"Kau yakin namanya Neelam?"
.
"Dia bisa datang kapan saja."
Aku menaikkan satu alis, mengedar pandangan ke sekeliling mencari suara cowok yang tak sengaja tertangkap telinga.
"Ku dengar kelas sebelas ipa dua sudah berani ke kawasan itu."
Kali ini sahutan seorang cewek membuat mataku menyipit. Mungkin ada dua atau lebih mereka berkumpul dimana pun itu.
Aku menyandar ke dinding sekolah, berjingkak tidak mengeluarkan bising.
"Tapi Intan bilang, kelasnya mendapat gedoran dari gudang. Kau tahu itu bukan dari anak-anak, kan?"
Mulutku hampir terbuka mendengar nama temanku menjadi perbincangan mereka. Dan begitu lamat ku dengar mencari lokasi kelompok itu, aku berjalan sepelan mungkin, mengintip dari sudut tembok.
Disana ada empat pengurus osis dengan rompi hijau menghias di seragam. Tiga di antaranya cowok dan sisanya cewek. Mereka duduk di sepasang kursi besi berhadapan.
Tempat itu tidak begitu banyak di singgahi. Bahkan ku pikir sudah menjadi area pribadi osis.
Si cewek yang bersedekap dada mendengus, "Hazel sudah hampir mati. Kau masih mengharapkan dia?"
"Kau tahu Intan bisa lihat dia kan? Sepupu-mu itu berkeliaran, bodoh."
"Apa buktinya Intan ketemu Hazel? Bagaimana kalau dia ngibul?"
Cowok berambut ikal di samping cewek itu mengangguk. "Cuman Zamrud yang bisa buka kasus itu. Tapi masalahnya dia putra kepala sekolah."
Aku menaikkan sudut bibir ke atas, menggaruk belakang kepala. Apa maksudnya? Kenapa mereka membawa nama Intan dan Kak Hazel?
Dan memangnya kasus apa di sekolah ini?
Apa yang sebenarnya tak ku tahu?
Aku menghela napas panjang. Ini tak akan siap kalau terus bertanya-tanya tanpa ada jawaban. Lalu kuputuskan bergegas pergi dari sana, kembali ke kelas sebelum Bu Lia-guru mtk ku sadar kalau satu muridnya tak kunjung kembali dari toilet.
Namun, belum mencapai kelas, satu bayangan entah dari mana mengisi tempat kosong, pas di samping daun pintu.
Bayangan hitam itu membentuk seseorang, cowok, bersedekap dada dan menatap lurus lapangan. Pakaiannya tak jauh beda dengan seragam hari ini. Hanya dia menggunakan rompi hijau dan masker hitam-lagi.
Asli, dari kemarin selalu ada yang gak beres.
Aku meneguk ludah. Kepalaku sudah menunduk, tak mau melihat jenis arwah apa lagi di depan sana. Sengaja juga, kujauhkan langkahku dan berjalan paling pinggir selokan, menjauhi si cowok.
3 langkah menuju pintu
Langkahku semakin melambat. Kurasa cowok itu menoleh ke arahku.
2 langkah
Dia berdiri tegap. Mengantongi kedua tangan di saku celana, berjalan mendekat.
Dan aku berhenti. Tak yakin langkah selanjutnya ada dan bisa nyelonong masuk kelas. Kututup mata rapat, mengisi pikiran tidak kosong.
Mungkin saja hantu jenis ini membaca pikiran.
Atau manggil sapu terbangnya, menyuruh menerorku.
Eh itu penyihir deng
"Kan sudah kubilang. Kalau mengira aku hantu itu, masih salah."
Keningku berkerut. Merasa pernah dengar kata-kata bernada menyebalkan yang masih terngiang-ngiang. Begitu ku angkat kepala, sosok cowok itu menyeringai dari sinar matanya.
"Kau ini dasar penakut. Baru ku isengin menggedor gudang tadi, sudah pucat pasi," ujarnya mengangkat bahu. Nada kesan tanpa merasa bersalah membuatku jengkel.
Cowok itu Neelam.
Pelaku teror gudang yang alhasil menjadikanku sebagai cewek aneh di depan orang.
Sekaligus sosok yang dilihat Intan.
Mataku membola. Teringat peringatan dia tentang tidak bergaul dengan Neelam.
Tapi, memangnya kenapa?
Lamunanku buyar begitu Neelam menjetikkan jarinya di pandangan. Kulirik Neelam yang membungkuk mensejajarkan tinggiku.
"Kau ini mudah sekali mengkosong-kan kepala. Apa dia mengatakan sesuatu?"
