"I didn't know you knew me."
.
"Sejak kapan ini jadi rumahmu?"
Aku menyenggol bahu Intan. Mataku terpaku ke sebuah bangunan yang kukira villa milik orang paling kaya di daerah sini. Si pemilik rumah pasti tergila-gila dengan gaya Eropa. Liha saja kubah di satu sisi bangunan putih tersebut. Sedangkan tepat di daerah berlawanan, di buat balkon taman. Aku berdecak iri begitu melihat halamannya kelewat luas.
Ini rumah impian semua orang!
"Bukan bodoh!" Intan memukul ringan belakang kepalaku dan segera ku beri dia delikkan paling tajam dari seorang Ruby. Cewek ini terlalu ringan tangan. Memangnya aku apa sampai enak sekali tangan itu bermain? Samsak tinju?
"Kediaman sahabatku," Kak Pirei menengahi kami berdua dengan suaranya yang mendadak tidak semangat.
"Siapa?"
"Hazel, ini rumah keluarga besarnya." Dia menengok dari kaca depan dan membuka pintu begitu selesai memarkirkan mobil.
"Loh bukannya kita ke tempatmu?" Intan tidak menjawab. Cewek itu mengindahkan sahutanku, ikut keluar dari mobil meninggalkanku sendiri sekarang.
Apa ini? Acara menjenguk?
Aku pun ikut membuka pintu dan keluar. Mendekati Intan sudah bersedekap dada menatap rumah itu.
"Sepertinya kau dendam dengan rumah ini,"cibirku begitu sadar cewek itu memelototi si rumah. "Tapi kenapa ketempat ini? Kukira Kak Hazel di rumah sakit."
Intan melirik dari ujung mata, "Dia rawat jalan. Keluarganya punya dokter pribadi."
"Apa yang kalian lakukan disana? Buruan masuk." Kak Pirei menyahut dari kejauhan. Cowok itu tahu-tahu sudah di depan pintu.
Menghela napas pendek, aku mengekori langkah Intan, memandang sekeliling sampai mataku menangkap satu benda yang biasanya menjadi favoritku.
"Oh astaga! Itu ayunan bukan? Bagus sekali." Baru saja kakiku melarikan ke kawasan itu, tapi Intan menahan kerah seragamku.
"Aku tidak percaya ini. Kita sedang serius disini dan perhatianmu di ayunan?"ucap Intan jengkel. Dengan setengah menyeretku yang cemberut, kami ke beranda rumah.
"Kenapa Ruby?"
Aku menyingkirkan tangan Intan, menepuk keras lengannya sebagai balasan sampai membuatnya mengaduh. "Kau jahat sekali menarikku begitu."
"Kalau tidak kau pasti tidak mau diajak kemana-mana begitu disana," ditunjuknya ayunan serba putih itu dan mendengus keras. Kak Pirei menggeleng, entah karena heran atau pusing dengan dua anak remaja cewek bertengkar tidak kenal tempat.
"Kak, bantu tegur Ruby kek."
"Apa katamu tadi?"
Kak Pirei buru-buru berdiri di antara kami, menatap bolak balik Intan dan aku dengan pandangan dinginnya. "Diam kalian berdua, kita ini bertamu kenapa jadi berisik?"
Cowok berkacamata itu berkacak pinggang. Aku pun memilih diam, menjatuhkan semua pelototan sisa marah tadi ke bunga kecil di dekatku.
Tahu keadaan kami berdua tenang, Kak Pirei menekan bel rumah berkali-kali sampai terdengar sahutan 'sebentar' dari dalam.
"Hazel ada di dalam sedang kritis. Jadi cobalah sedikit dewasa. Dan kau Ruby, coba jaga kakimu tidak berkeliaran nanti."
Ia memberiku pandangan peringatan, begitu tahu isi pikiranku ingin menjelajahi di dalam sana. Sebut saja kurang ajar, tapi rasa penasaranku terhadap sesuatu yang menarik lebh besar dari kesopananku.
"Heran kenapa pangeran sekolah itu bisa naksir dengannya..aduh, sakit Kak Pirei!" Kak Pirei mencubit lengan adikknya tiba-tiba. Ia berbisik rendah ke Intan sampai aku yang berada di dekat mereka saja tidak bisa dengar.
Sampai satu kalimat yang diucapkan Intan tadi membuatku bingung. Apa maksudnya? Si jenius itu siapa?
Namun niat ingin bertanya dengan keduanya, pintu megah di depan kami keburu terbuka. Dua wanita berpakaian pelayan seperti kulihat di film disney membuatku tercengang. Bahkan mulutku sudah setengah terbuka.
Anjir, Sebenarnya seorang Hazel itu sekaya apa sih? Adil sekali Tuhan membuat manusia versi dirinya. Pintar, dan semuanya terpenuh di duniawi. Oh jangan suruh aku menyebutnya tampan atau sejenisnya sampai wajahnya terlihat di depan mataku.
Aku bertaruh Einstein lebih tampan darinya. Kalau sampai aku salah, seminggu penuh menghabiskan malam dengan film horror ku lakukan!
"Oh Tuan Sapphirei, selama datang." Salah satu dari mereka yang berambut ikal kemerahan menengok-ku dan Intan. Kulihat dahinya berkerut. Bingung mungkin ada dua cewek tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Kak Pirei mengangguk ke keduanya, menoleh ke aku dan menyuruh duduk di sofa tamu selagi ia pergi. "Duduk Ruby. Aku dan Intan harus mengambil barang OSIS dulu."
