Chereads / Yang Tak Terungkap / Chapter 2 - 1

Chapter 2 - 1

Jangan terlalu memaksa saat kita ingin memiliki.

Fathan Agam Byantara

Bagaimana rasanya jatuh cinta? Pasti menyenangkan, membayangkan semua hal menjadi indah. Hari-hari penuh bahagia. Tapi bagaimana jika cinta itu salah , bukan pada tempatnya. Kau jatuh cinta pada sahabatmu sendiri lalu kau harus memendam perasaan itu. Bukankah itu hanya membuat keadaan di antara kalian menjadi canggung.

Orang yang hanya memendam cintanya, hanya bisa memandangi pujaan hatinya dari jauh. Menghayal, berandai-andai akan saling memiliki dan menyayangi. Tapi jika khayalan itu tidak terwujud maka sakit yang akan kalian rasakan.

Jangan terlalu berharap saat kita ingin memiliki. Karena apa yang tidak pernah kita sentuh, tidak akan pernah tahu tentang perasaan kita.

Dan itulah aku saat ini, jatuh cinta pada sahabatku sendiri, Haden Rafasya Ananta. Ini adalah tahun ke tigaku bersahabat dengannya. Dan ini tahun ke tigaku pula, menjadi pengagum rahasianya. Haden orang yang selalu ada di dekatku, orang yang mampu membuat perasaanku campur aduk, membuatku kepanasan saat musim penghujan dan membuatku merasa dingin saat musim kemarau.

Membuatku merasa resah, dengan segala keraguan di hatiku.

Aku baru saja sampai di kamarku. Tiga hari aku pulang ke rumah, kemarin kakakku menikah dan aku ijin tidak masuk sekolah dan meninggalkan asrama. Tiga hari tidak melihat Haden saja rasanya sudah membuatku galau. Jujur aku merindukannya. Selama tiga hari dia tidak menghubungiku, yang aku tahu dia sedang sibuk latihan untuk mengikuti Liga Sepak Bola antar Sekolah.

Haden Rafasya Ananta, teman sekamarku. Aku mengenalnya sejak kami duduk di bangku kelas dua SMP. Kami berdua menjadi sahabat sejak itu. Di mana ada aku pasti ada Haden, begitupun sebaliknya. Kami sudah seperti sepasang sepatu. Aku sebelah kanan dan Haden sebelah kiri. Apapun tentangnya aku mengetahui semuanya, sama sepertiku Haden pun sangat mengenaliku luar dan dalamku. Hanya satu yang tidak ia ketahui, perasaanku padanya.

Seperti sepatu, meski kami sepasang tapi kami tidak pernah bisa bersatu. Meski kami berjalan seiring, berlari bersama tapi kami tak bisa apa-apa. Kami berdua seolah saling melengkapi. Saling bertanya saat kami harus berbeda tempat. Saling bertukar kabar saat kami terpisah.

Aku menghembuskan nafas perlahan, ditinggal tiga hari kamar ini benar-benar sudah seperti kamar anak lelaki -berantakan- apalagi bagian sisi kamar milik Haden, aku bisa mencium pakain kotornya yang dia gantungkan di tepian ranjangnya. Aku hendak membereskan pakain kotor itu sampai tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kulirik dari ekor mataku, Haden sudah berdiri di ambang pintu. Tas olahraganya tergantung di pundak sebelah kanan, peluh di dahinya masih menetes. Bisa kulihat, seragam sepak bolanya sudah basah penuh keringat. Ia berjalan masuk sembari mengelap peluh di dahinya menggunakan handuk kecil yang aku belikan saat kami pergi bersama.

"Kapan elo balik, Gam?" Dia meletakkan tasnya di samping rak sepatu.

"Barusan, nih." Aku menyodorkan sebotol air minum yang ada di atas meja belajarku. Tanpa berpikir panjang dia menyautnya, dan segera meneguknya penuh nafsu. Aku bisa melihat jakun milik Haden naik-turun membuatku harus menelan ludah berkali. Melihat Haden penuh dengan keringat seperti ini benar-benar membuatku harus menjaga sikap. "Nggak usah dicuci, Gam. Nanti gue bawa ke laundry aja." Aku tersenyum mendengarnya, aku tahu ini awal bulan dan kartu atm milik Haden pasti sedang penuh-penuhnya, jadi dia memakai jasa Laundry. Aku sudah sangat paham dengan kebiasaan Haden.

