Chereads / Berlayar ke Pulau Harta / Chapter 9 - Butuh Pendukung [Arc Terigu Village Bagian 4]

Chapter 9 - Butuh Pendukung [Arc Terigu Village Bagian 4]

Di suatu sudut jalan, Ado terlihat berlari sembari memeganginya dadanya yang tampak terluka. Lukanya cukup besar karena darah yang menetes cukup banyak.

"Aku harus menemukan tempat bersembunyi untuk sementara. Jika tidak, upayaku bersama Marcell akan percuma," gumamnya sambil celingukan kemudian memasuki gang sempit di sebelah kiri.

Setelah Ado menghilang di balik gang tersebut, beberapa orang berpakaian serba hijau berdatangan. Mereka membawa senjata yang berbeda-beda seperti pedang, gada, dan senapan. Mereka tampaknya adalah para pemburu yang sedang mengejar Ado.

Mereka berhenti di depan gang kecil itu. Salah seorang berucap dengan nada menggerutu.

"Kita kehilangan dia! Bos pasti akan marah. Padahal bos sendiri yang berhasil melukai orang itu," kata seorang yang berpedang.

"Kita terlalu lamban, Joya. Pemuda bernama Ado itu sangat cepat larinya," tukas pemburu perempuan bersenjatakan gada besi berduri sambil mengedarkan pandangannya.

"Kau perempuan harusnya lebih lincah dan cepat. Kamu kan tidak memiliki kemaluan yang menghambat seperti kami, Ilsa," kata pemburu bersenjatakan senapan klasik seperti Lee Enfield.

"Hei, kau pikir gada ini tidak berat, hah!" Ilsa melotot ke arah rekannya tersebut. "Toga, kau itu penembak jitu tapi masa nggak becus menembak?"

Toga hanya terkekeh, "Aku kehabisan peluru, bodoh. Dia terlalu keras untuk kutembaki. Buktinya ia tidak terluka sama sekali oleh tembakanku," tukas Toga.

"Aku akan menebasnya sampai kepalanya menggelinding." Joya memegang gagang pedang kemudian berlari ke arah gang kecil di mana sebelumnya Ado lewat.

Di tempat lain, di sebuah ruangan berpenerangan remang-remang. Di sana Rojo dan Karjo sedang menginterogasi orang yang selama ini mereka buru yaitu Marcell.

Mereka berdua telah sukses menangkap Marcell tadi sore. Hal itu tidak lepas dari bantuan seorang penyihir yang sengaja didatangkan dari istana Raja Odel.

Marcell duduk terikat di sebuah kursi dalam keadaan setengah telanjang. Beberapa luka sayatan terlihat di tubuh hingga wajahnya, meneteskan darah. Ia rupanya telah mengalami penyiksaan dari orang yang telah lama mengincarnya.

"Akhirnya tikus ini tertangkap juga. Aku sudah lama menantikan ini. Aku ingin menyiksamu sampai puas, dasar tikus pengganggu!" Rojo menatap bengis ke arah Marcell yang sudah tidak mungkin dapat melawan.

Marcell tidak menyahut. Ia hanya tersenyum sinis kemudian meludah.

"Kau tidak takut dengan penyiksaan yang lebih pedih?" ujar Karjo yang tampak memperhatikan Marcell kemudian melanjutkan kata-katanya. "Kau tidak seperti Edgard, anak muda. Kau sangat perhatian terhadap orang lemah. Sangat berbanding terbalik dengan ayahmu."

Rojo mengerutkan kening saat mendengar perkataan Karjo. Kata-kata yang diucapkan temannya tersebut seolah-olah menyiratkan ketidaksukaannya pada petinggi eksekutif One Ring itu.

"Hati-hati bicara, Karjo. Kau akan dicap pembangkang karena ucapanmu itu," kata Rojo sengit sambil menunjuk ke arah Karjo.

"Tenang saja, Rojo. Aku tidak akan terlalu jauh. Aah, aku lebih suka menikmati kopiku di ruanganku daripada menyaksikan penyiksaan yang membosankan itu," ucap Karjo seraya berlalu meninggalkan Rojo yang sedang mengalihkan perhatian ke arah Marcell.

Setelah berada di luar ruangan, Karjo mengangkat tangan kanan di depan perut sambil melihat sebilah pisau kecil di tangannya. Ia terkekeh kemudian berlalu.