Barang OSIS? Kenapa ada disini? Apa mereka kekurangan tempat sampai menaruh sebagiannya di rumah Kak Hazel?
Namun aku mengangguk. Tatapanku terus ke kedua kakak adik itu sebelum aku bangun dan mengikuti mereka dari belakang.
Tapi aku nyasar.
Iya benar, nyasar dan bahkan lupa jalan kembali ruang tamu tadi.
"Ini dimana sih?"
Aku menengok sekeliling. Melangkah pelan-pelan takut misal bertemu pelayan di rumah ini yang entah berapa banyak jumlahnya. Tak mungkin hanya dua orang sedangkan mereka memakai seragam.
Sampai satu ruang berpintu putih ukir bunga dan batang berduri menarik perhatianku. Alisku satu terangkat, berjalan mendekat karena mendengar sayup-sayup darisana. Ketika ku tempelkan telinga di daun pintu, suara itu hilang. Tidak terdengar apa-apa.
Penasaran, aku menarik gagang keemasannya, membuatnya terbuka dan menyelip masuk sebelum kembali menutupnya.
Begitu aku berbalik, suaraku hampir keluar berjengit.
Ruang itu ternyata kamar.
Kamar seorang cowok sedang berjuang melewati masa kritisnya hampir setahun ini. Dia terbaring dengan segala alat rumah sakit menempel. Mataku kularikan ke arah lain, tak kuat melihat infus dan oksigen buatan manusia sekarang menjadi penopang hidupnya.
Seharusnya kudengar peringatan Kak Pirei. Apa bedanya aku dan pengutit sekarang?
Penguntit, panggilan yang kusematkkan ke Neelam membuatku tersadar sesuatu. Dan suara dari kamar ini, seharusnya tidak ada kecuali Kak Hazel bangun dari tidur panjangnya.
Kecuali....
Berdecak pelan, ku edarkan mata ke sekeliling ruangan. Berjalan agak pelan walau yakin Kak Hazel tak akan mendengarnya.
Tapi siapa tahu kan? Aku belum mau mendapat resiko.
"Neelam..," Kupanggil sang biang pembuat masalah kalau itu mengenaiku. Setelah melakukan hal menyebalkan dengan ulah gedoran gudang, ya kali cowok itu juga mengulah disini?
"Neelam aku tahu itu kau dan keluar." Kali ini aku tidak sabaran. Ia masih kunjung belum keluar.
Tetapi sosok itu tidak menunjukkan dirinya. Menghela napas kasar, aku berbalik berniat pergi. Sampai telingaku mendengar seseorang bergumam.
Seseorang selain aku didalam kamar itu.
Kak Hazel!
Mataku membola namun berjalan mendekatinya. Kulihat jari di kedua tangannya bergerak.
Aduh. Kenapa aku di situasi ini?
"Kak Hazel?" seru-ku tak yakin. Aku membungkuk,, mensejajarkan wajahku dengannya tanpa berpikir begitu sampai di pinggiran kasur. Kedua mata cowok itu masih terpejam.
Satu menit kutunggu reaksi lainnya, ia kembali diam. Jarinya juga tidak bergerak-gerak. Ku tatap lamat gurat wajahnya dan mulai paham situasi sekarang.
Right! Mulai besok malam semua jenis film horror ku tonton. Sekarang aku mengerti kenapa dia disebut pangeran!
Diam-diam mengerang dan menunduk, ku jauhkan wajahku sampai kudengar cowok itu kembali bersuara. Memanggil sebuah nama.
Namaku.
Wait...
Sekali lagi mataku membola, mundur ke belakang hampir terjungkal.
"Ruby.."
Ia bersuara lagi, dan aku pun semakin membeku. Semua pertanyaan 'kok bisa?' memenuhi kepalaku namun kuacuhkan.
Sampai hening kembali mengisi ruangan, aku menarik napas panjang, berjalan mendekat lagi dan berdiri di tempat tadi.
"I didn't know you knew me." Ucapku seakan kami berdua bercakap-cakap di keadaan normal.
Tanganku tanpa sengaja menyenggol benjolan di saku dan teringat dengan bandul laut yang kutemukan. Ku ambil bandul itu dan berpikir.
Apa ku hadiahkan saja ke Kak Hazel?
"Heh, sudah kuberikan susah payah sampai seusaha mungkin tidak bertemu teman indigomu dan kau seenaknya ngasih dia gitu?"
Suara keras memenuhi ruangan dan sekali lagi tubuhku hampir jatuh. Kuangkat kepalaku dan menemukan NEELAM berdiri di sisi kasur berlainan. Wajahnya masih tertutup masker hitam. Sedangkan pakaiannya berubah kembali seperti pertama kali bertemu di tanah lapang.
"Kau itu kecilkan suara! Tidak lihat ada Kak Hazel?"
Tapi Neelam mengangkat alis tinggi-tinggi. Pandangannya tak peduli sebelum berjalan memutar kasur dan menarik tanganku.
"Tunggu Neelam, kau mau membawaku kemana?"
Cowok itu tidak menjawab. Ia terus menggenggam tanganku, setengah menyeret keluar dari ruangan.
"Bukannya harus memanggil orang sini dulu? Dia hampir setengah sadar tadi." Ucapku mencoba menarik tangan begitu Neelam berniat membuka pintu kamar.
Neelam memandangku lamat sebelum memindahkan matanya ke belakangku. Mungkin ia menengok Kak Hazel.
"Semuanya akan baik-baik saja, aku janji."