Pemuda berpakaian kemeja putih lengan panjang dan celana panjang hitam yang sebagiannya telah tersayat-sayat itu berdiri di tengah jalan kecil menuju rumah bordil tersebut. Pakaiannya juga sebagian dipenuhi bercak darah bekas pertarungan sebelum mencapai rumah bordil tersebut.
Tentu dia adalah Ado yang sedang berdiri membelakangi rumah bordil menghadap ke arah datangnya tiga orang pemburu yang mengejarnya.
"Itu dia. Kena kau!" ucap Joya saat menemukan targetnya. "Kau tidak akan bisa lari lagi!" teriaknya sambil menghunus pedangnya.
Joya berlari ke arah Ado sambil menebaskan pedangnya. Sedangkan Ado menatap dengan kedua matanya disipitkan ke arah datangnya musuh.
"Aku tidak akan lari. Akan kubuat kalian puas kalau begitu," tukas Ado seraya mengepalkan kedua tangannya.
Ia kemudian menyambut datangnya serangan dengan tinju kiri. Selanjutnya ia memasukkan serangan dengan tinju tangannya.
Bukkkkk,
Tinju kanan Ado menghantam gagang pedang Joya hingga terlepas. Joya mengaduh sembari mundur. Ia juga berusaha mengambil pedangnya.
Namun, pedang tersebut sudah keburu diambil Ado. Itu terlihat ketika Ado menggenggam pedang itu seraya menjepit bilahnya dengan dua jari tangan kiri.
"Ambil pedangmu. Kalau perlu kerahkan teman-temanmu," kata Ado sambil menatap dengan tatapan ejekan ke arah Joya.
"Sudah mau mati masih saja berani menghinaku. Kau akan rasakan akibatnya!" Joya menggeram sembari memberi isyarat teman-temannya agar membantunya.
Tanpa bicara, Ilsa berlari menyerang ke arah Ado dengan kecepatan penuh. Ia menghujamkan gada berdurinya ke arah Ado.
"Rasakan 'Kutukan Gada Berduri'!" teriaknya kencang.
Ilsa langsung memusatkan kekuatannya di gada andalannya tersebut. Ia merasa yakin serangannya dapat dengan mudah menjatuhkan Ado. Apalagi di belakang,Toga sudah bersiap dengan senapan yang terisi peluru.
Dorrrrr
Sebutir peluru mendesing ke arah Ado. Tentu saja Ado tidak akan mungkin bisa menghindar dari peluru tersebut jika ia belum pernah berlatih silat.
Di saat berbarengan dengan suara tembakan tersebut, Ado dengan cepat menyambar gada Ilsa yang mengarah kepadanya. Selanjutnya ia menjadikan perempuan tersebut sebagai tameng dari desingan peluru tersebut.
Tasssss
Peluru tersebut bersarang di punggung kiri perempuan pemburu tersebut hingga menjerit kesakitan. Ia pun jatuh telungkup dengan gadanya terlempar jauh melewati sasarannya.
Ado tidak hanya menjadikan Ilsa sebagai tameng hidup. Ia juga sukses mengiris kedua tangan Joya yang sedang berusaha merebut pedang di tangannya.
Joya menjerit kemudian mundur sambil melihat ke arah kedua tangannya yang terluka sayat dan berdarah.
Ketika melihat kedua rekannya dipecundangi Ado, Toga kembali menembakkan senapannya ke arah Ado. Seperti biasa Ado berhasil menghindar. Ia bahkan melemparkan pedang seperti sedang melempar lembing ke arah Toga.
Pedang tersebut menghujam cepat, menembus dada pemburu dengan senapan tersebut tembus ke punggung. Toga pun menjerit kesakitan kemudian roboh ke samping kiri dalam kondisi tertancap pedang dan berdarah-darah.
Dua pemburu telah roboh bersimbah darah. Kini Joya harus menghadapi Ado satu lawan satu tanpa pedang.
Ado menatap tajam ke arah Joya tanpa ekspresi. "Kau pilih saja. Mau seperti mereka atau pergi tinggalkan aku. Tapi sepertinya kau lebih suka pilihan pertama," ucapnya.