Kembali pada Ado yang kini sedang berada di dalam sebuah rumah tersembunyi di perut bukit. Rumah tersebut disinyalir adalah rumah bordil mengingat banyaknya perempuan berpakaian mini berseliweran di tempat itu.

"Hai, mau kencan denganku? Seribu pendon saja, bang." Seorang perempuan berpakaian seksi berwajah tidak cantik-cantik amat menghampiri Ado yang sedang berdiri sambil celingukan.

"Maaf, saya tidak berminat, mbak. Tapi saya akan membayar mbaknya asal mau merawat luka-luka saya," tukas Ado disambut gelengan kepala mbak-mbak itu.

"Saya mohon, mbak. Saya hanya ingin mbak menolong saya. Saya sedang terluka parah, mbak," Ado menatap ke arah si mbak tersebut dengan tatapan memohon.

Si mbaknya pun mengangguk setuju. Ia bersedia mengobati luka-luka yang diderita. Ado.

"Aku pernah mendengar di luar sana ada dua orang yang sering menyerang fasilitas milik bangsawan Rojo. Bahkan One Ring menjanjikan imbalan bagi yang bisa menangkap dua orang itu. Tapi di tempat ini tidak ada pengumuman apapun termasuk pamflet atau apalah yang mengumumkan buronan kelompok para bangsawan itu," ujar si mbak sembari menempelkan perban di dada Ado yang terluka.

Ado meringis kesakitan sembari meremas kain yang digumpalkannya di tangan kanan.

"Namaku Listi. Aku sudah lama menjalani hidup yang kotor ini. Ini aku lakukan karena susahnya mencari kerja di saat dunia dikuasai orang-orang serakah," kata si mbak memperkenalkan diri.

"Kotor atau tidak, itu tergantung cara pandang orang. Aaahh," tukas Ado sembari mengaduh. "Namaku Ado. Michael Red adalah margaku. Mungkin mbak pernah mendengar nama marga itu?" lanjutnya.

"Michael Red? Aku pernah mendengar nama seseorang yang menggunakan marga itu. Kalau tidak salah Safran Michael Red. Cuma dia itu siapa, saya tidak tahu," kata Listi membuat Ado menggernyitkan kening.

"Safran? Ayahku bernama Ridwan Michael Red. Aku tidak pernah bertemu dengannya sejak kecil. Aku juga belum pernah bertemu ibuku, bahkan tahu namanya pun tidak," tutur Ado seraya tampak seperti sedang berpikir.

Listi terkekeh, "Kita senasib, mas. Aku lebih malang malahan. Aku yatim piatu. Aku besar di panti asuhan. Aku hidup di rumah bordil. Hidupku benar-benar buruk," keluhnya.

"Jangan berputus asa, mbak Listi. Jika mbak ingin menjalani hidup yang lebih baik, ikutlah dengan saya. Namun saya akan memberi tahu mbak mengenai rintangan apa yang akan mbak alami jika ikut bersama saya," kata Ado seraya menjelaskan segala hal yang tersirat di benaknya.

Beberapa saat kemudian setelah Ado menjelaskan.

"Pemberontakan? Jadi kau yang mereka buru?" Ado mengangguk setelah ditanya seperti itu oleh Listi.

"Ikut dengan saya memang tidak akan mudah. Saya tidak akan memaksa jika mbak tidak mau," ucap Ado.

Listi terlihat berpikir. Ia sepertinya merasa gamang untuk menentukan pilihan. Di satu sisi ia ingin keluar dari dunia gelap yang selama ini mengungkungnya. Di sisi lain ia merasa takut jika harus bergabung dengan Ado mengingat risikonya yang tidak kecil.

"Mas Ado, saya memang pengen ikut tapi saya takut dengan para bangsawan itu. Saya mungkin tetap akan di sini sampai keadaan aman, baru saya siap keluar dari sini." Listi pun memutuskan meski dengan ragu-ragu.

"Tidak apa-apa, mbak. Itu pilihan mbak. Saya juga tidak akan menyalahkan mbak. Mungkin di luar sana ada yang tertarik dengan visi misi saya," tukas Ado seraya bangkit dari berbaringnya. "Sekarang yang lebih penting, saya harus menghadapi mereka yang telah sampai di sini," lanjutnya seraya memberikan beberapa lembar uang kepada Listi.