Chereads / KALOPSIA / Chapter 7 - Bandul Laut

Chapter 7 - Bandul Laut

Benda itu cantik, tapi misterius.

.

.

"Hentikan omong kosong itu lagi, Ruby! Tidak ada gedoran dari gudang sama sekali."

Alice menepuk pipiku. Dia ikut duduk, menatapku lurus. Sedangkan Intan tetap membisu ketika ikut mendengar cerita tadi. Pandangan matanya berpindah dari area gedung kelas duabelas dan diriku.

"Bisa saja kau mendengar dari ruangan lain. Lokasi sana kan gak kedap suara,"ucapnya lagi.

Aku menunduk. Menumpu kepala di kedua lutut, memejamkan mata mengingat kejadian tadi.

Saat ini, kelasku baru selesai. Pak Galih, sang guru olahraga memutuskan memberi satu jam kelasnya sebelum memulai pelajaran lain. Mungkin karena jatah istirahat pertama dipakai mapel dia, jadi-nya kosong sekarang.

"Apa kalian kira, Rahma dan lain menganggapku gila sekarang?"keluhku, mengubah arah pembicaraan. Memikirkan kejadian tadi hanya menambah rasa pening. Belum Alice terus membicarannya.

"Nunjuk ke gudang dengan wajah pucat dan hampir berteriak, kau harapkan apa?" Decak Alice, "Aku ke kantin dulu. Lapar."

Ia bangun dan melengos pergi, menyusul beberapa anak kelas. Kulihat mereka menatapku sesaat, sebelum berbisik ke Alice yang mendekati mereka.

Iya, teruslah kalian bergibah

Intan ikut menatap kepergian gerombolan Alice, lalu ikut duduk di sebelahku.

"Biarkan saja. Tu anak kadang susah ngerem mulutnya."

"Aku gak bakal kaget kalau jadi bahan gosip sekelas nanti,"kekehku. "Ngomong-ngomong, kau melamun tadi kenapa?"

Intan memandangku tak yakin. Beberapa kali bola mata-nya bergerak-gerak, menghindari menatapku.

"Hoi! Kau kenapa?"

"Kau..apa kau melihat sesuatu keluar dari gudang setelah gedoran itu?" tanyanya tiba-tiba.

Keningku berkerut, "Maksudmu?"

Intan memalingkan muka, diam sejenak. "Kau tahu aku bisa melihat 'mereka' bukan?"

Kali ini aku yang membisu. Maksud melihat 'mereka' tentu bukan sesuatu dari dunia kami. Cewek disebelahku ini memiliki sesuatu.

Dan biasanya orang-orang menyebut mereka yang memiliki hal unik, indigo.

Meneguk ludah, aku mengangguk. Sebenarnya bahasan beginian, aku tak suka. Ketika lainnya berkumpul dan saling berbagi kisah gelap, aku menjauh. Memilih mendengar music westlife dan membaca beberapa biografi filsuf.

Kalian serius mengorbankan perasaan jadi takut dan sensitive, untuk beberapa cerita fiktif?

Coba bayangkan, habis saling bercerita dan kembali pulang, bagaimana kalau sosok yang baru kalian bicarakan malah menampakkan diri di mimpi? Terus mimpinya jadi kenyataan. Terus sosoknya ngikut terus sampai akhir hayat.

Masih berpikir membuka forum horror?

Aku menunduk, menjernihkan pikiran berseliweran, , "Apa yang kau lihat memangnya?"

"Cowok. Serba hijau dengan masker hitam," jawab Intan. "Aku kira dia orang kemarin. Tapi"-

"Kami tidak melihat dia, because he's not human."aku meneruskan ucapan Ruby yang dibalas cewek itu dengan anggukan. Sampai menyadari penjelasan lain dari Intan, aku bertanya lamat-lamat.

"Siapa kau maksud dia?"

Namun Intan berdiam diri. Fokusnya bukan lagi melihatku. Matanya beralih ke area kelas duabelas. Tepat di salah satu kelas.

"Selaput pelanginya ada rona biru bening. Sungguh sayang semuanya ternoda darah."

