Chereads / Berlayar ke Pulau Harta / Chapter 19 - Bajak Laut Turras [Arc Terigu Village Bagian 14]

Chapter 19 - Bajak Laut Turras [Arc Terigu Village Bagian 14]

Saat itu menjelang dini hari. Di Pelabuhan Kandara yang merupakan salah satu pelabuhan penting di Kerajaan Mangga, beberapa orang pekerja pelabuhan terlihat berada di satu titik sambil menatap ke arah laut.

"Kapal itu semakin mendekat. Padahal setahuku pagi ini tidak ada jadwal kapal yang akan berlabuh," ujar seorang pekerja pelabuhan sambil memicingkan matanya, melihat ke arah siluet kapal yang semakin mendekat itu.

"Itu bajak laut! Ayo selamatkan diri kalian masing-masing!" teriak pekerja yang lain saat melihat kapal tersebut memiliki bendera khas bajak laut.

Orang-orang pun berhamburan keluar dari pelabuhan. Mereka tampaknya benar-benar merasa sangat takut terhadap yang namanya bajak laut. Apalagi pelabuhan tidak memiliki penjagaan yang cukup kuat.

Istana Mangga belum sempat mengirim pasukan untuk menjaga pintu masuk ke dalam wilayah darat kerajaan itu. Otomatis pelabuhan Kandara menjadi titik yang rawan diserang pihak luar terutama bajak laut.

Di sekitar pelabuhan Kandara merupakan pemukiman padat penduduk. Rata-rata yang tinggal di pemukiman tersebut adalah pedagang karena ramainya aktivitas di pelabuhan tersebut.

Dini hari itu menjadi sangat menakutkan setelah mendengar kabar datangnya kapal bajak laut yang terang-terangan menampakkan diri.

Sementara di dalam kapal saat sebentar lagi mencapai dermaga.

Kapten Turras berdiri di anjungan sambil tersenyum puas. Ia melihat lahan emas yang sebentar lagi akan ia obrak-abrik.

"Tembakkan meriam!" perintahnya kepada para kru meriam sebelah kanan yang menghadap ke arah daratan.

"Tembak!" seru komandan para kru meriam.

'Bamm, bamm, bamm, bamm'

Sebanyak sepuluh meriam yang berada di kanan kapal, memuntahkan bola-bola besinya ke arah pemukiman dan pelabuhan.

Akibat tembakan tersebut, terjadi kepanikan massal di pemukiman. Para penduduk berlarian kocar-kacir menyelamatkan diri. Mereka membawa apa yang bisa mereka selamatkan.

Dini hari itu sangat kelam karena bajak laut meneror mereka tanpa ampun.

Para kru bajak laut Turras pun berhamburan turun dari kapal untuk menyerbu pemukiman dan pelabuhan. Mereka merampas segala harta benda, bahkan memperkosa perempuan yang dijumpainya.

Benar-benar pagi buta yang penuh teror di Pelabuhan Kandara. Sejauh mata memandang hanya pemukiman yang luluh lantak dengan sebagiannya terbakar hebat.

Di jalanan pemukiman yang dipenuhi kekacauan itu, tampak Kapten Turras tertawa puas sembari menggenggam botol rumnya.

"Ambil semuanya, jangan disisakan. Ahahaha." Kapten Turras berkacak pinggang diikuti kekehan para tangan kanannya.

√ Desa Terigu, sekitar 70 kilometer jauhnya dari Pelabuhan Kandara

Di dalam rumah panjang bekas tempat tinggal mantan presiden Unasoka, Ado berbaring di kasur lantai dengan tangan kanannya yang diperban penuh. Ia hanya terdiam saat kawan-kawannya sedang berbincang.

"Bajak laut itu menyerang Pelabuhan Kandara dan pemukiman warga. Artinya di sana tidak ada pertahanan. Aku bingung kerajaan ini seperti kehilangan kekuatannya setelah rajanya dibunuh," ujar Farha sembari mengetuk-ngetuk cangkir kopi di depannya.

"Aku malah lebih bingung, para bajak laut itu bisa menembus Pintu Neraka Gadasir yang terkenal sebagai kuburan kapal," tukas Uday.

"Mereka pasti memiliki cara untuk masuk. Mungkin dengan cara mengorbankan armada kapalnya yang lain?" kata Ado tanpa melihat ke arah Farha dan Uday.

"Aku rasanya ingin sekali melihat dunia. Rasanya bosan berada di tempat yang itu-itu saja," ujar Marcell.

"Kau sudah mengelilingi benua Kalangga ini?" tanya Farha disambut gelengan Marcell.

"Nah, melihat dunia kan bisa dimulai dengan menjelajahi seluruh tanah Kalangga ini. Aku rasanya tidak sabar untuk melakukannya," jawab Marcell.

