Chereads / KALOPSIA / Chapter 2 - Glance of Face

Chapter 2 - Glance of Face

Bayangan itu sosok laki-laki. Berada di samping pohon mangga, menunggu.

.

.

Bau sisa hujan tadi siang menggoda penciumanku dan memaksa mata menengok jendela kemudian jam dinding kelas, sebelum mengeluh panjang- lagi.

Sempat pula ku lirik Intan, teman semejaku yang setia dengan novel setebal kamus dan dua earphone hitam menggantung di telinganya. Dua bungkus jajanan kacang di atas meja menambah rasa nyaman dirinya dan bukunya.

Dasar penikmat fiksi.

Aku memanjangkan kaki sampai melewati panjang meja. Bersedekap dada sembari memusatkan pandangan ke papan tulis putih yang penuh rumus rumit pelajaran sebelumnya.

"Kau hanya perlu menunggu 30 menit lagi sebelum diizinkan pulang, Ruby," kekeh Intan.

Ku balas dengan decakan malas. Dia bisa bilang begini juga karena ada novel kelewat tebal itu.

"Sejak sejam yang lalu kelas kita kosong pelajaran. Tahu begini aku langsung pulang," gumamku.

"Hujan bego! Daripada basah dan sakit, mending di kelas," balasnya tanpa mengalihkan perhatian dari huruf-huruf buku yang membentuk kalimat.

"Bodo amat! Kau tak lihat setengah penduduk kelas sudah berkurang?" Cibirku. Tapi dia kembali terkekeh dan kali ini lebih keras.

Aku memutar kedua bola, mendapati reaksi menyebalkannya, lalu melirik jendela lagi. Memastikan langit tidak lagi berniat menumpahkan seember air ke bumi. Tidak sebelum tubuhku bergelung di bawah selimut.

Aku bangun dari kursi, sejenak mengusir rasa pegal di punggung yang seharian ini duduk. Berniat melihat keadaan luar, mataku menyipit ketika mendapati seorang laki-laki dengan hoodie hijau dan celana abu-abu SMA, datang dari sisi gedung area kelas 12. Ia merenggangkan tubuhnya sebelum menduduki permukaan balok dinding ring basket.

'Aneh. Kukira kelas 12 sudah selesai jam satu siang tadi.' Pikirku. Mataku kembali menengok jam dinding yang berada di angka setengah 5.

Seperti bingung dengan gelagatku, Intan mencabut earphone dari telinganya dan mènaruh novel di atas meja sebelum ikut berdiri dan melihat keluar jendela. Kedua alisnya bertaut, dan kening Intan berkerut.

"Siapa dia? Aku tidak pernah lihat kakak itu sebelumnya."

Mengangkat bahu aku menghela napas, "Anak kelas 12 sepertinya. Tadi kulihat sendiri dia keluar dari area sana."

"Dia pakai hoodie osis sekolah. Dan aku gak ingat pernah liat di rapat sebelumnya." Intan menyenggol bahuku.

Keningku berkerut. Intan memang pengurus osis, salah satu siswa yang mewakili kelas 11. Tentu dia mengenal siapa saja orang-orang disana. Makanya aneh Intan mengatakan tidak mengenal laki-laki itu di osis, padahal jelas ia menggunakan hoodie kepengurusan mereka.

Well, osis di sekolahku diberi satu kelonggaran cara berpakaiannya. Yaitu dengsn menggunakan sesuatu yang menjadi ciri khas. Dan tiap pergantian pengurus, ada saja yang beda. Entah itu warna hoodie, pin, atau badge di seragam harian.

Sebentar aku dan Intan saling menatap, kami berdua berniat menengok lagi kakak itu. Mataku membulat. Sosoknya hilang seakan tidak pernah ada orang disana.

Pandanganku berkeliaran ke lapangan. Ke bangunan kelas 12. Ke pelataran parkir mobil. Tidak ada. Kosong.

Penasaran, aku menggeser kursi ke belakang dan berjalan cepat keluar kelas. Tidak mungkin mataku salah lihat. Intan saja ikut melihat laki-laki ber-hoodie hijau itu.

"Mungkin dia kembali ke gedung kelas 12, Ruby," ujar Intan walau nada di suaranya tidak yakin. Ia ikut keluar dari kelas dan berdiri di sampingku yang masih melarikan pandangan ke segala arah.

"Mungkin," kataku, mencoba mempercayai ucapan teman berambut gelombang-ku ini. "Lagipula kenapa kita heboh sampai keluar kelas?" Tambahku menyelipkan sarat geli disana.

"Kita? Kau saja yah."

Aku memajukan bibirku, huh jelas-jelas dia ikut berkomentar tadi. Sampai aku teringat sesuatu dengan perkataan Intan perihal tidak mengenal kakak kelas tadi.

