"Ayo,"
Seperti biasa dia akan merangkulku tanpa rasa ragu. Menaruh kepalaku di bawah ketiaknya. Jujur aku suka bau harum ketiaknya saat pagi hari, dan ketika hal ini absen tidak ia lakukan maka aku akan merasa kekurangan. Sudah seperti candu bagiku.
"Elo ganti shampoo, Gam?"
Haden berhenti berjalan dan melepaskan rangkulannya dari bahuku.
"Iya, ini kan shampoo kamu hehe ..." Aku tertawa garing di hadapannya, aku tahu ini pasti tidak lucu.
"Kenapa wanginya beda. Kayaknya kalo gue yang pake wanginya gak gini."
"Masa?"
"Aneh cium bau shampoo sendiri di pake sama orang lain."
Aku menepuk pundaknya, "eih, heran, tiap hari dipake sendirinya, juga." Aku kembali berjalan meninggalkannya yang masih berdiri dengan keheranannya.
* * *
Hari ini kami harus ke laboratorium, guru mata pelajaran biologi akan memberikan praktikum pada kami, aku paling semangat saat melakukan praktikum entah kenapa. Aku selalu lebih antusias.
"Seneng banget, Gam."
Aku yang sedang tersenyum segera menoleh ke arah Haden yang tampak bermalasan di bangkunya.
"Hehe," entah kenapa aku tersenyum, menampilkan deretan gigiku yang jarang sekali aku lakukan.
"Ck! Tau nggak, elo kaya anak TK yang mau main pasir di lapangan."
"Enak, aja!"
Aku kembali memperhatikan guru biologi kami yang masih sibuk menuliskan kelompok kerja kami. Aku melirik ke arah papan tulis, namaku masuk di kelompok tiga, dan aku satu kelompok dengan, ah, nama yang tidak ingin aku sebutkan. Kin.
Pembagian kelompok sudah selesai, guru biologi sudah keluar terlebih dahulu dari kelas. Anak-anak yang lain masih sibuk mempersiapkan buku yang akan mereka bawa, begitu pun dengan aku.
"Than."
Aku menoleh saat mendengar suara itu, itu Kin dan ku lihat dia sudah berdiri di sampingku.
"Iya." Tak apa, aku harus bersikap biasa. Akan janggal jika aku terus menolak kehadiran Kin, sekarang mungkin saatnya untuk berdamai dengan masa laluku dan juga Kin.
"Kita satu kelompok,"
Aku tahu bahkan tidak perlu lagi diberitahu. "Iya, Kin. Ada Tito sama Julius juga." Aku memaksakan senyum di bibirku. Ku lihat sikap Kin yang sepertinya sedikit canggung, "kenapa Kin?"
"E? Kita bisa bareng ke Labnya."
"Entar, Agam ama gue." Haden menahan pergelangan tanganku.
Aku pikir Kin akan marah ternyata tidak Kin berlalu begitu saja, aku menatap punggungnya yang terus menjauh dari dalam kelas, dia berjalan tanpa menoleh ke arahku lagi. Kalau di saat seperti ini aku merasa tidak enak hati. Sepertinya aku jahat sekali, tapi ini demi kami, demi aku dan Kin. Aku tak ingin apa yang terjadi dulu terjadi lagi di masa ini.
* * *
Aku dan Haden sudah sampai di laboratorium. Aku menatap ke seluruh ruangan, mencari meja kelompokku berada, mataku menangkap sosok Kin yang sedang tertawa bersama Tito dan Julius. Aku melangkah masuk, menghampiri meja kelompokku. Untung, meja kelompokku dan kelompok Haden tidak terlalu dekat. Aku segera menegur Tito dan Julius, pun dengan Kin. Hanya untuk mencairkan suasana. Aku tidak terlalu akrab dengan Tito dan Julius, kami hanya akrab saat ujian datang.
Lima belas menit kami memperhatikan guru kami memeberikan penjelasan tentang tata cara praktikum kali ini, aku segera menentukan tugas di dalam kelompok. Mereka menunjukku untuk menjadi ketua kelompok, karena menurut yang mereka katakan aku jauh lebih pintar dari mereka. Jadi aku lebih bisa diandalkan, begitulah kelompok, yang pintar yang bekerja dan yang kurang pintar tugasnya menghibur dan mengomentari hasilnya.
