Ada sesuatu yang tidak asing tapi ragu untuk diakui. Dan bahkan tidak mungkin.
.
.
Aku berjinjit. Mencoba berdiri dengan bertopang jari-jari kaki, berharap tanganku bisa meraih sneakers pink yang entah sejak kapan di rak paling tinggi. Menahan napas panjang sampai peluh terasa di keningku. Dan..
Hap..
Menyeringai lebar, kutarik langsung sepasang alas kaki itu. Kupandang kesal keduanya dan bergumam keluh, "Sedang apa kalian di rak sana?"
Aku menghela napas pendek, lalu berjalan keluar rumah, mencari-cari Bibi Ame yang masih berkutat dengan pohon apelnya.
"Bibi Ame, aku ke tanah lapang ya,"panggilku. Aku duduk di bangku kayu taman, memasangkan sepatu itu ke kaki.
Wanita itu tidak bersuara, tapi kulihat dia mengangguk. Wajar saja, perhatiannya sudah penuh ke tanaman kesayangannya itu. Sudah hampir berbuah matang dan tinggal menunggu waktu sebelum dijual.
"Bye Bibi Ame."
Ku pegang tali tas kecil di bahu dan setengah berlari. Tanah lapang tidak begitu jauh. Ada kurang lebih 1 km kesana. Dan berjalan kaki bukanlah pilihan buruk. Apalagi di waktu sore. Aku membuka rasleting tas-ku, mengambil ponsel dan membuka pesan di whatsapp.
Fokus sampai tertawa geli dengan balasan Intan, tanpa sadar ku percepat langkahku. Begitu tinggal satu belokkan ku lalui, sudah kelihatan tanah lapang yang sampai waktu ini tetap berumput hijau. Hanya bedanya ditambah fasilitas keamanan seperti pos dan beberapa kursi panjang untuk istirahat. Lampu sorot tinggi yang biasanya menyala menjelang magrib sudah bertambah dimana-mana. Bahkan beberapa ayunan berwarna pelangi ikut mempercantik. Pedagang makanan dan minuman tidak kalah banyak, menambah suasana ramai.
Tanah lapang itu berangsur-angsur hampir serupa dengan lapangan rumput. Di sejumlah bagian lokasinya, ada yang di rombak menjadi lapangan basket dan voli.
Aku setengah berlari ke pos dua. Melihat ke sekeliling, mungkin-mungkin mendapati Intan yang bisa saja pergi membeli jajanan. Gadis itu suka sekali ngemil, herannya tidak gemuk sama sekali. Membuatku iri saja.
Merasakan ada getaran di ponselku, aku memeriksanya. Sampai-sampai tidak menyadari langkahku berhenti begitu saja.
Brukk..
Dan voila, benda kesayanganku terlepas dari genggamanku dan mendarat ke permukaan keras. Buru-buru ku ambil ponsel itu, berharap tidak terjadi apa.
"Ini lapangan, bukan jalan raya. Tidak lihat orang lalu lalang?"
Aku mendecak pelan. Sudah dia yang nabrak kenapa pula dia protes? Jelas-jelas aku berdiri di pinggir! Aku pun berbalik ke pemilik suara.
Seorang cowok dengan pakaian serba hijau gelap, bermasker hitambdan bertopi baseball hitam, melirikku hampir sinis. Dia bahkan hanya menengok dari ujung mata-nya.
Aku mendengus, pergi darisana karena malas meladeninya. Kepentinganku sekarang adalah Intan. Dia bisa saja men-cereweti-ku kalau tiba sangat lambat. Jadi daripada menghabiskan energi-ku ke cowok itu dan ujungnya juga Intan memberi kata ceramahnya, aku mundur.
Begitu aku tiba di pos 2, terlihat sahabat-ku itu duduk di bangku panjang sendiri. Dia dengan tidak memerdulikan sekitarnya, melahap sate donat. Di pangkuannya masih ada jajanan lain.
Padahal di sebelahnya jelas-jelas ada yang pacaran.
