Ia ikut menoleh. Membiarkan ku memproses dengan pikiran sampai kemudian ia keluar dari barisan dan pergi ke paling belakang
.
.
Aku mengutuk kejadian semalam. Si pemilik nama Neelam terlanjur di anggap penguntit, pergi lewat jendela begitu sekali lagi kuusir dan bersiap-siap melempari cowok itu benda paling tajam di kamar.
Bukankah dia menyebut dirinya ilusi? Apa bedanya dengan bunga tidur, huh?
Dan begitu kucek aplikasi whatsapp, memastikan kalau aku memang benar sudah membalas pesan Intan, mataku membola. Jangankan membalas, aku bahkan tidak membaca-nya.
Aku menutup mata sesaat, mengusir rasa buruk di pikiran yang sudah berpikir tidak-tidak. Sekali lagi kulirik layar ponsel. Tidak berubah. Malah pesan bertambah dari Intan. Temanku itu protes karena tidak kunjung dibalas.

Apa aku bermimpi saat itu?
"Makan rotimu, Ruby. Hari ini ada upacara kan?" Suara Bibi Ame membuyarkan lamunanku.
Mataku mengerjab, seakan kesadaran ditarik kembali dimana sekarang aku duduk di meja makan dengan satu lapis roti kacang favorit di piring.
"Ini bocah malah melamun. Heh! Pagi-pagi melamun, kesambet baru tau rasa." Ku toleh wajah ke wanita yang berdiri, berkacak pinggang. Menarik senyum simpul, aku mengangguk.
"Aku makan di jalan aja deh. Pergi dulu ya Bibi Ame," pamitku mengambil roti lapis dan segera berangkat karena jam di dinding tidak bersahabat.
Sampainya di kelas, ruangan hampir kosong. Hanya beberapa siswa buru-buru menaruh tas dan keluar berbaris di lapangan. Aku menghela napas malas.
Baik seorang Ruby buat pertama kalinya hampir telat.
"Buruan Ruby! Bu Agus udah datang ngecek itu," sahut Alice. Cewek itu ternyata tidak ada bedanya denganku. Dia mengibas tangan menyuruh, dan aku mengangguk.
Kutaruh tas ke atas meja sebelum membuat langkah panjang menyusul mengikuti Alice dan mengambil barisan cewek di belakang.
Alice mengatur napasnya, ia melirikku dan tertawa renyah. "Tumben banget telat. Biasanya kau pergi dengan Intan dan tiba pagi."
"Alarm-ku gak mau bunyi,"seruku, lagi-lagi menyalahkan sebuah benda yang tidak bersalah.
Alice tergelak. Kembali menghadap ke depan, cewek itu mencoba berbincang dengan sebelahnya.
Aku memandang sekitar. Mengangkat satu alis, baru sadar kalau barisanku begitu pendek dari lainnya.
"Kau berharap kita sebaris dengan anak-anak sekelas? Welcome to the other world, Ruby."Kekehan Alice kembali membuatku menoleh ke arahnya.
"Kok bisa?"
"Apa yang kau harapkan memangnya? Jumlah anak-anak di kelas kita aja ada 40 orang."
Aku melenguh, benar juga. Satu kelas memang wajibnya dua baris. Satu baris cewek dan satu-nya cowok. Sayangnya tidak memungkinkan membuat 20 siswa di masing-masing baris. Jadi dengan ide menajubkan entah siapa, dibuat barisan bercampur yang posisinya jauh dari kelas kami sendiri.
"Jadi ini dengan kelas siapa aja?"
"Semua angkatan,"jawab Alice. Ia mengangkat bahu kemudian menutup mulut begitu kami melihat Bu Agus, guru BP yang hobi mengawasi, datang ke barisan kami.
Perawakan dan sifatnya berbanding terbalik. Ketika seseorang melihat rupa Bu Agus saja, mungkin dia jatuh cinta dengan mata lentik dan hidung mancungnya.Belum lagi kulit sehat kuning langsatnya.