"Ya udah, kita siapin alat-alatnya. Sementara gue praktek sama Kin elo berdua perhatiin dan catat semuanya." Aku memberi aba-aba pada ketiga orang itu.
Aku mulai melakukan praktikum, Kin berdiri di sampingku dia berlaku sebagai asistenku. "Pinset." Aku memintanya pada Kin. Saat itu lah jemari tangan Kin menyentuh telapak tanganku, aku menoleh menatap tepat ke arah wajahnya, bayangan itu, saat semua orang melempariku dengan telur, mengumpatku dengan segala kata-kata kotor, tiba-tiba terlintas di pikiranku. Ada sesuatu yang seolah terbakar di dalam diriku. Melihat Kin benar-benar membuatku marah. Tak semudah ucapanku untuk berdamai dengan semuanya. "Kin."
Kin tampak tersadar, ia melepaskan pinset itu dan membuang pandang dari arahku.
* * *
Satu jam sudah berlalu, jam praktikum sudah selesai kami hanya perlu menuliskan laporan hasil praktikum. Aku menyuruh Tito dan Julius untuk mengerjakannya karena tadi hampir aku sendirian yang melakukan praktikum. Dan Kin, aku tidak tahu dia ikut dengan Tito dan Julius atau tidak. Aku meninggalkan mereka bertiga setelah praktikum tadi, hatiku benar-benar tidak dalam keadaan baik-baik saja. Jam istirahat ini aku gunakan untuk menenangkan perasaanku, aku pergi ke ruang musik untuk sekedar duduk di sana. Aku berjalan ke arah piano yang ada di pojok ruangan itu, ku tarik kursi kecil yang ada di bawah piano itu, aku duduk di kursi itu. Dadaku terasa sesak, aku tidak bisa duduk dengan tegap. Sesuatu di dadaku seolah menekanku, menahan pernapasanku. Aku menunduk, menelan ludahku dengan susah payah, apa yang aku jauhi selama ini mendekat dengan begitu mudahnya.
Air mata itu keluar begitu saja, aku terlalu lemah sebagai seorang lelaki. Aku kembali menangis, melanggar janjiku pada diri sendiri.
"Sejahat itukah gue di masa lalu, Than?"
Aku tidak tahu sejak kapan dia ada di sini, tapi yang jelas aku tahu dia melihatku sedang menangis.
"Gue ke sini buat perbaikin semuanya, gue mohon kasih gue kesempatan."
Aku masih belum mau menjawab pertanyaan Kin.
"Apa yang mesti gue lakuin supaya elo bisa lupain semuanya?"
Hening masih menyergap di antara kami, sampai ku dengar derap langkah Kin yang mendekat ke arahku.
"Menjauh."
"Than."
"Gue harap elo menjauh dari hidup gue, apa yang dulu pernah lo lakuin ke gue, itu udah cukup buat gue ngerti kalo orang-orang seperti kalian tidak akan pernah mentolerir manusia seperti gue, yang kalian pikir sakit!"
Aku ingin memaki Kin sekarang, meluapkan semuanya di hadapan Kin.
"Than,"
"Cukup, Kin." Aku beranjak dari tempat dudukku, berjalan keluar dari ruang musik.
"Elo gak adil, Than!"
Tanganku terhenti memegang kenop pintu, kalimat Kin membuatku berbalik menatapnya. Apa yang menurut Kin tidak adil.
"Dua tahun gue hidup dengan rasa bersalah, nyari elo ke manapun. Dan sekarang, elo ada di hadapan gue, gue cuma mau nebus kesalahan gue ke elo!"
"Gue gak pernah minta elo buat lakuin hal itu."
Aku hendak membuka pintu, tapi pintu itu terkunci. Sejak kapan, siapa yang mengunci pintu ini. Aku menggerakkan kenop pintu lagi tapi pintu tetap tidak mau terbuka. Aku menoleh ke arah belakang saat bunyi decitan sepatu Kin yang beradu dengan lantai, dia menarik lengankku, cengkramannya begitu kuat. Aku bisa melihat kemarahan yang tersirat dari tatapannya.
"Lepas Kin!"
Kin memegang kedua pundakku, lagi-lagi dia mencengkramnya dengan kuat.
