Menjelang malam, aku keluar dari kamar dengan ponsel di tangan dan Headphone yang menggantung di leher. Kedua mataku sayu, bahkan beberapa kali menguap. Tidur satu jam cukup membuat kepalaku lebih segar dari sebelumnya.
Mencoba memusatkan perhatianku ke sekeliling, aku berjalan ke kamar mandi. Mengambil air dan sabun muka. Hari ini Bibi Ame pulang lebih lambat dari biasanya. Jadi aku berniat menunggunya di ruang tv sekaligus makan malam.
Ku ambil handuk dari jemuran dan mengelap wajah. Merenggangkan badan sejenak, aku melanjutkan langkah ke dapur, berniat mencuci piring dan memasak nasi untuk besok pagi.
Tidak sampai setengah jam lamanya, aku menyelesaikan kerjaan rumah harianku. Ku taruh sapu ke sudut dinding dan mengambil piring. Hari ini rasanya tidak terlalu nafsu makan, jadi kukira buah naga dan segelas susu bisa mengenyangkan untuk sekarang.
Setelah mematikan lampu dapur, aku menenteng piring yang sudah berisi potongan buah dan segelas susu hangat. Ku letakkan semuanya di atas meja, lalu mengambil remote tv.
Satu tanganku meraih ponsel di kantong, dan menemukan pesan whatsapp dari Intan.

Kuletakkan benda teknologi itu di atas meja dan menyalakan tv, mencari-cari siaran yang menarik perhatian. Dan serial drama korea Hotel Del Luna menjadi pilihanku. Bukan karena suka, Intan senang sekali merecokikm-ku dengan hobi-nya. Entah itu novel, film atau musik.
Menaruh kembali remote ke samping gelas, aku meraih piring buah ke pangkuan dan bersandar di bantalan punggung sofa. Kedua kakiku kuangkat terlipat, mencoba fokus dengan layar.
Baru beberapa suapan ke mulut, aku menegang. Sofa panjang yang ku duduki terasa berat sebelah, seperti seseorang sedang duduk di sampingku. Aku meneguk ludah, rasanya sulit menjauhkan garpu yang masih tergantung di mulutku.
Drrtt...
Drrtt..
Memejamkan mata sebentar, aku mencoba rileks. Ku taruh garpu ke piring lagi dan melirik ponselku yang menyala. Berkedip sebentar kemudian diam. Terus begitu sampai ku putuskan mengambilnya.
Panggilan dari aplikasi hijau dengan nomor asing membuat keningku berkerut. Wallpaper si penelepon juga aneh. Seorang laki-laki shirtless, duduk di atas jendela dan diselimuti kegelapan. Aku meneguk ludah lagi, merasakan sesuatu yang hangat di kulit wajah.
Anj*r untung remang-remang. Oke Ruby, fokus!
Mencoba berpikir jernih, pikiranku menimbang-nimbang. Kedua mataku memperhatikan seksama untaian nomor di layar .
Ini mah nomor sial.
Perpaduan angka 13 dan 6, dibilang unik pun gak mungkin. Sekali lagi aku meneguk ludah dan memutuskan mengangkat panggilan asing itu.
"Halo?"
"....."
Tidak ada sahutan. Yang membalasku hanya suara kosong.

"Halo?" Sekali lagi kucoba bersuara, menajamkan telingaku mungkin-mungkin ada sahutan di ujung sana. Berpikir mungkin me loud-speaker adalah ide bagus, aku pun menyalakannya.
"Ruby.."
Suara itu begitu dalam, bass layaknya nada suara laki-laki biasanya. Aku menarik oksigen pelan kemudian melepaskan semua karbondioksida dari paru-paruku. Sampai kemudian, aku merasakan tekanan di sebelahku berkurang.
Mataku membulat. Baru sadar dengan sesuatu yang janggal.
"Ruby.."
Suara di panggilan itu berseru sekali lagi. Terasa lebih dekat, bahkan seperti berbisik pas di telingaku. Kulempar ponsel itu ke ujung sofa, menaruh piring ke atas meja dan mengambil langkah cepat ke kamarku.
Buru-buru ku kunci kamar dan hampir melompat ke kasur, menyembunyikan diri di balik selimut tebal. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Mulutku sibuk berkomat-kamit, menggumamkan semua jenis doa yang kutahu, berharap selain sesuatu itu pergi, bisa menenangkan pikiranku.
Tok..Tok...Tok..
" Ruby! Ini bibi, buka pintunya."
Gumamanku berhenti. Kubuka mataku dan tanpa sadar menggigit bibir bawahku. Aku kembali menajamkan pendengaranku, memastikan itu suara milik Bibi Ame.
"Ruby!"
Perlahan aku bangkit dan berjalan keluar kamar dengan selimut masih menutupiku. Begitu sampai di ruang tamu, ku tarik gorden coklat sedikit, mengintip memastikan itu memang Bibi Ame.