"Tante kirim berapa, Den?"  Ledekku padanya.

"Lumayan, bisa buat traktir elo makan di restoran ayam." Haden memainkan alisnya naik-turun, menggodaku. Itu jurus andalan Haden untuk menyogokku agar mau membantunya. Sebenarnya tanpa sogokan pun aku ikhlas membantunya, entah itu dalam materi sekolah ataupun kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari misalnya aku membantu mencuci pakaian miliknya, menemaninya latihan sepak bola, atau sekedar membelikan makanan untuknya. Aku memang seperti seorang istri untuk Haden, tapi jujur aku menikmatinya dan Haden pun tidak keberatan saat aku melakukan itu. "Eh, nanti malem keluar yuk." Haden duduk di kursi belajarku, sedangkan aku masih membereskan pakaian kotor miliknya.

"Mau kemana?"

"Nonton, ada film horor baru."

Aku segera menoleh ke arah Haden, aku paling tidak suka dengan film horor. Dari dulu, Haden pun tahu kalau aku paling anti dengan film horor. "Nggak, Den. Mending aku nyuci ini." Ku dengar Haden tertawa mendengar jawabanku. Aku yakin sebentar lagi dia akan meledekku. Aku sudah hapal dengan tingkahnya.

"Iya deh, kalo gitu jalan aja. Gue sumpek, capek seharian latihan."

"Mending tidur, Den." Dia memang tipe anak yang suka sekali hang out, apalagi jika awal bulan seperti ini. Menghabiskan uang saku yang orang tuanya kirim untuk hal-hal yang tidak perlu. Dia tipe orang yang tidak terlalu memikirkan bagaimana hari esok, "let it be" begitu prinsipnya. Berbeda denganku yang selalu khawatir dengan bagaimana hari esok. Oleh karena itu, aku dan Haden memang pasangan yang cocok, saling melengkapi. Sayangnya aku dan dia sama, sama-sama lelaki.

* * *

Pukul setengah delapan malam, aku kembali dari kantin asrama. Aku membawa satu bungkus nasi goreng untuk Haden. Tadi sore setelah mandi Haden tidur dan sampai sekarang dia belum bangun. Benar-benar nyenyak, aku tidak tega untuk membangunkannya. Jadi aku putuskan untuk membeli sebungkus nasi goreng kesukaannya. Aku yakin dia tidak akan beranjak lagi dari ranjangnya, dia terlalu malas untuk pergi ke kantin.

Sampai di depan kamar aku perlahan memutar kenop pintu, takut kalau suara pintu yang keras akan membangunkan Haden. Ku longok sebentar ke arah dalam, Haden masih tertidur pulas dengkuran yang keluar dari mulutnya masih terdengar di telingaku. Aku meletakkan bungkusan nasi goreng di atas meja belajarku. Aku hendak mengabaikan Haden yang sedang tertidur, tapi terlalu sayang. Tidak akan ada kesempatan seperti ini lagi. Perlahan aku berjalan menghampiri Haden.

Aku berjongkok di samping ranjang Haden, tanganku terangkat dengan ragu. Jemariku meraba pipi Haden perlahan, aku takut membangunkannya. Aku sering sekali melakukan hal ini, dengan begini saja aku sudah merasa bahagia. Meski harus secara sembunyi-sembunyi. Kurapikan rambut kecil di dahi Haden, aku tersenyum sendiri entah kenapa. Aku masih terus memandangi wajahnya, sampai kulihat perlahan kelopak mata Haden bergerak. Aku segera bangun dari posisiku.

"G-gam ... jam berapa?"

Aku kaget sekali rasanya, apa kegiatanku tadi mengganggu tidurnya. "Jam setengah delapan."

"Lo udah makan?"

"Udah, itu gue bawain nasi goreng." Aku menunjuk bungkusan yang ada di atas meja belajarku. Aku tidak berani menoleh ke arah Haden. Aku selalu salah tingkah seperti ini. Kudengar decit ranjang berbunyi, sepertinya Haden bangun dari tidurnya. "Makasih, elo emang paling ngerti gue." Haden mengacak rambutku lalu berjalan menuju belajar. Asataga Haden, andai elo tahu apa yang gue simpen selama ini. Apa elo masih mau buat melakukan hal itu ke gue?

Tbc...

Happy Reading