Tanpa menyahut, Joya menerjang ke arah Ado sambil menghunus pisau yang merupakan senjata cadangannya. Bilah pisau menghujam deras ke arah Ado.
Namun Ado tidak menghindari serangan itu. Ia justru menyambutnya dengan jepitan dua jari tangan kanan. Ajaib, pisau dapat ia tangkap hanya dengan dua jarinya.
Setelah itu ia memutarkan jepitannya hingga berimbas pada tangan Joya yang menggenggam gagang pisau tersebut.
Krekkkk
"Aaaaahhhhh..." Joya berteriak kesakitan saat tulang tangannya remuk akibat dipilin oleh Ado melalui pisau yang dipegangnya.
Ado kemudian menendang dada Joya hingga pemburu tersebut terjengkang dua meter ke belakang dan menabrak sebatang pohon. Tubuh Joya pun rubuh kemudian tak bergerak lagi.
Ado pun selesai menghajar tiga orang pemburu yang mengincar nyawanya. Kini saatnya baginya untuk pergi mencari Marcell.
Namun langkahnya tertahan saat seseorang di belakangnya berseru.
"Maaf aku berubah pikiran. Aku ingin ikut denganmu, mas. Maafkan aku yang meragukanmu ini." Itu adalah Listi yang datang tergopoh-gopoh sambil menenteng sebuah tas ransel yang gembung karena terisi penuh.
Sementara itu di dalam ruang rahasia di mana Marcell sedang diinterogasi Rojo, tampak pemuda yang hanya bercelana dalam berwarna biru dan terikat di kursi besi itu sedang menatap penuh ejekan ke arah Rojo.
"Kau sudah puas? Siksaan apalagi yang akan kau timpakan kepadaku? Besi panas? Lem tikus? Atau air keras?" Marcell seolah menantang Rojo untuk menyiksanya lebih pedih.
Rojo menggeram marah. Ia sangat bernafsu untuk menghabisi Marcell secara perlahan melalui penyiksaan-penyiksaan yang sedang ia rencanakan di dalam benaknya.
"Kau akan mati dalam keadaan tersiksa! Apalagi ayahmu sudah memberiku kebebasan untuk membunuhmu dengan cara apapun!" kata Rojo dengan marah.
Marcell tercengang mendengar perkataan Rojo. Ia tidak merasa heran jika ayahnya sudah sangat jauh. Namun itu dirasanya benar-benar sangat buruk.
"Oh, ya? Aku juga memberi kebebasan pada diriku sendiri untuk memenggal lehernya. Dia bukan ayahku kurasa. Dia hanya calon mayat tanpa kepala," tukas Marcell membuat Rojo melotot.
"Bodo amat dengan ayahmu. Sekarang yang terpenting aku bisa puas menyiksamu sampai mati. Rasakan siksaanku yang pedih ini!" Rojo mengeluarkan sebuah alat berbentuk kotak memanjang dari tas hitam di belakangnya.
Rupanya itu adalah alat kejut listrik di mana alat itu bisa menyetrum targetnya sampai lemas tidak berdaya.
Trrrr, trrrr
Alat tersebut mengeluarkan bunyi saat Rojo mengaktifkannya.
Sedangkan Marcell tampak menggelengkan kepalanya. Kedua tangannya masih berada di belakang dengan tali kuat yang mengikatnya. Mungkin ia akan tamat jika tidak bisa melepaskan diri dari ikatan ketat tersebut.
Rojo yang sudah mengaktifkan alat kejut listrik itu mendekatkannya pada perut pemuda yang sedang terikat itu.
Sekitar dua senti lagi alat tersebut mendekati tubuh Marcell, mendadak pemuda itu menangkap tangan Rojo.
Belum selesai kekagetan Rojo, Marcell dengan cepat menyetrumnya dengan mendorong kuat-kuat benda tersebut ke wajah Rojo.
"Aaahhhh....!" Rojo berteriak keras ketika setrum listrik mengalir ke seluruh badannya. Ia kelojotan hingga tidak sadarkan diri.
Sedangkan Marcell tampak berdiri dari kursi di mana sebelumnya ia diikat.
"Saatnya membunuh," ucapnya seraya mengambil tali yang sebelumnya mengikatnya.