"Tapi aku ingin langsung mengarungi lautan. Tanah Kalangga semakin ke barat semakin mengerikan. Suku Marmara yang menguasai benua Kalangga bagian barat sudah lama menjadi perhatian serius kerajaan-kerajaan di Kalangga," tutur Ado seraya meregangkan kakinya.

"Belum ada kerajaan atau republik yang berani menyerang wilayah barat Kalangga. Artinya wilayah itu sangat dihindari oleh kerajaan manapun di Kalangga."

"Nah, justru itu yang membuatku bersemangat untuk menjelajahi seluruh daratan ini. Aku ingin membuat suatu terobosan yang menggemparkan dunia. Kau tidak tertarik, do? Payah sekali," kata Marcell sambil terkekeh.

Ado hanya tersenyum miring. Ia memang memiliki keinginan untuk menjelajahi dunia bahkan hingga ke suatu pulau yang menjadi tujuan utama para bajak laut. Ia saat ini memiliki keinginan untuk mengarungi lautan.

Keinginan itu sangat kuat sehingga mengabaikan fakta bahwa ia belum pernah menjelajahi daratan di mana saat ini ia tinggal. Apakah ia akan langsung berlayar atau menjelajahi terlebih dahulu daratan Kalangga?

Mendadak lamunannya buyar saat kakek pengemis datang bersama Listi, yang mana gadis itu dalam kondisi kelelahan.

"Aku telah mengajarinya setidaknya empat jenis ilmu beladiri, termasuk penggunaan cakram dan panah kecil. Tugasnya sekarang adalah terus berlatih, dan kalian harus mengawasinya," ucap kakek pengemis.

"Kau juga harus belajar teknik memegang angin. Dengan teknik itu, kau tidak akan terluka separah ini lagi," tambahnya sambil melihat ke arah Ado.

"Memegang angin? Kakek ada-ada aja, sih," sergah Ado merasa geli dengan kata-kata kakek pengemis.

"Bukan dalam arti yang sebenarnya. Memegang angin artinya tanganmu harus bisa memegang apa saja termasuk berbagai jenis senjata. Dengan kata lain teknik memegang angin adalah terampil menggunakan berbagai jenis senjata," jelas kakek pengemis membuat semuanya menatap tidak berkedip ke arahnya.

"Sepertinya menarik, kek. Kalau begitu saya akan mempelajari teknik itu." Ado pun bangkit dari duduknya dengan semangat.

√ Di sebuah perkebunan koli (sejenis pohon mangga yang memiliki tingkat keasaman yang rendah serta sedikit gurih, pohon ini hanya fiktif belaka), Sullivan sedang berdiri melihat ke arah perkebunan yang kini tidak ada pekerjanya.

"Jadi kau bertemu kakek pengemis itu?" Itu adalah Rose yang datang dari suatu jalur kecil perkebunan.

"Ya, kami bahkan beradu pedang. Aku lebih memilih pergi. Dia terlalu kuat meski sudah tidak lagi muda. Terpaksa aku membiarkan bocah itu lolos," tukas Sullivan.

"Jadi begitu? Sekarang semua lini usaha kita kehilangan para pekerja. Kerajaan Mangga yang dipimpin raja baru telah mengeluarkan maklumat penghapusan sistem perbudakkan. Otomatis itu menjadi pedang tajam yang mengakhiri hegemoni kita di bidang perbudakkan," tutur Rose menghela nafas.

"Pasukan kerajaan juga tengah mengincar kita. Kita sekarang adalah kriminal di mata mereka. Kita tidak aman lagi meski dapat melawan."

"Jika kau sudi, bagaimana kalau kita ikut naik ke kapal bajak laut Turras. Mereka sekarang masih berada di Kandara. Bukan tidak mungkin mereka sedang mencari kru baru. Kita bisa menjadi kru terkuat mereka. Bahkan kalau mau kita bisa menjadi pemimpin para bajak laut itu," kata Sullivan sambil menatap ke arah Rose.

"Ide yang buruk. Aku ini bangsawan, masa ikut bajak laut?" sergah Rose tidak setuju.

"Aku hanya mengajukan opsi tunggal. Memangnya kau mau tetap di Kalangga sementara kerajaan ingin menangkapmu?" tukas Sullivan.

Rose terdiam sejenak kemudian berujar, "Yaswar memang tidak berguna! Dia menghilang ketika kita dalam keadaan genting begini. Aku hanya bisa menunggu sampai pasukan raja menemukanku."

Sullivan menggeleng. "Jadi kau sudah memutuskan untuk tetap di sini. Baiklah, aku yang akan pergi. Selamat tinggal."

Sullivan beranjak meninggalkan Rose yang termangu sendirian di kebun koli. Perempuan berusia tiga puluh tahunan itu menatap ke arah perginya Sullivan.