Auckland,
Perlahan cahaya matahari itu masuk ke kamarku, merayap melalui celah korden jendelaku yang tidak begitu rapi menutupi jendela. Aku bisa merasakan pancarannya mengganggu tidur nyenyakku, kelopak mataku perlahan terbuka. Mengedip sejenak, menyesuaikan pandanganku setelah enam jam tertidur. Kepalaku masih sedikit pusing, kemarin malam aku harus mengerjakan tugas essayku untuk mengikuti tes masuk ke salah satu fakultas di universitas, di Auckland.
Aku beranjak dari tempat tidurku, telapak kakiku bisa merasakan hawa dingin yang bersarang pada lantai kayu di kamarku. Perlahan inderaku mencium aroma antiseptik pembersih lantai yang khas, begitu menusuk penciumanku. Aku duduk di tepian ranjang, sekejap, perasaan itu kembali menghantuiku. Rasa sakit, marah, kecewa, takut dan cemas. Hingga membuat orang di sekitarku ikut merasakannya pula.
Aku sedang berjuang untuk melawannya, melupakannya. Sama seperti dulu, ke dua kalinya aku melakukan hal ini. Aku berjuang untuk kembali bangkit dari keterpurukkanku dan menjadi pribadi yang lebih dewasa lagi. Aku tidak akan pernah melebel diriku sebagai korban, karena ini bukan sepenuhnya salah seseorang yang membuatku mengalami hal ini.
Dan di sinilah aku sekarang, Auckland. Memulai kehidupan baruku, dengan segala hal baru yang akan aku alami. Dan mengubur semua hal yang pernah terjadi.
* * *
Aku kembali menutup korden jendelaku, aku ingin ruanganku tertutup rapat. Tak ada celah, tak ada orang lain yang boleh melihatku. Aku terlalu malu untuk itu. Kejadian tiga tahun yang lalu kini kembali aku alami. Dipermalukan, tawa ejekan dari mereka membuatku selalu menutup telingaku, tawa itu selalu terngiang. Dan segala umpatan itu.
Bahkan aku membutuhkan obat tidur hanya untuk sekedar memejamkan mataku. Trauma itu, membuatku harus kembali terpuruk.
Setelah kejadian di ruang musik itu, aku tidak bisa untuk tetap bertahan di asrama. Aku terlalu malu. Aku yakin rumor tentangku dan Kin akan cepat menyebar. Aku paham siapa Kin, apa yang akan dia lakukan di hadapan bapak kepala saat dia di sidang nanti. Mengkambing hitamkan orang lain. Dan aku sudah siap dengan segala kemungkinan itu. Aku belajar dari apa yang sudah aku alami dulu.
"Fathan,"
Aku mendengar suara ibuku yang masuk ke dalam kamar, aku masih bersembunyi di balik selimut tebal berwarna putih di atas ranjangku.
"Fathan," kini aku bisa merasakan tangan ibuku yang mengelus pucuk kepalaku. Aku bahkan tidak tahu lagi harus mengatakan apa pada ibuku. "Mama bawain makanan, mama mohon kamu makan." Ya, sudah hampir empat hari ini aku tidak menyentuh makanan sama sekali, yang aku lakukan hanya minum air putih dan obat penenang yang dokter berikan untukku. Lingkaran hitam di bawah mataku sudah tercetak jelas, membuatku seperti vampir hidup. "Fathan," ibuku terisak, dia kembali menangis karena apa yang aku alami. Aku tidak tega saat melihatnya seperti ini, aku membalikan tubuhku, menyingkap selimut tebal itu. Bisa kulihat, ibuku tertunduk menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan tangisan.
"Ma," ia masih tertunduk, isakannya semakin kencang terdengar. Beliau mendongak, sedetik kemudian aku sudah berada dalam pelukannya. Dia kembali menangis, mungkin bakat menangisku menurun dari ibuku. "Maafin Fathan, Ma." Hanya itu yang bisa aku katakan padanya sekarang. Aku tahu, ayah begitu membenciku. Dia hanya peduli pada kakakku, dan di rumah ini aku hanya punya ibuku.