Aku ikut berpaling, tapi tidak mendapati sosok yang Intan bicarakan. Cuman beberapa guru tidak sengaja berpapasan dan berbincang pengalaman mengajar mereka tadi di kelas masing-masing

Sekali lagi, Intan menoleh ke arahku, "Jangan pernah sekali-kali ikut dia, Ruby." Digenggamnya kedua lenganku erat. Pupilnya membesar, begitu pula wajah yang memutih. Kedua tangannya terasa dingin ketika menyentuh kulit.

"Tapi berbeda cerita kalau ada coklat gulali,"cengirku sebelum tertawa. Intan mendengus, lalu berdiri.

"Anjir. Dasar menyebalkan. Jika sesuatu terjadi padamu, aku tak mau tanggung jawab."

Aku menutup mulutku, menahan keinginan tawa karena raut wajah Intan sudah sama halnya dengan anak kecil di luar sana.

"Cuman canda, kau ini serius sekali." Ucapku lalu ikut beranjak. "Sebelum dia melakukan itu, ya pasti aku teriak. Orang gila mana menerima coklat dari hantu?"

"Ya kau, siapa lagi memangnya?" cibirnya. "Mau hantu, alien, orang, asal itu coklat pasti kau mau dan ikut-ikut saja."

"Karena coklat membawa kebahagiaan, wahai temanku, Intan."

"Iya kebahagiaan sesat." Ditariknya tanganku, setengah memaksa ikut dengannya. "Kita ganti baju sekarang aja di ruang ganti kelas sepuluh."

Aku mengiyakan sebelum sekali lagi melihat zona kelas duabelas. Hampir saja menarik tangan dari Intan, sembari berjalan aku menyipit. Ke seseorang yang familiar, berdiri bersedekap dada. Kedua matanya ber-iris biru, mengekori-ku dan Intan. Memperhatikan, sampai aku tidak bisa melihatnya lagi setelah berbelok ke sisi bangunan lain.

Itu bukannya..

"Jangan dilihat."

Kupalingkan pandangan ke Intan. Dia melirik dari ujung mata lalu berhenti memutar badan menghadapku.

"Aku bingung kenapa kau bisa nengok dia." Gumam Intan, melepaskan tangan dari lenganku dan melanjutkan langkahnya.

Aku menyusul Intan, "Kau pikir itu tidak wajar?"

Dia melirik-ku lagi dari ujung matanya, menghela napas samar. "Kecuali memang ada sesuatu, seperti ingin membuat kontak."

"Bukankah dia, kau tahu. Arwah penasaran."ucapku. Lidahku hampir tidak sanggup menggumamkan 2 kosakata itu.

Intan menggeleng, "Dia masih hidup. Seharusnya."

Aku mengangguk. Sampai beberapa kejadian akhir-akhir ini, terbesit ingin memberitahunya.

Tapi tidak apa-apa-kah?

"Apa lagi yang bisa dilakukannya?"

Intan berhenti lagi. Cewek itu tidak menoleh kali ini, ia justru menutup mata dengan mengkerutkan kening.

"Peran-nya ada dua sekarang. Memakai ponsel dan barang pribadinya sebagai manusia. Dan masuk rumah tanpa pintu jendela."

"Maksudmu masuk ke rumah tanpa itu,-" suaraku terasa tertahan, tenggelam di tenggorokan.

Intan membuka matanya, mengangkat bahu sembari menyeringai ke arahku. "Itu kan udah biasa buat 'mereka' "

***

"Kudengar dari Alice, kau gak bawa topi hari ini."

Intan menggeser kursi di sebelahku, duduk dan membuka lagi novel tebalnya.

Aku mengangguk, "Kelupaan."ucapku singkat.

Semua jariku sibuk bekerja menjarah isi chicky-chicky lalu melempar beberapa dari mereka ke mulut. Punggungku menyandar dinding, menghadap Intan.

"Kok bisa lolos dari Bu agus?"

"Ada yang ngasih topi,"jawabku mengangkat bahu.