Dicatat, hanya melihat rupa, bukan keduanya.
Mau serupawan apa pun Bu Agus, tak ada yang berani sekedar berbincang dengan beliau. Guru itu lebih cerewet dari Bibi Ame dan lebih galak dari wali kelas-ku.
"Barisan ini! Siapa yang tidak membawa dasi dan topi? Keluar dari barisan segera!"
Aku melirik ke sekitar. Beberapa menunduk, berusaha tidak bertatapan dengan bola mata Bu Agus. Beberapa menyembunyikan rasa takut mereka di balik wajah polos dibuat-buat.
Seorang cewek di belakangku yang ikut berbaris menyolek punggungku. Memutar badan, memandangnya bertanya.
Ia menatap kepalaku, memberi kode kalau sesuatu yang seharusnya wajib dipakai tidak ada disana. Tanganku terangkat, tapi jari-jari menyentuh helaian rambut. Bukan sebuah topi yang di duga di kepalaku.
Kedua mataku terbelalak, berseru gusar. Buru-buru mencari sosok Bu Agus, yang ternyata sedang menarik 2 siswa keluar dari barisan.
"Aduh, gimana ini,"seruku pelan. Alice menoleh bingung.
"Kau tak lihat aku kelupaan topiku," ucapku lagi. Cewek itu memindahkan matanya dan menutup mulutnya dengan satu tangannya.
"Oh astaga, aku tidak sadar kau kemari tanpa topi."
Berdecak pelan, kubiarkan pandangan tidak enak dari Alice. Fokusku sekarang ke Bu Agus. Tinggal berharap guru itu tidak berniat menembus lebih jauh barisan ini.
Apa aku pura-pura sakit aja? Kabur ke UKS dan tidur disana. Tapi alasan apa belum upacara sudah lemes.Orang-orang tidak akan berpikir dua kali alasanku ke uks hanyalah kabur dari pemeriksaan.
Sampai kurasakan Bu Agus semakin mendekat, aku menunduk. Iya, menunduk. Menyerah dengan keadaan.
"Dasar ceroboh."
Sebuah tekanan pelan yang melindungi puncak kepalaku dan dua kali tepukan cukup membuatku membeku.
Sebuah topi entah datang darimana sudah bertengger indah di kepalaku. Aku menoleh ke si pelaku, dan menyipit. Seorang cowok yang di-kira dua kali lebih tinggi dariku, dengan seragam dan hoodie hijau dan masker gelap di wajahnya, berdiri di barisan sebelah.
Ia ikut menoleh. Membiarkan ku memproses dengan pikiran sampai kemudian ia keluar dari barisan dan pergi ke paling belakang.
"Ruby? Darimana kau dapat pinjaman?"
Aku menggeleng, mengembalikan lagi kesadaran yang tiba-tiba terbawa di suasana lain. Memandang sebentar Alice dengan wajah penasarannya, aku memutar tubuh. Mencari cowok itu di barisan belakang sana.
Tapi kedua mataku menangkap sosok cewek berambut sebahu yang mungkin sengaja di taruh di barisan cowok.
"Ruby?"
Kembali ke posisi semula, aku hanya mampu bergumam 'tidak tahu'. Isi kepalaku rasanya berputar-putar. Sampai menyadari, cowok itu memiliki iris mata sewarna laut. Rasanya pernah melihat seseorang bermata biru.
Kupejamkan mata sesaat, dan satu nama yang terpatri di ingatan. Neelam. Menggeleng gusar, kubuang jauh-jauh nama itu dari kepala.
Kalau dia bilang dirinya ilusi, kenapa pula bisa ada disini?
Alice menepuk pundakku, membuat perhatianku kembali padanya. "Kau beruntung. Hampir saja Bu Agus menyeretmu ke depan sana." Ditunjukknya siswa-siswa dekat area guru berbaris.
