Chereads / KALOPSIA / Chapter 5 - Namanya Neelam

Chapter 5 - Namanya Neelam

"Kau ini siapa?"

"You can call me your illusion"

" I'm Neelam"

.

.

.

"Ini terlalu malam dan kau sok berani pulang sendirian?" Intan menyipit ke arahku. Memang tanpa sadar tahu-tahu sudah seperempat larut malam kami di tanah lapang ini.

Lagipula itu bukan salahku. Aku hanya bertanya sedikit info tentang Kak Hazel. Dan Intan terlihat tidak ada bedanya dengan pembaca acara infotainment.

"Memangnya apa yang berniat mengangguku? Rugi yang ada,"ocehku sambil mengambil earphone dari tas dan menghubungkannya ke ponsel. "Aku tinggal berjalan sama dengerin lagu juga, bakal nyampe."

Dia bergumam kesal, "Kau itu cewek. Tolong sampe rumah berkaca."

"Lalu apa bedanya denganmu? Bukannya kau juga jalan, heh,"ku balas kata-katanya. Sedikit tidak terima dia mengataiku dengan menyuruhku berkaca.

Aku bisa jaga diri kok.

"Rumahku tinggal satu belokkan dari sini dan masih penuh orang lalu lalang. "Desahnya. "Kau yakin tidak menginap di rumahku saja?"

"Heh besok itu sekolah. Mana upacara pula. Dan kujamin kau masih bisa melihatku berdiri di lapangan denganmu,"kukibaskan tanganku ke arahnya sebelum siap-siap beranjak dari kursi.

Intan mendesah lagi. Wajahnya tampak tidak percaya tapi dia mengangguk juga. "Kalau udah sampai, tolong kabarin."

Mengangguk, aku menepuk bahunya. "Oh sekarang nyonya novel perhatian denganku? Sungguh romantis,"seringaiku.

Sahabatku itu berdecak. Ia mengulurkan tangan menyentuh kulit pipiku dan menariknya. "Siapa yang kau panggil nyonya novel, huh? Dasar manusia sains." Aku memukul lengan gadis itu sekaligus cemberut.

"Setidaknya otak-ku ini berguna membantu kita ngerjain tugas. Sakit we! Tenagamu ini gak ada bedanya sama kerbau ya." Dan alhasil Intan semakin gencar menyakiti pipi-ku.

Dan setelah drama antara kami berdua, Intan dengan setengah hati membiarkanku pulang. Heran, dia dan Bibi Ame sudah hampir mirip. Mudah khawatiran.

Aku sekali lagi menyalakan layar ponsel-ku dan memilih beberapa lagu yang sekiranya tidak terlalu sepi. Yeah, jalan pulang dan pergi walau tidak ada bedanya, tetap saja suasana-nya sedikit berbeda. Karena ketika matahari masih kelihatan, beberapa orang masih terlihat lewat. Tapi ketika malam tiba, jangankan orang. Kurasa serangga kunang-kunang aja tidak berniat mampir karena sinar lampu berjarak 3 meteran. Aku mengangkat wajahku, menatapi jalanan yang timbul tenggelam dengan cahaya dan kegelapan.

Meneguk ludah, kunyalakan lagu di ponselku. Sekaligus menambah volume suara dan harap-harap bisa mengusir rasa takut-ku yang tiba-tiba datang. Melangkah pelan, aku memegang tali tas dengan kuat, berkali-kali menatap sekitar memastikan memang tidak ada orang di jalanan ini.

Malam ini pun, bulan purnama terlihat menyala terang. Pohon-pohon besar yang kuduga pohon jambu dan mangga, berkali-kali bergemerisik. Wajar menurutku karena angin malam mungkin bermain dengan ranting dan daun mereka. Sekilas terdengar suara jangkrik. Kadang beberapa tokek dan cicak ikut mewarnai lantunan si jangkrik.

Aku mengangkat kepalaku yang sengaja sejak tadi tertunduk. Menatap ke depan karena pendengaranku dari sela-sela lagu seperti terdengar langkah lain.

Tidak ingin mengambil resiko menoleh kebelakang, aku mengambil langkah panjang dan cepat. Sialnya, rumahku terasa jauh dari biasanya.