Dan jawaban itu membuat temanku menoleh curiga. Ditutupnya novel tadi sebelum menggeser badan berhadapan denganku.

"Apa?"

Tangan Intan terjulur,"Liat topinya."

"Mana kuingat taro dimana." Dengusku, tanpa berhenti mengunyah.

"Serius, mana topinya."

Aku berdecak tapi mengangguk juga. Menaruh jajanan di meja, ku buka tas dan mencari benda milik penyelamat upacara tadi.

Keningku berkerut. Di tas, pelindung kepala itu tidak kelihatan sama sekali. Padahal berulang kali aku mengobrak-abrik isinya.

"Kok ga ada?"

"Boong kau kan?" Intan ikut mengkerutkan kening. Matanya mengintip tapi akhirnya merampas tas biru-ku. Ia bangun dan menumpahkan isinya di meja.

"Awas bukunya kena jajanan, we!"sahutku.

Tapi cewek itu mendengus, sebelum menaruh perhatian ke meja. Beberapa buku sudah berjatuhan. Bahkan buku paket setebal 2 kali lebar telapak tangan, ikut berakhir di lantai.

Alhasil kegiatan kami berdua mengundang penasaran anak-anak sekelas.

"Eh, mak! Kalau mau buang buku jangan disini, berisik!"

Seorang cowok yang ku kenal bernama Alan, menyahut dari kursinya. Dia duduk bergerombol dengan beberapa temannya, hampir melingkar karena beberapa kursi entah punya siapa, dikumpul.

"Kau pun kalau kau mau menggosip dalam hati." Ucapnya sengit, "Cowok kok gibah."

Aku menggigit bagian dalam mulut, menahan tawa keluar. Raut wajah Intan memerah. Kedua alisnya menyatu dan matanya menyipit kesal.

Alan di ujung sana cemberut tapi memilih mundur, tidak membalas ucapan Intan. Kukira dia punya feeling kalau mood Intan tidak bersahabat.

Seharusnya mereka gelut sih. Biar ni kelas berwarna dikit.

Intan tetap bersungut-sungut. Walau begitu, matanya bergerak-gerak liar, mengabsen satu-satu, apakah isi tas-ku yang sekarang sudah menjadi korban Intan, ada barang tidak wajar..

Udah dibilang ga ada topi-nya.

Sampai ku dengar ia mendesah kesal. "Udah kubilang kan. Sekarang bereskan lagi semuanya,"seruku.

Tapi teman-ku yang paling baik itu malah menggeser kursinya lagi, berjalan pergi keluar kelas tanpa berkata-kata.

"Intan!"

Dia tidak menoleh, tidak menyahut. Aku menggerutu sebal, cewek itu hari ini aneh sekali.

Ku pungut semua barangku, mengumpulkan semuanya yang dilantai ke meja sebelum dimasukkan kembali.

Ketika mengambil satu buku paling tebal di bawah meja, mataku mendapati sesuatu bersinar. Biru, sejernih laut.

Akhirnya, ku taruh buku yang kuambil tadi ke meja dan mengambil benda mengkilat-kilat biru itu.

Tunggu, apa ini bandul?

Ada satu lubang di bagian atasnya. Dan kukira itu untuk rantai atau semacamnya. Kemungkinan besar, si benda adalah bandul kalung.

Ini punya siapa?

Aku memperhatikan bandul biru itu Samar, bisa-ku lihat bayangan sendiri disana.

Benda itu cantik, tapi misterius.

Menatap ke sekitar, aku menggenggamnya di tangan. Mungkin aku bisa bertanya ke beberapa orang apa mereka kehilangan kalung atau tidak.

Kutanya tetangga depan belakang, namun tak ada yang merasa punya.

Seharusnya aku tahu jawabannya, karena perhiasan tidak diperkenankan pakai di sekolah

Aku mengira-ngira, apa bandul itu punya Intan?

Tapi cewek itu pengurus osis. Sangat aneh seseorang salah satu dari contoh siswa di sekolah, malah melanggar peraturan.

Akhirnya, kuputuskan mengantongi kalung itu di saku rok dan kembali memasukkan semua barang ke tas.

***