Membalikan Hati tak semudah membalikan telapak tangan, menghapus masalalu tak semudah menghapus jawaban di lembar Ujian.
Fathan Agam Byantara
Satu kenangan yang menyakitkan pasti akan sulit untuk dilupakan. Semakin kau mencoba untuk melupakannya maka semakin gencar pula kenangan itu merongrongmu. Yang hanya bisa kau lakukan adalah berdamai dengan masa lalumu dan rasa sakitmu. Mungkin itu sulit, tapi itulah caranya. Nikmati prosesnya maka kau akan mengerti bagaimana rasa sakit itu memberimu kekuatan dan pelajaran yang orang sebut sebagai pengalaman.
Aku masih memandangi kotak itu, aku ingin mengembalikannya tapi aku tidak tahu di mana alamat Kin. Rumah Kin yang dulu sudah ditempati oleh orang lain. Jadi aku tidak punya tujuan ke mana aku harus mengembalikan kamera itu.
Kin, setahuku dua tahun yang lalu dia pindah ke luar negri. Tepatnya saat tahun terakhir kami duduk di bangku sekolah menengah pertama. Aku masih ingat saat itu dia pergi begitu saja meninggalkanku. Dulu aku memang terlalu dekat dengan Kin, bahkan aku sempat menyimpan perasaan pada Kin. Saat itu Kin adalah peran utama dalam hidupku. Kupikir akupun sama di hadapan Kin, tapi itu semua mungkin hanya sebuah khayalan.
"Udah siap?" Suara Haden membuyarkan lamunanku. Aku segera menoleh dia sudah siap berangkat ke sekolah. "Ayo, nih dasinya." Aku memberikan dasi yang sudah ku siapkan pada Haden. Haden sering melupakan hal-hal kecil seperti dasi atau topi sekolah. Dan tugasku adalah mengingatkannya.
Aku dan Haden berjalan beriringan menuju sekolah, hari ini aku tidak banyak omong seperti biasanya. Jujur pikiranku masih terfokus pada hadiah yang kuterima. Apa benar itu dari Kin, Kin yang dulu.
"Gam, nanti elo temenin gue latihan, ya?"
Aku hanya mengangguk, menandakan setuju atas ajakan Haden. Aku benar-benar tidak suka jika ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku tipe orang yang selalu memikirkan sesuatu. "Elo kenapa Gam, masih mikirin yang kirim kamera tadi?"
"Eh?" Aku menghentikan langkahku lalu menoleh ke arah Haden. Seperti sedang membaca pikiranku. "Enggak, Den. Aku cuma kepikiran kerjaan di OSIS." Aku tidak suka berbohong dan aku tidak pernah bisa untuk berbohong.
"Nggak usah dipikirin, elo itu jadi anak rajin banget."
"Daripada kamu, pemalas." Celetukku. Haden melotot lalu merangkul leherku dan mengetekiku semaunya saja. Dia berpura-pura menjitaki kepalaku. Aku hanya tertawa geli. "Ampun, Den. Ampun." Ucapku sambil tertawa. Saat itu suasana lorong kelas sudah ramai dan banyak murid sedang berkumpul di lorong kelas. Banyak yang memperhatikan kami, tapi entah kenapa Haden tidak pernah risih dengan tatapan anak-anak lain.
~
Jam pelajaran pertama untuk hari ini adalah olahraga.
Aku malas sebenarnya untuk mengikutinya. Aku mengambil baju olahragaku dan hendak pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Kulihat Haden sudah berada di tengah lapangan basket. Haden sedang mendrible bola, ada lima orang di sana tapi hanya satu yang menjadi pusat perhatianku, Haden. Mataku terus tertuju pada Haden.
Aku segera masuk ke kamar mandi, mengganti seragamku dengan baju olahraga. Aku adalah tipe orang yang malas untuk mengeluarkan keringat, aku lebih suka membakar otakku dengan berbagai macam soal kimia dan Fisika.
Untunglah hari ini Pak Joko tidak masuk, jadi kami bisa bebas di jam pelajaran olahraga ini. Aku berjalan menuju tempat duduk di pinggir lapangan. Aku mencari tempat yang nyaman untuk melihat Haden yang sedang bermain di sana. Sebagian anak-anak ada yang kembali ke kelas, tau bahkan bermain bola sepak. Mataku terus terpaku ke arah Haden, sampai tiba-tiba getaran ponsel di sakuku mengagetkanku. Kulihat satu pesan masuk, nomor baru. Aku mengernyitkan alisku. Siapa ini. I'll be there. Hanya itu bunyi pesannya, siapa yang iseng sekali mengirim pesan seperti ini.
"Senyum ..." aku mendongak mendengar suara itu, di hadapanku Haden sedang berjongkok sembari memegang ponselnya yang ia arahkan ke arahku. Aku tidak sadar, sejak kapan Haden di hadapanku. "Senyum kek, biar itu lesung pipi kelihatan." Haden berdiri dari jongkoknya ia berjalan ke arahku lalu duduk di sampingku. "Kenapa?"
"Apanya?" Aku mengulurkan sebotol air mineral pada Haden. Dia menerimanya dan segera meneguknya.
"Itu muka ditekuk." Jawaabnya setelah meneguk air yang aku berikan. Baru saja aku akan menjawab tiba-tiba bola melayang ke arahku dan mendarat tepat di wajahku. Ku pegang hidungku dans esuatu mengalir dari lubang hidungku.