Disana berdiri seorang wanita setengah baya dengan baju semi formal. Di lengannya, tersampir tas tangan abu-abu. Itu Bibi Ame.
Menarik napas lega, buru-buru aku memutar kunci dan membuka pintu.
Bibi Ame mengangkat satu alisnya, bingung dengan kondisiku yang ditutupi selimut.
"Kau ketiduran?" Tanyanya sembari melangkah masuk setelah menanggalkan sepatu wedges hitam-nya dari kakinya.
Aku menggeleng, " Tadi sedang nonton drama,"bohongku. Bibi Ame mana bakal percaya kalau kuceritakan kejadian tadi.
Keningnya berkerut, bingung dengan kebiasaanku yang tidak biasanya. "Kau nonton drama? Seingatku hanya serial disney yang kau suka,"kekehnya.
"Penasaran saja. Intan dan temanku yang lainnya sering membicarakannya " jelasku. Ku tutup lagi pintu kayu itu dan menguncinya dua kali.
"Drama korea kah? Judulnya apa?"tanya Bibi Ame. Dia menaruh tas tangannya ke atas sofa dan duduk bersandar. Satu tanganya meraih remote lalu menyalakan tv.
"Hotel Del Luna." Jawabku, mengambil tempat di sebelahnya dan meraih ponselku di ujung sofa.
"Itu semi-horror romance kan? Bukannya kau gak suka horror?"
Aku mencibir diam-diam. Sialan Intan. Dia bilang hanya romance umum. Aku mengeluarkan diri dari balik selimut lalu berdiri dan pergi ke dapur mengambil segelas air.
"Ruby."
"Ya Bibi Ame?"
"Ponselmu berkedip-kedip nih. Ada yang nelpon."
Aku terdiam sebentar. Tidak menyahut lagi ucapannya. Kepalaku terasa berat, takut-takut kejadian tadi terulang lagi.
"Ruby?"
"Iya sebentar." Buru-buru aku kembali ke ruang tv dengan gelas penuh air. Bibi Ame bangun dari sofa dan pergi ke kamarnya. "Bibi mau ganti baju dulu."
Aku mengangguk dan gelas di tangan kutaruh di atas meja sebelum mengambil ponselku.
Nomor asing itu lagi
Aku menatap kosong ponsel hitam itu, sama sekali tidak ada niat mengangkatnya. Sekelumit di pikiran menyuruhku me-reject kalau perlu blockir. Aku menghela napas pendek, menaruh lagi ponsel itu ke atas meja, membiarkannya menyala-mati-menyala-mati lagi.
Bodo amat. Pasti orang iseng.
Bibi Ame kembali dari kamarnya, kembali duduk di sampingku yang berkutat dengan layar tv. Pandangan mata-nya menangkap panggilan yang tidak kunjung kujawab.
"Kenapa tidak diangkat? Itu pasti teman-mu yang sedang kesusahan."
"Itu nomor iseng. Tadi sudah coba kujawab."
"Dan?" Ia bersedekap dada, tidak melepas pandangan mata-nya ke ponselku.
"Hanya manggil namaku doang." Jawabku sekenanya.
Aku akhirnya mengambil lagi ponsel itu. "Kalau bibi gak percaya, ini ku tunjukkan." Ku geser notif hijau dan menghidupkan speaker panggilannya.
"Halo?"
"..."
Bibi Ame menatapku dan ponsel itu bergantian. "Halo?" Sekali lagi ku coba bersuara.
".."
Kan beneren orang iseng ini
Aku melirik Bibi Ame yang sudah tersenyum geli. "Kau yakin tidak kenal pemilik nomor-nya? Kulihat dari wallpaper-nya, dia laki-laki hampir seumuranmu. Bibi pikir mungkin dia malu menjawabmu Ruby."
Heuh, classic reason
Aku memutar kedua bola mata, lalu mematikan panggilan itu. "Tetap aja iseng namanya." -dan bibi tidak tahu saja kejadian hari ini.
Pikiranku kembali terulang dari sore di sekolah tadi, sampai waktu ini. Ada satu benak di kepala. Rasanya semua bermula ketika aku membahas Kak Hazel ke sahabat-ku itu.
Bibi Ame tertawa, dan suaranya sukses membuyarkan lamunanku. Dia mengacak puncak kepalaku dan berseru, "Sepertinya kau punya secret admirer, sayang."
Ha. Mustahil sekali.
Mengibaskan satu tanganku ke dirinya, aku mencibir. "Dua tahun di SMA mana pernah aku ngobrol dekat dengan laki-laki, Bibi Ame. Kerjaanku paling duduk di paling sudut perpustakaan, dan ngobrol dengan Intan."
Bibi Ame hanya mengangkat bahu. Ia menengok jam dinding yang sudah di angka sembilan. "Sudah jam tidur. Aku sudah lelah dan mengantuk. Kau periksa semua pintu dan jendela sebelum ke kamar yah." Ia bangun lalu pergi ke kamar dan menguncinya
Lebih baik ku blokir aja ni nomor dan nonton youtube.