Aku berusaha menahan tawa dan menghampiri Intan. "Huuuhhh...kayaknya niatmu kesini buat makanan," gumamku sengaja sedikit keras.
Intan menoleh. Kedua alisnya menyatu dan raut wajahnya mulai aneh. "Kau lama sekali! Aku hampir mati kebosanan disini." Ucapnya dengan mulut yang masih setengah mengunyah.
Aku mencibir, "Bosan apanya? Kulihat malah kau sedang sibuk."
Gadis itu mengangkat bahunya cepat. Dia menghabiskan sisa donat tangannya dan membungkus yang ada dipangkuan sebelum menyimpannya di ransel mini.
"Tasmu bisa kotor,mbak. Mana putih lagi warnanya."
"Apa sih. Ini tinggal dicuci aja,"balasnya. Disandangnya tas mini itu lalu bangun dan berjalan ke arahku.
"Jadi, darimana kita mulai?"
Dan aku pun menjelaskan beberapa hal teori sebelum masuk ke inti utama. Sepanjang menjelaskan, kami sesekali berhenti karena ada beberapa materi yang perlu kujabarkan pelan-pelan ke Intan. Sahabat-ku ini manggut-manggut. Entah dia paham atau tidak, aku menjelaskan semuanya. Sampai kami tak sadar kedua kaki kami membawa kami ke lapangan basket.
"Oh, jadi sebelum kita kaitkan ke teori perilaku itu, perlu objek pengamat-nya kah?"
Aku mengangguk. "Dan ini perlu waktu. Tapi karena batas dikumpulkan sampai besok, kukira kita pakai cara cepatnya aja."
"Tapi gak apa-apa tuh pakai cara itu?"
Menyeringai kecil aku mengangguk lagi. "Iya. Kita hanya perlu..-"
Bruk..
Dan ucapanku serta langkahku terpaksa berhenti begitu saja. Tubuhku hampir oleng menimpa seseorang yang sepertinya berhenti di tengah jalan. Begitu aku menoleh, sosok cowok bertopi hitam berpakaian serba hijau gelap dan bermasker hitamtadi, berdiri dengan raut di mata yang tidak senang.
Aku menghela napas, berusaha mengusir rasa kesal karena sejak tadi bersinggungan dengan orang ini.
"Kau lagi? Tidak bosan bermain tabrak-tabrakan?"
Heee...kau kira kita bermain Rugby?
Mendecih pelan, aku menggumamkan kata sorry. Sungguh tidak ada kaidahnya mencari ribut dengan manusia serba tertutup di depanku ini. Dan sialnya, seakan belum puas, cowok itu meraih lengan kiri-ku. Memaksaku kembali berdiri berhadapan dengannya seperti sebelumnya.
"Aku belum selesai!"
Kali ini aku mendecak. Dan perilaku-ku itu malah membuat cowok itu bertambah sewot.
God...tugasku bahkan belum mulai. Kenapa harus bertemu cowok menyebalkan.
"Tapi aku sudah minta maaf," ujarku menahan intonasi tinggi sebelum menambah masalah lain.
"Kau kira semudah itu? Tidak lihat jelas-jelas aku berdiri di depanmu?"
"Yah siapa suruh berhenti. Ini lapangan, bukan jalan raya." Aku memutar kedua bola mata, meniru ucapan cowok itu sebelumnya.
"Tapi kedua matamu masih bisa berguna kan?" Aku merasakan suaranya mulai dalam dan samar terdengar menggeram.
Kulirik Intan yang sejak tadi diam memperhatikan cowok di depanku ini. Matanya membulat tapi ada sinar tidak yakin disana.
Yah, dia malah diam aja.
"Bocah, kau tidak dengar heh?"
Aku mendelik sebal ke arahnya. Enak saja manggil bocah. Dia tidak tahu sekarang aku kelas 11 SMA?
"Paman, aku sungguh tidak sengaja," ujarku sengaja membalas panggilannya. Dia kira, aku mau saja mengalah begitu?
"Siapa yang kau panggil paman?"
"Kau juga, ngapain manggil aku bocah?"