Aku lalu menaruh pandangan ke tempat yang dikatakan Alice lalu mengerinyit ngeri, seumur-umur berbaris paling depan saja tak pernah.
Bagaimana kalau Bu Agus memang mengeluarkanku dari barisan ini dan menyuruh ke sana? Menjadi contoh sebagai siswa yang tidak berpakaian lengkap?
Alice tertawa melihat raut mukaku. Ia kembali menghadap ke depan dan bersamaan pula upacara pun dimulai ketika suara pembaca acara upacara mengisi seluruh lapangan.
***
Selain alasanku tidak menyukai senin karena harus datang lebih awal dari biasanya, pelajaran yang mengisi hari ini sama sekali tidak menyenangkan.
Jam pertama dan kedua diisi sosiologi masih ku maklumi. Tetapi begitu masuk ke jam ketiga sampai akhir, rasanya aku ingin pindah kelas saja.
Seperti sekarang ini. Setelah bel masuk ke jam ketiga, Intan menarikku keluar. Di tangan kami sudah menenteng tas tangan yang berisi baju olahraga.
"Kayaknya langit cuman memamerkan awan setengah mendung saja," keluhku sembari menatap gumpalan putih gelap hampir mengisi seluruh cakrawala.
"Kau ini, Tiap mau masuk jam olahraga, doanya gak pernah berubah sama sekali."
"Niatku itu baik tau! Pernah dengar hujan membawa berkah kan?"
"Tapi kita juga butuh langit cerah,"kali ini Alice menyeletuk obrolan kami. Ia menyusul cepat dan berdiri di samping Intan sebelum bersuara kembali. "Hujan terus kapan kau olahraga."
"Tapi ini basket. Upacara kemudian olahraga tenagaku bakal habis," ucapku protes. Alice dan Intan terkekeh. Mereka tidak lagi membalas ucapanku.
Begitu sampai di kamar ganti, kami mendapati sebuah kertas tertempel di pintu itu dengan label 'Maintenance'.
Keningku berkerut, "Memangnya sekolah mau ngembangin apaan di kamar ganti?"
Alice mengangkat bahunya. Ia mencoba memutar gagang perak dan berakhir lepas begitu saja.
"Sepertinya kita tahu penyebabnya," kata Intan. "Ruang ganti di area kelas sepuluh terlalu jauh. Tidak cukup waktu bolak-balik dan sampai ke lapangan nanti. Kita harus ke ruang ganti area kelas 12."
Aku dan Alice berpandangan. Wajahku sudah hampir memucat, begitu pula Alice.
"Kenapa kalian berdua?"
"Tapi disana angker." Gumam Alice "Anak-anak kelas duabelas aja katanya pada ke tempat kita. Mepet-mepet, mereka ke area kelas sepuluh."
Aku mengangguk dan Intan menghela napas panjang.
"Kenapa kalian tidak masuk?"
Rahma dan beberapa teman sekelasku ikut menyusul. Di tangan mereka sudah memegang tas baju olahraga masing-masing.
Intan menunjuk pintu abu-abu itu. Dan sesuai dugaanku, raut wajah mereka tidak senang.
"Berapa lama lagi waktu kita ?" tanyaku ke Alice.
"Jangan tanya padaku. Aku tidak berani melihat jam sekarang."
"Aku lihat Pak Galih dengan anak-anak cowok. Mereka lagi ngeluarin bola basket dari ruang olahraga,"seru anak lainnya yang berdiri di belakang Rahma.
"Ya udahlah ke ruang ganti kelas 12 aja yok. Kita rame kok. Lagian itu kan gosip lama," Rahma mengusulkan idenya.
Aku dan Intan mengangguk, Disusul Alice dan anak-anak cewek lainnya. Namun setengah anak cewek kelasku memilih pergi ke ruang ganti area kelas sepuluh. Mereka belum siap uji nyali dengan sosok tak kasat mata yang asli.