***
Aku membuka mataku, terjaga karena suara dari ponsel di atas nakas bergetar -lagi. Mengerang kesal, mau tidak mau aku mencoba bangun dan melirik jam weker yang tepat bersebelahan dengan ponselku.
Orang gila mana yang nelpon jam 2 pagi?
Menghela napas panjang, ku ambil benda teknologi itu dengan kedua mata hampir tertutup. Seingatku, mode panggilannya sudah ku ubah jadi silent.
+62-819-1313-0666 is calling
Kedua mataku terbuka lebar dan terpaku.
Bukannya tadi sudah ku blokir?
Ponsel itu terus bergetar, menunggu untuk diangkat. Tapi dengan sengaja, aku menggeser notif merah dan buru-buru memblokir-nya lagi.
Kutaruh ponsel itu kembali ke atas nakas dan berbaring sembari menarik selimut sampai leher.
Mungkin tadi aku keasikan nonton jadi lupa blokir...pasti begitu.
Gelombang kantuk pelan-pelan menarik kesadaranku. Samar-samar aku merasa ada sebuah tekanan di kasur, tepat di belakang punggungku.
Aku baru tahu, kalau udah ingin tidur bukan kesadaran aja yang ditarik. Tapi tubuh juga.
Seperti tersadar dengan ungkapan di pikiranku, aku membuka mataku lebar-lebar.
Kucoba menggerakan tubuh dan berniat menoleh, aku merasa ada beban yang menahan. Sekali lagi aku mencoba bergerak, menggeliat membebaskan diri dari apapun itu.
Tapi bukannya terlepas, beban itu menggenggamku.
Aku mencoba mengontrol cara bernapasku. Memikirkan yang baik-baik, mengacuhkan beban itu dan kembali tidur.
Sampai kemudian, kurasakan si beban mendekat, memberi udara hangat di pangkal leher sampai sukses membuatku lagi-lagi terjaga dan bergerak dengan tenaga yang ada, menjauh sampai menjatuhkan tubuhku dari kasur.
Fix, ada penguntit mesum di kamarku!
****
Pagi pun tiba dan aku membuka mataku, terjaga dengan kondisi berbaring di lantai demi kelangsungan keamanan. Mana berani aku kembali ke tempat tidur dan rileks. Bahkan sampai jam 3, pikiranku menyuruh tetap terjaga takut-takut apapun itu mendekat.
Tapi yah emang aku-nya yang gak kuat sama ngantuk. Kedua mataku menyerah. Untung saja bantal dan selimut sempat kutarik turun. Kesadaranku pun menyambut rasa kantuk itu. Sudah bodo amat dengan pemilik beban tadi.
Aku mengucek mataku, mencoba menerima silau mentari yang mengintip dari sela-sela gorden. Sepertinya langit sudah kehabisan air dan memutuskan membiarkan matahari yang kali ini bekerja.
Baguslah, semoga nanti sore tidak hujan.
"Ruby!"
Aku terkesiap kaget. Menoleh ke pemilik suara yang berdiri di depan pintu kamarku dan bersedekap dada .
Bibi Ame dengan spatula di tangannya dan raut wajah kesal sama sekali tidak baik. Dia memang membebaskanku melakukan apa saja, bahkan mengurung diri di kamar seharian, asalkan sudah bersihkan rumah.
"Mentang-mentang hari minggu, seenaknya bangun jam segini. Kau mau bibi siram?"
Aku menarik senyum sepolos mungkin dan buru-buru bangun. "Aku lupa menyalakan alarm,"ucapku. Kuangkat kembali bantal dan selimut lalu bangun sebelum berjalan ke arahnya.
"Kau semalaman tidur di lantai? Kenapa dengan kasurmu?" Ia tidak memberiku akses keluar, tetap di tempatnya.
"Ada kecoa di kasur. Jadi daripada keselamatanku tidak aman, cuman lantai pilihan satu-satunya." Jawabku dan mengangkat bahu.
Bibi Ame memandangku curiga. Ia mengerutkan keningnya "Lantai itu tempatnya kecoa lewat. Dan kau memilih tidur di tempat yang lebih tidak aman?"
Aku tidak tahu mana lebih mending. Kecoa singgah di kasur atau penguntit mesum yang meniup lehermu.
Aku menggosok kepalaku bagian belakang, memamerkan senyum dibuat-buat.
"Ya sudah. Cuci muka dan gosok gigi sana. Bau-mu terlalu asam tapi piring kotor sudah menunggu. Aku sudah memasak sarapan dan makan siang."
"Makan siang? Bibi mau pergi?"
Dia menghela napas panjang, mengangkat spatula ke depan wajahku dan berseru bahaya, "Kau ini suka sekali bibi gak ada di rumah ya? Ini hari berkebun. Sekarang pergi ke kamar mandi atau sendok besar ini mendarat di wajahmu."
Buru-buru aku mengangguk dan segera menjauhkan tubuhku dari senjata wanita itu ke kamar mandi.
***