"Woy! Lo maen bola yang bener dong," kudengar Haden berteriak pada anak murid yang sedang bermain sepak bola. Aku tidak menghiraukan Haden aku segera berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan darah yang mengalir dari lubang hidungku. Kenapa aku lemah sekali, hanya terkena bola saja sampai berdarah seperti ini. Aku berdiri di depan wastafel membersihkan sisa darah yang masih keluar dari hidungku. Setelah yakin darah tidak keluar dari hidungku lagi, aku segera keluar dari kamar mandi untuk kembali menghampiri Haden. Tapi yang kulihat di sana anak-anak sedang berkerumun. Haden sedang menunjuk-nunjuk Ray, yang rupanya tadi menendang bola dan mengenai wajahku.
"Gue udah bilang gue nggak sengaja, ANJING!"
"Nggak punya mata elo, lo nggak lihat ada orang di situ!!" Kudengar ucapan Haden penuh emosi. Aku tidak suka melihat Haden yang tidak bisa mengontrol emosinya. Aku tidak berpikir panjang dan segera menengahi perkelahian itu tapi sayang satu pukulan melayang tepat di pipiku. Dan aku tidak tahu itu pukulan dari siapa.
~
Aku tidak meneruskan pelajaran, Haden dan Ray dipanggil ke ruang BK. Dan aku, sekarang duduk di UKS mengompres pipiku yang memar karena terkena pukulan tadi. Sakit, jujur aku tidak pernah memukul ataupun dipukul. Sejak kecil orangtuaku sangat protektif terhadapku. Saat aku hendak memilih sekolah dengan fasilitas Asrama, ibuku sempat tidak mengijinkannya. Ia takut jika aku tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan di asrama. Tapi tekadku untuk terus mengikuti Haden lebih besar dari pada ketakutanku pada nasehat ibu.
"Gam?"
Aku menoleh ke arah suara, Haden melongok dari pintu. Aku meringis dan mengangguk pada Haden. Kulihat Haden berjalan masuk ke UKS. Dia menarik kursi lalu duduk di hadapanku. Dia mengambil kompres yang sedang aku pegang. "Sini gue yang kompresin." Aku hanya menurut saja, dan membiarkan pipiku di kompres oleh Haden. Sesekali aku meringis saat Haden terlalu keras menekan bagian yang cukup memar. "Sakit?" Aku hanya mengangguk. Tiba-tiba dia berhenti dan menunduk, membuatku penasaran.
"Kenapa, Den?"
"Gue nggak sengaja, gue mau mukul Ray, tapi elo yang kena."
"Boleh gantian?"
Haden mendongak dan menatap tidak percaya. "Elo mau nonjok gue?" Aku mengangguk sembari menahan tawa. "Elo tega?"
"Kenapa harus nggak tega?"
"Ya udah, nih." Haden memajukan pipinya dan menutup kedua matanya. Lihat, padahal dia itu jagoan. Bahkan dulu dia suka sekali tawuran tapi mau ditonjok saja takutnya, kelihatan. Aku tersenyum sendiri. Tanganku tiba-tiba terangkat hendak mengelus pipi Haden.
"Cepetan," aku segera tersadar saat mendengar Haden. Aku segera menoyor kepala Haden. Haden membuka matanya lalu mengelus kepalanya sebentar. "Kok elo noyor gue?"
"Katanya preman tapi takut ditonjok." Aku meledeknya. Kulihat Haden hanya tersenyum. Kami akhirnya tertawa bersama. Aku sekali menatap Haden yang sedang tertawa seperti ini. "Makasih, ya."
"Buat?"
"Berantem sama Ray. Hehe"
"Elo ngeledek gue?" Haden hendak memegang pipiku tapi aku segera menghindar. Tiba-tiba ponselku kembali bergetar. Aku mengambilnya, pesan yang sama dari nomor yang sama. Saat kubuka bunyi pesannya pun sama. I'll be there.
"Kenapa?" Aku menoleh ke arah Haden, apa aku perlu menceritakannya. Tapi aku yakin Haden akan khawatir. "Heh, elo kenapa?" Haden menyenggol sikutku.
"Kamu tahu nomor ini?" Aku menunjukkan pesan itu pada Haden. Haden terlihat memeriksa sebentar.
"Enggak, kenapa emangnya?"
"Nggak apa-apa. Kayaknya orang iseng, dari tadi kirim pesan kaya gini terus."
"Jangan-jangan pengagum rahasia elo."
Aku tersenyum kaku, aku tidak pernah mendekati siapapun sejak dulu yang aku puja, yang aku suka cuma kamu Haden. Nggak ada yang lain. "Emangnya aku kamu Den, banyak yang antri." Ya, banyak sekali yang mengharapkan untuk menjadi pacar Haden tapi dari dulu Haden tidak pernah menghiraukan mereka. Saat aku tanya kenapa dia seperti itu, dia selalu mejawab "nggak minat, mereka itu makhluk paling ngerepotin." Atau mungkin Haden belum ingin membangun sebuah komitmen. Jadi bolehkah kalau aku berfikir, kalau suatu saat aku bisa merebut hati Haden? Aku tidak tahu, andai aku bisa membaca apa yang ada di hati Haden mungkin aku bisa tahu apa yang ada di hatinya.
"Lagian udah ada elo, ngapain gue mikirin punya cewek."
Tolong jangan bilang seperti itu, jujur kata-kata seperti itu membuatku melayang tinggi.
Jantungku benar-benar berdegup kencang mendengar ucapan Haden. Aku tidak ingin berharap, karena aku tahu pengharapan yang menyakitkan adalah mengharap cinta.
Tbc ....
Happy Reading Guys