Aku pun bimbang. Tapi kupikir lagi, resiko sebenarnya adalah aku ke ruang ganti kelas sepuluh.
Mungkin saja para pengisi daerah terlarang itu sedang pergi kan? Atau mungkin saja kami bisa membuktikan kalau itu semua tidak lebih dari isu belaka.
Begitu aku dan yang lain tiba di area tujuan, langkah kami pun berhenti. Ruang ganti itu tampak normal tapi tidak ada yang ingin bertaruh bagaimana di dalamnya.
Disebelah kiri ruangan ada pula gudang penuh dengan kursi meja tidak terpakai. Sedangkan sisi satunya adalahn wc umum rusak dan entah kapan diperbaiki. Pintu Gudang dan wc tertutup, digembok.
Aku berusaha menahan kedua mataku tidak menengok tetangga si ruang ganti. Meneguk ludah, kucoba memberanikan diri menyentuh gagang coklatnya dan membuka pintunya. Kudorong pintu itu. Dan alhasil mengeluarkan suara derit panjang antara kayu dan lantai.
Alice hampir melompat mundur. Tetapi Intan menahan cewek itu dan menyuruhku lewat matanya agar membuka pintunya lebih lebar.
Kuturuti dan mendorong pintunya lebih lebar.
Akhirnya isi ruangan itu ter-akses jelas. Aku melongo- tidak maksudku kami semua melongo. Ruang itu bersih, bahkan kukira lebih bersih dari ruang ganti kelas sepuluh dan sebelas. Lantai keramiknya seperti baru di pel karena harum sabun masih menguar. Bahkan disana ada lemari penyimpanan barang.
Dasar gosip sialan
"Ini yang dibilang angker?" Rahma setengah membuka mulutnya. Ia menggeleng heran sebelum masuk duluan. "Buruan kita ganti baju."
Kami semua mengangguk dan segera mengganti pakaian menjadi seragam olahraga. Beberapa kali Alice berseru kesal, mengatakan mungkin saja ini ulah kakak kelas kami sendiri. Menyebarkannya agar anak-anak kelas sepuluh dan sebelas memilih mundur dan tidak menginjakkan kaki disini. Seruan cewek itu malah dibalas setuju pula dengan yang lain.
Terkecuali aku dan Intan. Kami saling menatap, tidak ikut menimpali kelakar marah bercampur tawa mereka. Tapi aku tidak tahu apa yang dipikirkan Intan, apakah sama denganku atau tidak.
Bukankah seharusnya mencurigakan?
Itu sudah berlangsung sangat lama. Bahkan sebelum aku, Intan dan yang lain menjadi siswa di sma ini.
Ataukah gosip ini semacam tradisi?
Satu pikiran itu kurasa paling wajar. Bisa saja itu tradisi atau memang sengaja dibiarkan agar setidaknya ada sesuatu yang bisa dijadikan pengisi bosan.
Aku membayangkan, kelas duabelas menertawakan tingkah takut adik kelasnya. Mungkin mirip balas dendam turun temurun 2 tahun. Mengira ruangan ini angker selama itu, siapa yang tidak marah?
Melipat seragam putih abu-abu lalu memasukan semuanya ke tas, aku berniat keluar ruangan. Berlama-lama disini hanya memperbuah hukuman lari lapangan. Intan menegurku, memintanya menunggui cewek itu. Aku mengangguk dan keluar.
Namun suasana di luar ruang ganti tetap tidak seaman di dalamnya. Gudang dan wc di kanan-kiri-ku begitu mengganggu.
DOK...DOK...DOK
Aku tersentak mundur. Suara gedoran dari gudang tiba-tiba mewarnai sunyi. Aku melirik gembok yang terpasang di pintu, sebelum menengok keseluruhan bagian depan gudang. Wajahku memucat. Kurasakan bulir-bulir keringat membasahi pelipis.
Kenapa ada yang menggedor di dalam sana?
***