"Lo nolak gue cuma karena Haden, hah?! Apa hebatnya seorang Haden?!"
Kenapa Kin tiba-tiba membawa Haden dalam masalah ini, ini adalah masalah di antara kami, masa lalu aku dan Kin.
"Kin, cukup!"
Kin mendorong tubuhku sampai punggungku merapat ke tembok.
"Gue cinta sama lo, gue gak suka lihat lo sama dia!!"
"Lepasin Kin, lepasin."
Aku mendorong tubuhnya menjauh dari ku, aku juga laki-laki aku masih punya tenaga untuk menghadapi Kin. Aku mencoba kembali membuka pintu tapi tetap tidak bisa. Bahuku kembali ditarik oleh Kin, ada apa dengannya. Dia mendorongku kembali kini setengah badanku terlentang di atas meja yang semua barangnya sudah berserakan di lantai. Kin menunduk, tangannya mengunci kedua pergelangan tanganku, dia menatapku dengan tajam. Sedetik kemudian dia mencoba menciumku. Aku berpaling dan kini dia menciumi leherku. Aku benci Kin, benar-benar benci Kin. Dia terus mencoba menciumiku.
"Lepas Kin, brengsek banget lo!"
"TATAP GUE, THAN." Mata Kin menatapku dengan tajam, aku yakin saat ini dia dalam puncak kemarahannya. "BILANG KALO LO UDAH GAK CINTA SAMA GUE!"
Aku menatapnya dengan segala kebencian yang tersisa di dalam perasaanku. Aku bersumpah, tidak ada lagi rasa untuk Kin sama sekali.
"Kalo gue gak bisa milikin elo, Haden pun gak akan pernah bisa." Dia kembali mengencangkan pegangannya di pergelangan tanganku, sakit rasanya.
Di kembali menunduk, mencoba kembali meraih bibirku. Aku mencoba melawan, aku mendorong tubuh Kin menggunakan kakiku, tepat di perutnya. Aku segera bangun entah kenapa aku ingin sekali memukul Kin, tapi aku terlambat Kin kembali beranjak dan dia kini memukul tepat di pipi kananku, aku tersungkur, sudut bibirku mengeluarkan darah. "Lo pikir lo siapa, hah?! Homo sialan! Lo nolak gue? Lo gak tahu siapa GUE?!" Kin seperti orang gila, berteriak di depanku. "Bangun!" Kin menarik kerah bajuku, di kembali melayangkan satu pukulan di wajahku. "Mampus lo, homo sialan!" Aku benar-benar benci dengan diriku, di saat seperti ini pun aku tidak bisa melindungi diriku sendiri. Tatapanku menangkap siluet kaki Kin yang terayun ke belakang, dia akan menendangku tepat di perutku, sama saat seperti dulu.
Tapi, itu tidak terjadi. Suara pintu yang terbuka menyelamatkanku dari amukan Kin.
"Sialan!" Aku mendengar suara Haden, setelah itu yang kulihat hanya Kin yang terkapar di lantai, dan entah apa lagi yang terjadi.
* * *
Aku tersadar, aku sudah berada di kamar asrama. Haden sedang mengobati luka di sudut bibirku.
"Ssshh,"
Haden menghentikan aktifitasnya, "Gam,"
* * *
Aku dan Haden saling terdiam, aku duduk di tepian ranjangku dan dia pun sama, dia duduk di tempat miliknya. Kami saling berhadapan, tapi aku menunduk, aku tidak ingin menatapnya untuk saat ini.
"Gam,"
"Makasih." Hanya itu yang keluar dari mulutku. Haden berjalan ke arahku, kini dia berhenti tepat di hadapanku. Dia berjongkok di depanku, entah kenapa air mata ini keluar lagi. Aku memang terlalu cengeng, Haden memelukku, aku menangis di pundaknya. Kejadian itu terulang lagi, saat aku menangis sendiri, saat dunia tidak ingin menerima keadaanku, saat itulah orang yang mengulurkan tangannya dan memelukku hanya dia, orang yang aku cintai, sahabatku, Haden. Sore itu, aku menumpahkan segalanya pada Haden, meluapkan segala kebencianku pada keadaan. Sama seperti dulu.
Tbc ....