Ado dan kawan-kawan mengerumuni jasad Pak Dodo yang terbaring telentang di atas lantai marmer reruntuhan istana Unasoka. Mereka berlutut dengan hati penuh tanya, siapa gerangan orang yang tega membunuh mantan pemimpin yang sudah sepuh itu.
"Mungkin ini ada kaitannya dengan One Ring. Pasti pelakunya adalah salah satu dari mereka atau bisa jadi suruhan mereka," ujar Ado seraya menutupi jasad Pak Dodo dengan beberapa lembar daun pisang.
"Pasti salah satu dari mereka. Bukan orang suruhan. Aku pernah mendengar cerita dari Rojo dan Karjo tentang salah seorang petinggi One Ring yang hobi berburu menggunakan senapan. Konon dia memiliki keahlian menembak di atas rata-rata. Ia dapat menembak musuh dari jarak lima ratus meter menggunakan senapan runduk tanpa scope," tutur Farha membeberkan apa yang
diingatnya.
"Iyakah? Kalau begitu pasti orang itu pelakunya. Mungkin dia belum jauh dari sini. Kita bisa mengejarnya," kata Listi sambil mengedarkan pandangannya.
Ado mendadak merasakan desingan suatu benda yang mengarah ke Farha. Tanpa pikir panjang ia mendorong tubuh pemuda itu hingga jatuh telentang.
"Berlindung!" teriaknya.
Tassss
Sebutir peluru melayang melewati tubuh Farha yang sedang telentang.
"Sial! Dia mengincarku sekarang," pekik Farha seraya bergulir.
Sementara Ado dan Listi hanya bisa saling pandang. Mereka terkejut dengan kejadian barusan.
"Kita harus pergi. Kita akan bawa mayat Pak Dodo. Kita harus menguburkannya," ucap Ado seraya menghampiri jasad Pak Dodo.
Namun ia berhenti saat kembali merasakan desingan peluru tepat ke arahnya.
Saat hendak menghindar, mendadak sebatang panah meluncur kemudian menghadang laju peluru hingga menimbulkan bunyi 'trang'.
"Marcell?" gumam Ado saat melihat rekannya tersebut muncul sembari membawa sebuah perisai.
"Ado, gunakan ini. Aku dan Farha akan menggotong kakek ini," ujar Marcell sambil melemparkan perisai itu ke arah Ado.
Ado menyambar perisai tersebut kemudian kembali mendengar suara desingan peluru dari arah timur di mana ia dan teman-teman berada. Ia kemudian melompat kemudian menghalau terjangan peluru dengan perisai dari Marcell tersebut.
Selanjutnya dengan dilindungi Ado menggunakan perisai, Marcell dan Farha menggotong jasad Pak Dodo. Sedangkan Listi berjalan terbungkuk di samping Ado.
Setelah memasuki area berpepohonan lebat, keempat orang itu pun dapat melenggang bebas. Mereka kini berjalan menuju rumah Pak Dodo untuk kemudian menguburkan jasad mantan presiden itu.
Waktu berlalu. Setelah beberapa lama pasca menguburkan jasad Pak Dodo, Ado dan kawan-kawan berkumpul di rumah panjang pinggir danau itu.
"Kau tahu pelakunya?" tanya Ado sambil menatap Marcell penasaran.
"Aku sempat berhadapan dengannya sesaat setelah aku keluar dari markas One Ring. Dia adalah petarung sekaligus penembak yang hebat. Para mercenary memanggilnya dengan sebutan Black Rifleman. Soal nama aslinya, aku belum tahu," ungkap Marcell sembari menatap ke arah Listi yang tampak salah tingkah. "Oh, kamu temannya Ado?" ucapnya.
"Iiiya, saya temannya mas Ado. Dia yang mengajak saya," tukas Listi agak tergagap.
"Kamu bisa bertarung?" tanya Marcell.
Listi menggeleng, "Tapi saya bisa mengobati orang yang terluka atau sakit," tuturnya.
"Kita membutuhkan perawat. Untuk berjaga-jaga jika di antara kita ada yang sakit atau terluka, mbak Listi dapat menolong kita. Jadi, dengan begitu kita tidak perlu susah-susah mencari rumah sakit," kata Ado.
"Baguslah." Marcell menatap keluar jendela.
"Lalu bagaimana caramu selamat dari serangan Black Rifleman?" tanya Farha penasaran.
"Taktik, bro. Aku bukan petarung yang kuat. Aku membutuhkan taktik untuk kabur. Nah, dengan taktik itulah aku berhasil kabur," tukas Marcell sambil melihat ke arah kemunculan seorang laki-laki berpakaian gombrong serba kuning.