Aku menarik lenganku dari genggamannya. Tapi usahaku hanya memperbuah rasa sakit disana.
"Sudah kubilang aku belum selesai."
Dia mengangkat satu alisnya. Sialan emang.
"Ck, bukannya impas?"
Kali ini aku menyenggol Intan dengan tanganku yang lain, membangunkannya dari lamunan berkepanjangan.
Intan menggelengkan kepalanya, dan akhirnya menatapku yang sudah sejak tadi mengiriminya kode 'Bantuin dong!'
"Kakak..maaf-kan teman ku ini. Dia sungguh tidak sengaja."
Cowok asing itu menoleh Intan sebentar. Tapi kedua matanya kembali ke arahku yang tetap memandangnya kesal.
"Kalau kau tidak melepaskanku, berteriak memanggilmu penculik bukan hal sulit." Tentu saja yang mendengarku akan percaya. Hampir keseluruhan pakaiannya itu gelap. Aku bahkan mengira, warna matanya yang samar-samar biru, lebih kelihatan dibandingkan pakaian hijau gelapnya.
"Menculikmu? Angan-anganmu itu terlalu tinggi, dasar gadis pendek." Dia melepaskan genggaman tangannya dan pergi berlalu begitu saja.
Apa katanya? Gadis pendek? Udah bocah sekarang gadis pendek?
Aku menghentakkan kakiku ke tanah, semakin kesal. "Argh..dasar tiang lampu berjalan!"
Disebelahku, Intan terkekeh menertawai nasib ku yang tidak beruntung. Aku melirik kesal ke arahnya, "Kau jahat sekali tidak membantuku."
Intan menggeleng pelan dan menyeringai lebar,"Siapa yang akan menolak drama sabun yang dibuat seorang Ruby."
***
Hari mulai menjelang malam. Aku melihat waktu di ponselku sudah di jam setengah tujuh. Dan semua lampu di tanah lapang ini menyala, menerangi setiap sudut gelap tempat.
Tugasku dan Intan sudah selesai. Kami memang berencana sekalian mengkaitkan teorinya di bangku panjang tempat Intan menungguku tadi. Dan sekarang, dengan rasa lapar yang sulit terhindar, kami berdua memutuskan membeli nasi goreng dan es tebu.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau melamun tadi?" Aku mengungkit kejadian sore tadi ke gadis itu.
"Kejadian mana dulu?"tanyanya dengan senyum geli.
"Serius ini. Rasaku tadi sudah menyenggol bahu dan lenganmu tapi kau diam saja,"gerutuku.
Intan diam sebentar. Aku menatapnya bingung begitu mendapati keningnya berkerut.
"Weh malah melamun." Kusenggol tubuhnya dan sukses hampir membuatnya jatuh. Air mukanya berubah kesal tapi aku memilih menertawainya.
"Cuman ngerasa familiar. Itu doang."
"Kau diam saja dengan begitu lama hanya memikirkan itu?"
"Ck, kau akan kaget tahu kalau aku mengatakan familiar ke siapa."
Aku mendengus, "Lenganku yang ternoda kurasa lebih penting dari lamunanmu itu."
Intan ikut-ikutan mendengus,"Ternoda? Bilang aja kau senang. Lagipula kulihat dia hanya memegang."
"Menggenggam! Kau tak lihat tadi hampir merah?" Seruku. Kali ini aku yang beraut wajah kesal dan dia menertawaiku.
"Coba jelaskan alasanmu itu."
Intan menghela napasnya panjang. "Aku hampir mati berdiri tadi tahu."
"Tenang aja kau masih bernapas dan hidup di depanku,"ucapku. Kedua mataku tiba-tiba hijau mendapati es tebu kami tiba.
Dia mendelik, tapi melanjutkan juga penjelasannya. "Aku mengira dia itu adalah Kak Hazel."
Dan tahukah bagaimana akibat Intan mengatakan itu, air yang seharusnya mengalir tenang di tenggorokanku mendadak terasa tersangkut.