Aku melepas pelukannya, kuusap air mata yang mengalir di pipinya. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat kerutan di wajah ibuku, beliau sudah terlihat menua meski setebal apapun make-up yang ia gunakan untuk menutupinya, aku masih bisa melihatnya. Ayahku adalah seorang pengusaha sukses, dia jarang berada di rumah. Aku dan ibu tidak yakin jika dia tidak punya simpanan di luar sana, hanya saja ibu diam dan tidak meributkan hal itu.
"Mama udah siapin semuanya buat kamu."
Apa? Ibu menyiapkan apa untukku? Sebuah pelarian?
"Minggu depan, kamu berangkat ke Auckland, Mama sudah minta sekertaris Papa untuk mengurus semuanya. Kamu hanya perlu berangkat."
Itulah ibuku, tahu apa yang harus ia lakukan untuk menyelamatkan anak dan nama baik keluarganya. Tentu saja sebuah pemikiran yang bijak, menyelamatkanku dari amukan ayahku. Kali ini aku tidak akan menolaknya, apa yang ibu lakukan untukku adalah hal yang benar, menurutku.
"Papa udah tahu, Ma?"
"Sebisa mungkin Mama rahasiakan hal ini dari Papa, Mama minta bantuan Kakak kamu." Mama mengelus kepalaku pelan. Aku hanya merasakan kasih sayang dari ibuku, karena menurut ayah, anak ayah hanyalah kak Ferdinand. "Mulailah hidup baru, lupakan hal yang membuat kamu merasa sakit." Tangan ibu meremas kedua telapak tanganku. Aku yakin dia pun merasa marah padaku, dia kecewa padaku.
"Maaf, Ma." Aku menunduk, aku benar-benar merasa bersalah.
"Kamu anak Mama, apapun akan Mama lakukan buat kamu. Siapapun yang menyakiti kamu, berhak mendapat ganjarannya."
"Ma?!" Apa yang Mama lakukan.
"Ferdinand tahu apa yang harus dia lakukan untuk melindungi adiknya." Mama membuang pandang dariku. Aku tidak tahu kalau mama akan bertindak sejauh ini.
"Ma, jangan perpanjang lagi masalah ini. Fathan mohon." Tapi sayang sepertinya ibuku tidak mendengarkanku sama sekali, apa yang terjadi pada Kin setelah ini. Aku tahu betul siapa kak Ferdinand, ia sama seperti papa, seseorang yang tidak punya rasa sabar dan belas kasih.
* * *
Keberangkatanku ke Auckland tinggal menghitung jam. Dua koper besar sudah di bawa oleh sopir keluargaku ke dalam mobil. Ibuku mengantarku menuju bandara. Setelah percakapan malam itu, aku benar-benar khawatir dengan keadaan Kin. Satu hal yang aku tahu, dia di keluarkan dari sekolah bahkan usaha milik orang tua Kin di tutup. Aku yakin kak Ferdinand melakukan hal yang lebih dari hanya sekedar tindak kekerasan. Ibuku sengaja tidak memberiku akses untuk mengetahui berita di luar sana. Dia mengambil ponselku bahkan mencabut saluran internet di kamarku. Itu membuatku sedikit lega, tapi membuat rasa ingin tahuku semakin memuncak. Aku sempat bertanya pada ibu, dan beliau hanya menjawab "Ferdinand tahu apa yang harus dia lakukan." Tapi apa, apa yang kak Ferdinand lakukan.
Tanpa kusadari kami sudah sampai di bandara. Ibuku mengurus segala keperluanku. Aku hanya duduk di temani oleh sopir keluargaku. Tiba-tiba ingatanku melayang pada Haden, aku akan pergi ke Auckland dan aku sama sekali tidak berpamitan dengannya. Bahkan aku tidak tahu bagaimana kabarnya.
"Kamu mau makan dulu?" Suara ibuku mengagetkanku, aku menoleh dan menggeleng pelan. Aku tidak lapar. Pemikiran di otakku membuatku merasa kenyang.