"Kau yakin dengan ucapanmu tadi?"

"Yang mana?" Ia bersedekap dada, menunggu pertanyaanku lebih jelas.

"Tidak pernah lihat dia. Kau yakin?"

Sejenak ia mengalihkan pandangannya ke lapangan. Kedua matanya tertutup, mungkin mencoba mengingat siswa kelas 12 yang menjabat pengurus osis. Sampai kedua mata itu terbuka, ia berucap pelan.

" Hanya ada satu yang tidak pernah kelihatan sih." Intan kembali berbalik dan menatapku. "Kau juga tahu siapa dia kan. Harusnya sudah rahasia umum."

Kugigit bibir bawahku dan mengangguk. Mengenyahkan bau-bau spiritual dari kepalaku. "Aku bersumpah dia napak."

"Kabar dia sudah tidak ada itu salah. Terakhir ku dengar, Kak Hazel belum pulih dari koma," jelasnya. Intan menjulurkan tangannya, melingkari bahuku. "Kau ini gampang termakan gosip. Aku kasihan yang menjadi cowokmu besok."

Ku tepis tangannya dan berjalan ke kelas "Itu desas-desus. Dan tidak ada hubungannya asmaraku dengan gosip." Gadis itu menarik senyum menyebalkan di wajahnya dan mengekoriku.

Kembali melirik jam yang belum juga di angka pulang, aku berhenti di satu barisan meja, membiarkan Intan mendahului kembali ke tempat kami. Perasaanku masih mengganggu isi pikiran.

"Gila! Udah pada pulang dong. Aku baru sadar tinggal kita berdua di kelas." Gadis itu mendengus, memperhatikan seisi kursi yang sudah berkosongan. "Kau masih kepikiran yang tadi?"

Aku mengangguk. Ada satu pertanyaan di kepalaku yang sebenarnya sudah tahu jawabannya. "Apa kau pernah lihat wajah Kak Hazel?"

Bukannya menjawab, ia berdecak keras. "Ini lah akibat kau terus berkutat dengan buku sains dan disney-mu. Kemana saja kau selama upacara tiap hari senin, huh? Mengambil posisi terbelakang dan melamun di setiap pengumuman juara sekolah. "

Aku meringis. Yeah, salahku lebih suka berdiri di barisan paling belakang, mengacuhkan setiap pengumuman siswa berbakat dan mengharumkan nama sekolah. Samar-samar aku mulai mengenali nama Hazel.

"Jadi dia siapa?"tanyaku sedikit bimbang. Tapi Intan sudah siap-siap melempari ceramah menyakitkan telinga lagi. "Ayolah, kau tidak kasihan aku jadi orang paling kudet disini?"

Intan menghela napas panjang. Ia memberi kode agar aku kembali duduk ke kursiku. Sembari ia mencoba mengatur kata-kata, aku berjalan ke kursi dan duduk disana.

"Dia anak ipa. Sejak kelas 10 sudah dikenal dengan multitalenta-nya yang gak main-main. Puncaknya, Kak Hazel tidak hanya menaikkan nama sekolah. Dia peraih IBO medali perak, mewakili negara. Sampai sesuatu terjadi padanya. Ini ketika pemilihan ketua osis." Intan mengetuk meja dengan satu jarinya, menekankan bagian akhir kalimatnya.

Aku tahu bagian ini. Kandidat pemenang ketua sebenarnya mengalami kecelakaan dan harus digantikan orang lain. Hanya itu yang ku dengar. Itu pun dari Alice dan beberapa siswi di kelasku yang suka sekali bergosip. Cukup gempar dan menyayat banyak hati terutama perempuan.

"Dan?"

"Ketua osis baru itu Kak Hazel. Baru seminggu dia menjabat, sesuatu terjadi padanya dan koma sampai saat ini." Intan menghela napasnya pendek. Raut wajahnya tidak terbaca. Ia bersedih tentu saja, mengingat Intan mungkin pernah bergaul karena di satu kepengurusan.

"Lalu, apa kau masih familiar dengan wajahnya? Kau tahu, itu sudah hampir setahun."

Ia menyeringai, "Wajahnya kelewat tampan itu mana bisa terlupa, Ruby."

Aku mendecih, tapi melanjutkan pertanyaanku. "Kalau begitu, apa laki-laki yang kita tadi lihat itu, Kak Hazel?"

"Aku takut mengatakan ini. Tapi sekilas mirip. Cukup sulit melihat dari jarak tadi. Belum lagi dia duduk menyamping," ucapnya. Intan melirik jam dinding sebelum melanjutkan kata-katanya. "Kita pulang saja lah. Pr sosiologi hari ini agak lain."

