Chereads / Berlayar ke Pulau Harta / Chapter 6 - Bangsawan Diktator di Desa Terigu [Arc Terigu Village Bagian 1]

Chapter 6 - Bangsawan Diktator di Desa Terigu [Arc Terigu Village Bagian 1]

Desa Terigu jika dilihat sekilas seperti sebuah desa yang aman tenteram dengan penduduknya yang beraktifitas normal. Namun aktifitas normal hanya terjadi di wilayah pinggiran atau yang berdekatan dengan desa tetangga, Desa Wijen.

Nyatanya, jika terus memasuki desa hingga ke pusat, maka akan ditemukan pemandangan yang suram, di mana orang kaya sangat gemar menindas orang miskin. Bahkan terdapat kelompok orang kaya atau bangsawan yang gemar memperbudak orang lain terutama bekas tawanan perang Kerajaan Mangga.

Kelompok bangsawan yang suka memperbudak sesama manusia disebut sebagai kelompok One Ring (Satu Cincin). Di dalamnya kedua orang tua Marcell menjadi dua dari tujuh pelaksana eksekutifnya.

Kelompok One Ring kerap membeli para budak dari istana Kerajaan Mangga di mana Raja Odelohoed juga gemar memperbudak tawanannya. Bahkan Raja Odel memiliki budak yang sangat mahal karena merupakan pangeran dari kerajaan yang ditaklukannya.

Kelompok One Ring sering sekali menebar teror di dalam desa. Sudah dapat dipastikan para warga desa yang memiliki taraf ekonomi yang lemah sering menjadi target penindasan para One Ring tersebut.

Suatu siang di jalanan tengah desa, tampak sepasang suami istri yang sudah sepuh berlutut di hadapan dua orang pria berpakaian serba hitam dengan lambang cincin di dada kirinya. Mereka sudah pasti adalah anggota kelompok One Ring yang sedang menindas warga yang ditemuinya.

"Kalau kamu mampu membayar hutang-hutangmu, aku pun tidak akan membuat kalian berlutut di jalan seperti ini. Tapi karena kalian gagal membayar hutang, aku terpaksa membawa kalian ke perkebunanku. Kalian akan bekerja tanpa dibayar di kebun koliku," ucap salah seorang pria One Ring.

"Saya mohon beri waktu dua hari saja. Saya akan segera melunasi hutang-hutang saya." Si pria tua tampak memelas tanpa berani menatap wajah pria One Ring itu.

"Apa buktinya setelah dua hari kau akan membayar hutangmu, hah!" bentak pria itu dengan kasar sambil melotot ke arah pria tua.

"Jangan kasar-kasar, Rojo. Nanti mata-mata Sanjou mendengarmu," kata teman pria itu membuat pria bernama Rojo tersebut mendelik ke arahnya.

"Aku tidak takut pada Sanjou. Jangan meremehkanku, hah!" sentak Rojo disambut kekehan temannya. "Heh, kakek tua, nenek tua! Aku tidak akan membuang-buang waktu dengan mengabulkan permohonan tololmu! Kalian akan aku pekerjakan di perkebunan koli. Kalian harus menurut jika ingin hutang-hutang kalian lunas!" bentaknya ke arah pasangan pria dan wanita tua itu.

Meski sudah memohon-mohon, pasangan suami istri yang sudah sepuh itu tetap dibawa paksa Rojo dan temannya, Karjo. Mereka melecuti pasutri yang seharusnya mereka segani.

Di salah satu sudut jalan, Marcell melihat kejadian tersebut seraya membatin, "Ayahku lebih buruk dari mereka. Ayah punya pertambangan batu bara manual. Para budak dipaksa bekerja tanpa alat yang memadai. Aku tidak bisa membiarkan itu. Aku harus meminta bantuan Ado dan kakek pengemis untuk menghentikan perbudakan ini. Aku yakin mereka berdua mau membantuku."

Beberapa saat kemudian di pondok tempat tinggal Ado.

Ado dan kakek pengemis tampak menggeleng-gelengkan kepala berulangkali setelah Marcel mengungkapkan keresahannya.

"Jadi kalian tidak mau membantuku?" tanya Marcell dengan gusar sambil menatap gemas ke arah Ado dan kakek pengemis.

"Tidak," balas Ado dan kakek pengemis serempak.

"Kalian pecinta keadilan tapi kenapa tidak mau membantuku mewujudkan keadilan itu!" Marcell menaikkan nada bicaranya.

"Ganti dulu bajumu. Kau seorang pemanah, bukan?" ucap Ado tanpa melihat ke arah Marcell.

"Dasar sialan! Apa urusannya baju dengan pemanah?" umpat Marcell seraya berlalu ke kamar kecil tempat ia biasa menaruh pakaian dan perlengkapan.

"Keadilan itu langka, cucuku. Kamu ingin mewujudkan keadilan? Mulailah dari dirimu sendiri. Berlaku adillah terhadap dirimu sampai kamu yakin itu benar-benar terwujud. Nah, setelah itu barulah kau berpikir soal keadilan bagi orang lain. Jangan membunuh dirimu sendiri demi keadilan yang belum tentu dapat terwujud," papar kakek pengemis sembari melihat ke arah Marcell. "Untuk mewujudkan keadilan tidak bisa hanya sekedar berteriak-teriak soal keadilan. Harus ada hal lebih yang kau perbuat untuk mewujudkannya."

Marcell tercenung mendengar kata-kata kakek pengemis.

"Tapi aku tetap akan memanah biji mata orang itu. Dia sudah tidak menaruh hormat pada orang tua," ucap Marcell sembari menaruh kantung panah di punggungnya.

"Mungkin waktu itu matamu yang sudah kau panah saat kau hina orang tua ini," ucap kakek pengemis membuat Marcell tercengang.

"Kakek jangan dendaman begitu, ah. Sudah tua, nggak boleh dendam," ucap Ado membuat kakek pengemis melotot ke arahnya.

"Hehehe, kakek bukan dendam. Kakek hanya ingin memberikan gambaran mengenai hukuman bagi orang yang suka menghina orang tua," tukas kakek pengemis.

Marcell tampak terdiam. Ia kemudian berlalu sambil berbicara, "Aku akan berburu ayam babi. Jika aku kembali, berarti aku tidak terbunuh."

"Hei, tunggu dulu," ucap Ado seraya bangkit dari duduk kemudian berlari mengikuti Marcell.