"Ini." Ibu mengulurkan ponsel milikku yang ia sita sejak malam itu. "Sejak Mama ambil ponsel kamu, nama Haden sering muncul di layar ponsel." Aku mendongak menatap ibuku, aku belum mengambil ponsel di tangannya. "Dia orang yang kamu suka itu?"
"Ma ..."
"Mama udah hubungi dia, kasih tahu dia kalo kamu mau ke luar negri."
"Kena-"
"Kamu mau dia nyari kamu?"
Aku menggeleng pelan.
"Mama urus barang-barang kamu. Kamu tunggu di sini."
Aku hanya mengangguk dan mengambil ponsel dari tangan ibuku. Apa yang harus aku lakukan dengan ponsel ini. Apakah aku harus menghubungi Haden dan memintanya datang ke sini?
Setelah berpikir lama, aku putuskan untuk menghubungi Haden. Kontak Haden sudah terpampang di layar ponselku, ku sentuh tombol hijau itu dan tak lama panggilanku tersambung.
Maaf kutelah menyakitimu, kutelah kecewakanmu
Bahkan kusia-sia kan hidupmu dan kubawa kau seperti diriku.
Sejak kapan Haden memasang lagu di panggilannya.
"Halo ..."
Suara itu, aku sungguh merindukannya. Perasaan ini tiba-tiba saja terasa menghimpitku.
"Ha-halo." Tiba-tiba pundakku terasa berat, seseorang mencengkram pundakku. Aku menoleh ke belakang lalu mendongak. Di sana, Haden berdiri dengan tangan kiri memegangi ponsel yang ia tempelkan di telinganya.
"Ha-haden." Tatapanku lekat menatap wajahnya. Haden melepas cengkramannya, ia duduk tepat di hadapanku.
"Rasanya lama banget kita gak ketemu."
Air mataku sudah berkumpul di pelupuk mata, hampir saja terjatuh. "Hmm..." aku mengangguk pelan. "Maaf aku gak kabarin kamu, Den."
"Ya," dia melipat kedua tangannya di depan dada, tubuhnya ia sederkan pada punggung kursi, lalu ia melipat kedua kakinya. Matanya lekat menatapku, "dan sekarang tiba-tiba elo mau pergi. Jadi lo terima tawaran om Tian?"
"Hmm..." aku kembali mengangguk. "Gimana kabar kamu?"
"Gak terlalu bagus, gimana gue baik-baik aja kalo gue gak tahu gimana kabar elo."
Deg!
Air mataku benar-benar sudah terjatuh, hanya dengan perkataan itu seolah aku sudah mengecewakan seseorang yang aku cintai. Kami berdua saling menatap, entah kenapa mata Haden terlihat memerah, apakah dia menahan tangis untukku. Haden kemudian berjalan ke arahku, ia berjongkok di depanku, dia mengusap air mata di pipiku. Tidak menghiraukan di mana kami berada.
"Maaf, gue gak ada buat elo, maaf, karena gue gak bisa jagain elo. Gimana gue ngadepin elo, gimana gue ngehibur elo, dan gimana gue lakuin hidup gue tanpa elo, gue gak tahu sama sekali." Kami berdua saling terdiam, air mataku sudah mengalir deras. "Tapi, seenggaknya sekarang gue bisa bilang sesuatu ke elo, selamat jalan Fathan Agam Byantara.
Aku menatap Haden dengan perasaan yang entah bagaimana, aku mengangguk setelah mendengar ucapannya. Setidaknya kami punya perpisahan yang manis.
"Aku udah mesti berangkat." Aku menghapus air mataku. Tiba-tiba Haden menatap lekat ke arahku, entah apa yang ada di pikirannya.
Haden menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Aku terlonjak kaget.
"Akhir dari sebuah cerita, pelukan hangat yang bisa bikin hati lo tenang. "
Aku memejamkan mataku, menikmati pelukan erat dari Haden. Bukan sebuah ciuman akhir dari sebuah kisah indah, tapi pelukan. Karena itu adalah awal dari sebuah kisah indah yang belum berakhir.
Tbc/end?