Kok gak nyampe-nyampe sih?

Menggeram dalam hati karena merasa ada sesuatu yang tidak benar, ku tekan tombol volume ponsel lebih kecil yang sejak tadi di dalam tas. Dan kecepatanku berjalan sengaja ku lambat, memastikan kalau itu orang yang memang lewat, bukan mengikutiku.

Tap..Tap..

Langkah di belakangku itu berhenti. Tapi berlanjut beberapa dan tidak terdengar lagi. Begitu seterusnya.

Tap..Tap..

Aku membasahi tenggorokanku lagi. Kedua tanganku semakin erat memegang tali tas di bahuku.

Apa dia pencuri? Atau penculik?

Kutepis pikiran buruk itu, menggelengkan kepalaku karena membayangkan yang tidak-tidak. Sampai ketika isi otak-ku masih tidak tenang, lagu di telingaku berganti menjadi suara panggilan ponsel.

Aku beranggapan mungkin itu Intan atau Bibi Ame, jadi aku mengambil ponsel itu dari dalam tas dan melihat siapa yang menelpon ku.

+62-819-1313-0666 is calling

Dan saat itu juga, kumatikan panggilan itu, mencopot earphone dari telingaku, dan melarikan kaki-ku segera ke rumahku yang sudah terlihat di ujung jalan.

Aku mendudukkan tubuh di halaman, menormalkan pernapasanku yang naik turun. Rasanya nasi goreng yang kumakan tadi seperti ingin keluar dari perutku. Aku pun mengatur napas, memastikan kondisiku tetap wajar di depan Bibi Ame.

Mencoba berdiri dan bertopang ke dinding, kuketuk pintu kayu itu dan memanggil Bibi Ame yang syukurnya dijawab cepat.

"Sebentar Ruby,"teriaknya. Sepertinya Bibi Ame sedang di dapur.

Kusandarkan tubuhku ke pintu kayu itu, aku menengok ke belakang, ke jalanan depan rumah memastikan disana memang kosong.

Tapi sepertinya anggapanku itu salah. Di sebrang jalan aspal itu, berdiri seseorang dibelakang temaram lampu jalan yang sudah hampir kehilangan sinarnya. Cowok. Dengan pakaian gelap yang sulit terlihat warnanya. Bermasker dan bertopi gelap. Satu-satunya yang tampak familiar adalah kedua matanya. Seperti biru, kukira.

Cowok itu menatapku lurus. Kedua tangannya dimasukkan ke kantung celana. Tapi sepertinya tidak keduanya lagi. Karena salah satunya bergerak ke belakang saku celananya. Dia mengambil sesuatu, sampai kuduga itu adalah ponselnya.

Menunduk sebentar, dia kembali menatapku yang sejak tadi menahan napas. Aku menggigit bibir bawahku, rasanya dia menginginkanku melakukan sesuatu.

Dan kupikir ingin aku melihat ponselku, aku mengambil benda itu dari tas dan melirik layarnya yang berkedip-kedip.

+62-819-1313-0666 is calling

Kedua bola mataku membulat sempurna.

Si penguntit!!!

Pintu kayu di belakangku itu akhirnya terbuka, menampakkan seorang wanita dengan daster oranye-nya yang sepanjang mata kaki.

"Kebiasaan pulang telat dari tanah lapang semakin malam saja,"sindirnya. Ia menarik satu telingaku.

Meringis sakit, kucoba membebaskan diri dengan memberikan alasan.

"Bibi, sungguh tadi aku dan Intan memang berencana ngerjainnya sampai selesai."

Bibi Ame berdecak kesal, "Kalian ngerjain tugas atau nge-gosip? Dasar anak nakal." Dan dia semakin menarik daun telingaku.

"Aduh..aduh..iyaa Bibi Ame, maaf. Bisakah kau tidak memarahiku dulu? Ada orang mencurigakan disana." Kutunjuk yang ku maksud dengan daguku.

Wanita itu tetap dengan raut wajah kesalnya tapi melepaskan jarinya dari telingaku. Pandangan matanya tertuju ke tempat yang ku katakan. Dan aku pun ikut menoleh lagi ke cowok yang tadinya berdiri disana.