Aku berjengit, "Tidak ada. Pergilah, aku harus ke kelas." Kujauhkan tangannya, mendorong tubuhnya sebelum berniat ke kelas.
Tapi emang tak habisnya Neelam mengganggu. Ia menarik lenganku-lagi. Mata birunya menatapku lurus.
"Tidak dengar tadi aku ngomong? Aku harus ke kelas."
Neelam menggeleng, "Kelasmu sekarang tidak penting. Ikut aku."
Hee, sembarangan
"Aku ini gak pintar-pintar amat, makanya sekarang kelas itu penting." Ku tarik lenganku lebih kuat, namun Neelam menolak lepas.
"Neelam!"
Tanpa sadar aku memanggil namanya keras. Dan membuahkan penasaran guru mtk-ku.
"Ruby, kamu diluar? Kenapa tidak masuk?"
"I..iya bu ini saya mau masuk."
Kulirik lagi cowok itu yang menggeleng dan terus menarik lenganku agar ikut dia.
"Coba untuk menurut Ruby," serunya.
"Sekarang sedang kucoba menurut ke guru-ku sendiri dan kau menghalanginya."
Aku menarik lebih keras lenganku, menginjak kaki kirinya yang refleks melepasku.
Buru-buru aku berjalan cepat ke kelas, tidak menghiraukan gumaman kesal darinya.
***
"Kau bilang, dia ingin membawamu?"
Aku mengangguk, mengambil ransel lalu menoleh ke Intan yang sudah memandang cemas.
"Bukannya aneh dia berkata begitu?"
Intan tidak menjawab. Ia berdecak pelan sebelum berkata-kata.
"Menginap di rumahku malam ini, Ruby."
"Huh? Kenapa?"
Berjalan mendahuluinya keluar kelas, cewek itu menyusul setelah mengambil ranselnya juga.
"Dia pasti datang lagi."
"Sudah dari kemarin malam malah," sahutku. Intan menarik bahu-ku menghadap ke arahnya.
"Dia pernah ke rumahmu?"
"Ke kamar," ucapku jengkel.
Kuceritakan semua hal-hal janggal mulai dari nomor asing sampai kejadian sekarang. Terkecuali bandul biru yang kutemukan.
Karena kupikir, kalung itu tidak ada sangkut pautnya.
"Namanya Neelam?"
Aku mengangguk, "Kudengar begitu."
"Kau yakin namanya Neelam?"
Intan menepuk keras bahuku dan tentunya sukses membuatku meringis.
"Telingaku masih berfungsi dan jauhkan tanganmu itu. Kau ini suka sekali memakai tenaga," keluhku.
Dia tidak membalas dengan candaan seperti biasa. Intan memang menjauhkan tangannya tapi diam membatu.
"Intan?"
Kucoba memanggilnya. Kedua bola matanya bergerak liar. Kepalanya setengah menunduk.
"Kau oke?" Tanyaku mencoba memastikan.
Sejak pagi sampai menjelang sore, tingkah cewek ini berbeda dari biasanya.
Aku tak paham. Tak mengerti.
Mulai dari pesan Intan yang ku kira sudah ku balas, hingga detik sekarang teman-temanku berubah.
Alice mendadak dekat lalu menjauhiku.
Intan sebentar-sebentar membalas candaanku tapi ia lebih banyak acuh.
Dia akhirnya menengok lagi, "Kau tahu dia akan datang lagi kan?"
Aku mengangkat bahu, "Tidak yakin."
"Kalau begitu menginaplah," pintanya. "Ada sesuatu yang perlu kau tahu."
"Kenapa tidak kau katakan sekarang?"
"Ceritanya panjang. Dan tak mungkin disini."
"Apa ini berkaitan Kak Hazel dan sekolah kita?"
Cewek itu memandangku tajam tiba-tiba. Buru-buru ia menarik lenganku, berjalan cepat keluar dari area sekolah.
"Hei, kau ini kenapa?"
Intan tidak menyahut, malah mempercepat langkahnya sampai di depan sebuah mobil yang kuduga milik keluarganya.
"Tunggu, kau bawa mobil? Aku tak ingat umurmu legal."
Intan menghela napasnya, "Ikut saja." Dibukanya pintu bagian penumpang dan menyuruhku masuk.
"Sudah lama ya, Ruby."
Aku mengkerutkan kening, dan sontak menengok ke kursi depan.
Seorang cowok berkacamata melirik dari spion. Ia terkekeh.
"Kak Pirei?"
"Satu-satunya."
***