangat hebat, entah bagaimana caranya. Lidahnya berhasil mengacak-acak vaginaku dengan cepat dan sangat nikmat. Karena begitu nikmatnya aku mendesah cukup keras tak tertahankan, seluruh tubuhku bergetar, hingga pada akhirnya aku merasa sangat lega sembari air yang mucrat dari vaginaku. Setelah itu, aku membuka celana Rey dan menarik penisnya. Lalu aku mengulum penis Rey hingga masuk semuanya ke dalam mulutku. Aku menggerakkan penisnya keluar masuk, namun Rey juga ikut menggerakkan kepalaku lebih cepat lagi. Walaupun sudah lemas karena aku sudah ejakulasi, aku tetap mecoba untuk membuat Rey puas juga. Hingga akhirnya tubuh Rey bergemetar dan mengeluarkan spermanya yang banyak itu di mulutku. Begitu banyaknya sperma yang keluar, aku sampai sesak nafas dan hampir muntah.
Rey lalu melihatku dengan terlihat khawatir, "kamu engga apa-apa?".
"Gapapa kok, hanya saja. Kamu keluar banyak sekali malam ini..." Sahutku.
"Yah, sudah sekitar 3 Minggu aku tahan.."
Aku lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan sisa-sisa yang tercecer di badanku. Setelah itu kami berdua saling berpelukan di atas kasur. Kami melakukan hal yang orang sering bilang dengan 'kelonan'. Yaitu saling berpelukan hingga tertidur.
"Rey, apakah kamu tadi merasa nikmat?" Tanyaku.
"Ya, aku sangat menikmatinya.." sahut Rey.
"Sudah lama ya, kita tidak kelonan begini..."
"Iya, Hana. Malam ini aku ingin menginap denganmu, aku ingin melepaskan kangen. Itu kalau boleh..."
"Boleh kok, lagipula besok aku sudah tidak ada kerjaan lagi.., aku sudah bebas..."
"Yeay.., aku juga besok lumayan kosong. Cuma menata dikit doang..."
Sudah lama kami tidak melakukan ini, bahkan kami berdua sama-sama sampai berhasrat sebesar ini. Setelah itu aku tidak mengingat apapun, sampai aku terbangun di tengah malam. Tubuhku masih dalam keadaan dipeluk erat oleh Rey, aku mencoba melepaskannya perlahan. Aku lalu bangun dari kasur dan pergi menuju kamar mandi, saat aku mengeluarkan air seni, vaginaku terasa masih dijilati oleh Rey.
Ya, rasanya masih terasa.
Aku kembali ke dalam kamar dan melihat jam, ternyata masih jam 12 malam. Terlihat di atas kasur itu ada Rey yang sedang terlelap, wajahnya lucu. Dia juga tidur tanpa suara, tidak mendengkur. Tiba-tiba suara ponsel Rey mengagetkanku, lalu aku mengambilnya dan mengangkat panggilan masuk itu. Tertulis Ayah di kontaknya.
"Halo, Rey. Apa kau masih bangun?" Ujar seorang pria dewasa di telpon.
"Ha-halo, Om. Ini aku, Hana" jawabku.
"Hana? Hana siapa?"
"Ah, aku temannya Rey..., Rey nya udah tidur, Om"
"Oh begitu. Tapi kenapa handphonenya Rey ada sama mu, selarut ini..., Rey memang ada di mana sekarang?"
Sial. Apa yang harus kukatakan?
Tidak mungkin aku bilang bahwa Rey menginap di rumah cewek.
"Ah iya, Om. Rey lagi nginep di sekolah. Lagi ngurusin acara.."
"Oh begitu ya, pantas di rumahnya tidak ada orang.."
"Iya, Om. Perlu kubangunkan Rey nya?"
"Ah, tidak usah. Titip pesan ke Rey aja ya, besok saya akan jemput dia sepulang sekolah."
"Baik, Om. Akan saya sampaikan."
Dia lalu menutup teleponnya.
Ini mengingatkanku dengan kejadian waktu itu, saat Rey terlihat tidak ingin bertemu dengan Ayahnya. Apa karena waktu itu mereka sedang bertengkar? Setelah kuingat juga, kami tidak pernah membicarakan orang tua kami. Aku tidak tahu apapun tentang keluarganya, begitu juga sebaliknya. Saat bertengkar, Rey seperti mengusir ayahnya. Berarti ayahnya tidak tinggal serumah dengan Rey.
Oh! Berarti yang tinggal serumah dengan ayahnya adalah Adiknya, Rena.
Tapi mengapa mereka harus tinggal di rumah yang berbeda?
Terlebih antara Rey dan Rena. Perbedaan mereka terlalu kontras, dari gaya hidup dan hal lainnya. Mereka juga tidak terlihat mirip untuk bisa dibilang sebagai kakak dan adik.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Jika kau lihat dari sudut pandang Rena, maka kau akan tahu bahwa mereka adalah keluarga yang makmur. Sedangkan jika kau lihat dari sudut pandang Rey, yang terlihat adalah kesederhanaan. Namun, satu hal yang pasti. Ayahnya terlihat seperti orang yang berkelas.
Apa yang Rey sembunyikan?