"He...kau sih minumnya buru-buru." Dia menepuk punggungku, mengambil segelas air mineral dan memberikannya kepadaku.
Setelah kupikir tenggorokanku membaik, aku mendecak pelan. "Kau sendiri yang mengatakan hal bodoh."
"Hal bodoh apaan?"
"Yang kau bilang itu, mengira tu cowok Kak Hazel. Gak mungkin lah, jangan sampe. Manusia tengil gitu disamain dengan ilmuan sekolah."
Intan meringis mendengar ucapanku. Tapi gadis itu mengangguk juga.
"Apa alasanmu mengira dia kakak kelas kita?" Aku bertanya lagi. Intan bereaksi seperti tadi tentu ada alasan sendiri.
"Kedua bola matanya dan suaranya sih." Dia menggosok pelipisnya, mencoba mengingat sesuatu.
"Memangnya Kak Hazel tampangnya gimana sih? Aku gak pernah liat,"kataku. Jujur saja, aku sampai detik ini tidak tahu bagaimana rupanya. Karena aku hanya mendengar pujian ke Kak Hazel yang tidak jauh-jauh dari ganteng, pinter, tajir.
Yaelah, cowok yang punya 3 hal itu, gak bahaya apa?
Intan mendecak. Sepertinya dia sudah mencoba bersabar dengan ketidaktahuanku.
"Itu lah kan.."
"Serius ini. Aku tahu hampir setiap waktu, jarang pake banget berkeliling area sekolah. Tapi apa yang lebih menarik dari sains?" Ucapku panjang lebar. Kulirik Intan yang ingin berkata-kata lagi, mau tidak mau menelan semuanya.
"Buka aja ig-nya." Dia menyebutkan nama akun-nya dan begitu ku search hasilnya akun kakak itu di privat.
"Kau memang tidak follow?"
"Udah cuman gak di accept sih. Kudengar dari yang lain, katanya susah menerima semua permintaan follow yang dia kenal."
Aku menaikkan alisku sebelah. Oh, tipikal calon selebgram rupanya.
"Kalau kau mau tahu, ada foto candid -nya di grup cewek kelas kita tuh. Masa tidak pernah kau lihat."
Kedua mataku membulat. Serius nih? Ngapain ada foto cowok nyasar ke grup kelas?
Dan begitu berniat ku buka, keningku berkerut. Notif line yang tidak terbaca ada 999+. Intan ikut menengok ke ponselku dan dia lagi-lagi bergumam menyebalkan.
"Kapan terakhir kali kau membaca pesan di grup cewek?"
"Waktu Alice invite," Jawabku tanpa rasa bersalah.
"Pantas saja kau diam doang kalau lagi ngumpul sama yang lain." Intan menepuk keningnya lalu menatapku kesal.
Aku mendengus, untuk apa ikut membahas kalau isinya hampir semua membahas cowok.
"Sini pinjamin hape-mu." Dia merampas ponsel-ku dan memencet beberapa notif sampai ke bagian gambar. Jari-jarinya sibuk meng-scroll, mencari-cari foto seseorang.
Aku hampir saja menunggunya bosan kalau nasi goreng kami tidak datang.
"Ini ya kak, selamat makan."
Kakak berambut sebahu mengantar pesanan kami. Aku mengangguk dan menarik piring dari tengah meja lebih mendekat ke arahku
"Nah ini..ini Kak Hazel." Aku menjulurkan kepalaku, menoleh ke ponsel yang di taruh di atas meja.
Di foto itu, seorang cowok dengan kaus biru gelap panjang se-lengan, celana krem dan sepatu putih miliknya, tampak sibuk dengan jajanan yang kemungkinan ice cream.
"Tidak begitu jelas pun."ucapku sembari memulai suapan nasi goreng.
"Namanya juga candid. Foto lainnya sudah expired. Susah dibuka." Intan bergumam asal. Ia ikut menyendok nasi gorengnya ke mulut.
Aku melirik lagi foto itu. Ada sesuatu yang tidak asing tapi ragu untuk diakui. Dan bahkan tidak mungkin.
***