"Penyihir Kerajaan Mangga? Kita harus waspada!" Farha bangkit dari duduknya kemudian menghunus pedangnya.
Ado dan Listi pun turut bangun dari duduknya. Mereka juga turut bersiaga dengan kedatangan penyihir tidak diundang tersebut.
Tinggalkan sejenak Ado dan kawan-kawan yang sedang bersiap menyambut kedatangan penyihir berkostum serba kuning tersebut.
Saat ini tengah malam di istana Raja Mangga tepatnya di sebuah lorong yang memisahkan kamar-kamar yang digunakan tamu kerajaan untuk menginap.
Raja Odel yang sedang tidak mengenakan pakaian kebesaran terlihat sedang berjalan sedikit mengendap-endap. Pria bertubuh gempal serta memiliki brewok di wajah serta berambut panjang seleher itu sesekali menengok ke belakang.
Entah apa yang sedang dia lakukan. Ia terlihat sangat mencurigakan. Sebagai seorang raja, ia seharusnya tidak berperilaku demikian.
"Si mata keranjang itu harus enyah dari dunia ini. Dia adalah iblis yang akan menjatuhkanku dari tahta. Dia akan merebut kekuasaan milikku. Aku harus menghabisinya malam ini juga." Seperti itulah kata-kata di pikiran Raja Odel saat itu.
Rupanya ia sedang merencanakan pembunuhan terhadap pamannya. Ia beranggapan kalau Adipati Gerald akan menyingkirkannya dari tahta turun-temurun dari ayah dan kakeknya.
Tak lama terdengar suara pintu berderit pertanda ada seseorang yang membuka pintu. Rupanya pintu kamar tempat menginap Gerald dibuka dari dalam.
Saat pintu terbuka, keluarlah si penari seksi yang beberapa waktu lalu menarik perhatian Gerald. Apa yang telah dilakukan penari berpakaian seronok tersebut di kamar paman Raja Odel?
Penari tersebut melihat ke arah Raja Odel, kemudian menghampiri penguasa wilayah paling timur bekas Republik Unasoka itu.
"Ahh, Nenti. Bagaimana? Apa kau sudah kasih dia minumannya?" tanya Raja Odel setengah berbisik.
Nenti hanya memberi isyarat agar raja mengikutinya ke balkon tempat bersantai keluarga raja.
Penari cantik berpakaian mini serba hitam itu terus melenggang dengan lekuk tubuhnya yang membuat Raja Odel terus-terusan memandang.
Sesampainya di balkon, Raja Odel terkejut saat melihat Gerald sedang duduk di salah satu bangku bersama penyihir senior kerajaan yaitu Aiphawastu.
"Paman? Penyihir istana Aiphawastu? Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" tanya Raja Odel dibarengi perasaan masygul di hatinya yang tiada terkira.
Gerald hanya terkekeh, "Aku susah sekali tidur. Mungkin karena aku tidak suka menginap alias betah di rumah. Karena itulah aku bersantai di sini menunggu pagi. Kebetulan ada tetua penyihir kerajaan yang juga sedang tidak bisa tidur. Jadi aku ajaklah dia bersantai di sini," tuturnya kemudian melihat ke arah Nenti.
Raja Odel berdiri mematung. Ia merasa seperti sedang ditipu oleh orang-orang yang ada di tempat itu.
Tiba-tiba ia dikagetkan oleh sentuhan halus jari-jemari Nenti di wajahnya.
"Baginda, jika tidak dapat tidur juga, saya akan menemanimu di bilik peraduanmu. Apakah baginda mau?" ucap Nenti lembut.
Raja Odel terkejut dengan rayuan Nenti yang tiba-tiba itu. Ia semakin terkejut saat merasakan wajahnya mendadak terasa panas seperti sedang terbakar.
"Appa yyang ssudah kkau lakukan!" Raja Odel mengaduh kepanasan di wajahnya.
"Maafkan aku, keponakanku. Pamanmu ini bukan orang yang kerjanya berpangku tangan saat mendiang ayahanda berperang dengan Republik Unasoka. Aku waktu itu pemuda, dan aku juga turut angkat senjata demi mendirikan kerajaan ini. Tapi apa balasannya buatku? Ayahmu, alih-alih memberiku kesempatan memimpin negeri ini, malah memberikan tahta kepadamu yang tidak kompeten ini. Maka, atas dasar penghinaan ayahmu itu, aku rebut negeri ini. Mulai malam ini aku adalah raja di Kerajaan Mangga." Panjang lebar Gerald berbicara di hadapan Odel yang kini dalam posisi terjatuh bersimpuh.
Odel yang sedang sekarat tidak dapat berbicara apa-apa. Ia pun tamat di hadapan pamannya yang baru saja merebut kekuasaan dengan cara menghabisinya di tengah malam.