Dia sepertinya menyadari aduanku. Tapi bukannya pergi darisana, dia melangkah lebih mendekat ke bawah cahaya. Sampai kemudian aku mengenalinya walau di antara temaram redup.

Aku melongo, Bukannya itu si cowok tukang marah?

"Orang apanya? Gak ada orang Ruby. Mau ngadalin Bibi ya?" Aku mengerutkan keningku dengan ucapan Bibi Ame.

Gak ada orang? Jelas-jelas dia berdiri disana!

"Tapi.."

Wanita itu menggeleng, " Ini akibatnya kau suka lupa pulang." Ditariknya pipi-ku sebelum masuk ke rumah. Aku mengaduh sembari menggerutu. Kenapa banyak sekali yang suka menyakitiku hari ini?

"Cepat masuk dan kunci pintu," kata Bibi lalu menghilang ke balik belokkan dapur.

Aku meringis dan mengelus pipi-ku. Aneh, kenapa dia mengatakan tidak lihat? Sejenak aku memikirkan sesuatu yang mau tidak mau akhirnya jawabannya ada satu.

"Kalau kau mengira aku hantu, itu masih salah."

Huh?

Buru-buru aku membalikkan badan dan hampir menubruk tubuh si pemilik suara.

"Apa tidak ada yang mengatakan kalau kau itu kurang tinggi?"keluhnya. Dia menunduk ke arahku dan mengangkat satu alisnya, mendapatiku dengan raut wajah memucat.

"Bibi...Bibiii Amee.. penguntitnya mau masukkk!!!!!!" Teriakanku pecah, kedua mataku terpejam, tidak ingin menatap sorot matanya yang sepertinya sudah kesal.

Alhasil dengan suaraku yang membahana di jam hampir larut, Bibi Ame datang kembali menegurku bersama centong sayur di tangannya.

Sedangkan cowok asing itu berdecak pelan. Dia bergumam, 'Dasar pendek' sebelum tiba-tiba pergi dan menghilang di gelapnya malam.

***

"Don't you dare to tell your friend about me."

Ponselku ditarik tiba-tiba dari pemilik tangan kurang ajar. Melongokkan kepala ke biang masalah, keinginanku yang tadinya berniat protes, berubah mode pucat dan takut.

Cowok itu disini, duduk di dekatku yang sedang berbaring. Kedua kakinya terlipat. Pakaiannya tidak juga berubah, tertutup. Dan kali ini ia tidak memakai topi. Tapi digantikan dengan penutup kepala dari bajunya- or i can call his clothe is hoodie. Masker hitamnya masih menutupi sebagian wajahnya. Walau begitu, pendar biru di bola matanya dapat kulihat.

Bersiap-siap ingin meneriaki-nya, sepasang telapak tangan menghambat suaraku keluar. "Tidak bisakah kau diam? Suaramu itu mengundang bibi-mu masuk."

Aku menggeleng kuat. Kakiku mencoba menendang tubuhnya menjauh.

And yes, he fell

Bruk..

Kutarik napas panjang-panjang karena tangan besarnya itu ikut menghambat jalan masuk keluarnya napasku. "Kau cewek tapi gak ada manis-manisnya." Cowok itu meringis, mengelus punggungnya yang menghantam lantai kamar.

Aku mencoba bangun dan menjauh ke ujung kamar. Tapi dia dengan santainya kembali ke kasurku dan duduk disana. Memandangku geli dengan kedua matanya.

"Kau ini siapa? Penguntit? Maling? Atau pencuri? Kok hanya aku yang bisa melihatmu?"

"You can call me your illusion ." Serunya masih tanpa berniat beralih pandang. "I'm Neelam."

"Aku belum berniat mau halu," ketusku. "Dan tidak bertanya siapa namamu."

Si Cowok bernama Neelam mengangkat bahunya. Sepertinya dia tidak menggubris sangat ucapanku tadi. Sedangkan aku yang sudah merasakan kepalaku berdengung ingin merecokinya banyak pertanyaan, hanya satu yang bisa ku ucapkan.

"Kenapa kau disini?"

"Mengunjungimu seperti biasa."kekehnya tanpa nada dosa.

What the?

***