Mengangguk samar, aku sekali lagi mengalihkan perhatian keluar jendela. 'Mungkin hanya halusinasi kami saja.' Ku masukkan semua alat tulis dan buku ke tas, kemudian menyandangnya.

Aku dan Intan berjalan keluar kelas. Menengok sekitar memastikan tidak ada guru yang lewat. Tidak masalah sih kalau memang berpapasan dengan guru. Hanya saja kami malas menjelaskan alasan pulang cepat.

"Kira-kira kapan kau mulai observasi?"

"Besok paling. Minggu menjelang sore seharusnya ramai di tanah lapang." Jawabku sembari mengangkat bahu.

"Aku ikut deh. Rasanya otak-ku gak nyampe ngerjain pr-nya,"keluh Intan. Dia mengangkat kedua tangannya menyerah.

"Kau selalu sibuk dengan semua novel tebal-mu. Lihat sekarang hasilnya," ejekku.

Gadis itu melengos tidak perduli. Mengibaskan tangan dan bergumam, "Mendapat ilmu tidak hanya di buku pelajaran. Wawasan di novel ada gunanya juga."

Sudahkah kukatakan kalau sahabat-ku ini maniak fiksi?

Aku memutar kedua bola mata dengan responnya. Tinggal beberapa langkah lagi kami berdua sampai ke gerbang sekolah.

"Aneh sekali." Kulirik Intan yang tiba-tiba berhenti dan menengok area parkir mobil. Pandangan matanya tertuju ke satu mobil Suzuki hitam di dekat pohon beringin.

"Kenapa?"

Dia diam sebentar, kemudian berkata samar. "Aku yakin itu mobil Kak Hazel."

"Mungkin saudara atau keluarganya datang." Aku menepuk bahu Intan yang anehnya menegang. "Sebaiknya kita pulang saja."

Dia setengah mengangguk, menghela napas panjang dan berjalan mendahuluiku. Aku melirik lagi mobil itu dan mengerutkan kening.

Ada kilasan bayangan seorang laki-laki di kursi pengemudi. Kedua tangannya bertumpu di atas setir. Dan mungkin perasaanku saja, pandangan matanya dari kaca mobil, menatap lurus ke arahku.

Bukannya tadi disana gak ada orang?

"Ruby!" Intan berteriak memanggil, memutuskan tatapanku dengan siapapun disana.

"Iya..iya.." menepis rasa penasaranku, aku setengah berlari menyusul Intan yang menungguku di luar gerbang.

***

Ugh akhirnya bertemu dengan guling-ku

Kulempar tas ke atas meja belajar, dan merentangkan kedua tangan menyambut kenyamanan empuknya kasur dan bantal. Menutup mata, sembari menghirup bau seprai yang baru diganti. Tiap seminggu sekali aku mengganti semuanya. Contohnya hari ini. Sengaja bangun lebih pagi guna membersihkan kamar sebelum berleha-leha setelah pulang sekolah. Apalagi besoknya hari minggu.

Tapi sepertinya niat tidak keluar kamar bakalan jadi angan. Tugas sosiologi sudah menunggu di depan mata dan perlu dikerjakan sampai dikumpul senin nanti.

Hahh...

Menghela napas pendek, aku membalikkan badanku, menatap langit kamar berwarna soft cream. Samar ku dengar sesuatu yang mengetuk jendela. Dan begitu kulihat, ranting pohon mangga milik Bibi Ame bergerak-gerak karena angin.

Besar kemungkinan bakalan hujan lagi. Akhir-akhir ini Bogor memang sedang mendung-mendungnya. Cahaya matahari saja masih timbul tenggelam sekedar untuk keluar.

Dengan enggan, Aku bangun dan berjalan ke jendela kamarku, berniat menutup kaca jendela dan menarik gorden biru-ku yang tidaklah tebal. Mencoba meraih daun jendela yang terbuka lebar, kilasan bayangan tertangkap di ujung mata. Aku membeku, tidak berani memfokuskan pandangan ke pemilik bayangan yang jelas itu adalah orang. Bayangan itu sosok laki-laki. Berada di samping pohon mangga, menunggu.

Salah lihat...aku pasti salah lihat.

Buru-buru ku raih kedua daun jendela sebelum menguncinya dari dalam. Menarik gorden biru, aku tetap berdiri di depan jendela

Aku mengangkat kepalaku, menyipit ke jendela yang sudah tertutup gorden, memastikan kalau kilasan itu fatamorgana.

Sayangnya disana hanya pohon mangga, berdiri dengan beberapa buah setengah matang dan ranting di sekitarnya.

***

IBO : International Biology Olimpiad