Chereads / Yang Tak Terungkap / Chapter 12 - 11

Chapter 12 - 11

Aku duduk menghadap layar laptopku, satu e-mail baru saja ku terima dari kak Ferdinand, selama ini dia selalu mengirimiku kabar tentang Haden, tanpa ku minta sekalipun. Aku hanya bersyukur, aku masih bisa tahu bagaimana keadaannya sekarang.

Empat tahun, empat tahun kami tidak saling bertemu, tidak saling bertukar kabar. Entahlah, apa dia masih mengingatku, aku tidak ingin berharap, berharap pada manusia pada ujungnya hanya akan memberi luka.

Hari ini kak Ferdinand mengirimiku sebuah foto, foto Haden yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Melihat foto itu membuat rasa rinduku semakin membuncah.

Apa kabar? Apakah kamu masih tetap sama dengan Haden yang dulu? Semoga kamu tidak khawatir, aku baik-baik saja di sini, meskipun sendiri tapi aku merasa tenang dengan kesendirianku. Aku tidak menangis lagi, aku tidak kecewa lagi pada diriku sendiri dan aku tidak takut lagi pada dunia ini. Hanya saja, malam ini aku terlalu merindukanmu, Haden.

T

iba-tiba saja perasaanku gelisah, merasakan resah yang sudah lama sekali tidak aku rasakan. Resah karena mengingatmu. Apa bisa kita kembalikan waktu untuk seperti dulu lagi?

Bukan denganmu aku bertengkar, bukan denganmu aku membuat kesalahan, tapi aku terlalu malu untuk mendongakan wajahku di hadapanmu. Kembali seperti dulu, menatapmu dalam sembunyi, membelai wajahmu dalam tidurmu yang membuat jantungku begitu berdegup kencang. Aku hanya membayangkan, kembali bersama di tempat yang sama dan di waktu yang sama denganmu.

Aku benci pada Kin, yang memberi jarak pada kita. Tapi aku lebih membenci diriku sendiri karena kembali terpuruk dengan kesendirianku.

* * *

"Kura-kura."

Aku mengerutkan keningku, tidak ada kura-kura di akuarium ini.

"Mana?"

Haden tersenyum, dia melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya tertuju pada ikan badut yang berlarian ke sana ke mari.

"Kura-kura, dia gak akan pernah bisa lari dengan jalannya yang lambat itu. Selain itu, jaraknya terlalu jauh dan jalannya pun terlalu terjal."

Aku masih diam saat mendengarnya.

"Apalagi kalau kura-kura itu terluka."

Dia berbalik menatapku, dia menunjuk ke arah dadanya sendiri. "Luka di sini, gak ada tempat buat bersedih, gak ada tempat buat berpikir, gak ada tempat buat pergi. Itulah yang dirasain si kura-kura sedih."

Sejenak dia menatapku, senyumnya benar-benar membuatku merasa tenang. Sepersekian detik kemudian, dia mengusap rambutku pelan. Aku hanya terus menatap wajahnya yang mulai mengalihkan pandang dariku.

Aku tersenyum saat mengingat hal itu, sekarang aku baru mengerti. Kura-kura itu adalah aku, aku yang di mata Haden selalu lemah. Memang tak ada tempat untuk orang sepertiku, kesendirianku terlalu banyak membawa luka, mungkin karena itu aku selalu bersembunyi.

Aku tidak bisa melindungi diriku sendiri lalu bagaimana aku akan melindungi cintaku? Kisah cintaku terlalu menyedihkan. Hari berlalu, aku berharap menjadi seseorang yang lebih baik lagi, aku selalu mengucapkan hal itu berulang kali, seperti mantra ajaib yang bisa menghipnotisku.

Dan sekarang, saat aku melihat kura-kura aku seolah berkaca.

Tunas akan berkuncup, bunga akan mekar. Aku yakin air mataku akan menghasilkan benih kebahagiaan untukku, meskipun entah kapan itu. Aku hanya bisa berharap, melipat berkata dalam hati, "datanglah padaku." Dan mulai sekarang aku pun akan berjalan perlahan, berpijak pada batu yang tepat, agar aku tak akan menangis sendirian lagi.

* * *

"Ada surat, Gam."

Aku berhenti menaruh selai di rotiku, paman Tian memberikan sebuah amplop berwarna putih padaku.

"Sepertinya dari Indonesia."

Aku segera menerimanya dan menaruhnya di samping piring makananku. Ini pertama kalinya aku mendapat surat dari Indonesia, biasanya kak Ferdinand mengirimiku kabar lewat e-mail.

Aku kembali sibuk dengan sarapanku, tahun ke duaku di Universitas, aku memutuskan untuk pindah rumah dan tinggal bersama pamanku, aku merasa benar-benar sendiri. Tinggal di apartemen yang sebenarnya bisa menampung tiga sampai lima orang, tapi hanya ada aku sendiri. Dan sudah setahun ini aku tinggal bersama paman Tian, dia sudah mempunyai anak, namanya Kian dan istrinya berprofesi sebagai dokter. Aku cukup akrab dengan Kian, setidaknya aku bisa menghabiskan banyak waktu dengannya sekedar bermain block atau bermain gadget dengannya.

* * *

Hai ...

Emm, gue nggak tahu mesti mulai dari mana. Apa kabar?

Hampir empat tahun kita nggak ketemu, apa yang berubah dari elo? Masih suka nangis-nangis? Hehe,

Hmmm, empat tahun, lama juga. Elo bisa jauh-jauhan dari gue. Hahaha

Aku tersenyum membaca alinea pertama pada surat itu. Aku kembali membacanya.

Gue udah semester tujuh, elo tahu gue masuk jurusan apa? Kimia murni. Betul sekali tebakan elo, padahal gue dulu benci banget ya sama pak Malik, tapi setelah elo pergi gue mulai nyadar, ahli kimia gue udah gak ada di samping gue lagi. Hahaha. Mau gak mau gue harus belajar. Dan, ya, gue berhasil, Gam.

Gimana keadaan elo di sana? Elo pasti udah punya banyak temen?

Gue nyari yang kaya elo gak ada lagi di sini. Gue udah muter-muter, ke sana ke mari tetep gue gak nemu, gue nyoba buat lupain elo tapi tetep gak bisa, elo terlalu bersinar, menyilaukan. Buat gue gak bisa lupain elo.

Gam, gue kangen sama elo. Gue pura-pura buat gak kangen sama elo, bahkan gue harus pindah kamar asrama supaya gue gak inget elo terus. Tapi percuma, kita udah terlalu sering bersama. Makan, belajar, maen game, minum kopi, nonton tv semua itu gue lakuin seolah-olah elo di sisi gue. Gue taro dua piring di lemari asrama, dua gelas, dua sikat gigi di wastafel, gue berharap elo kembali.

Untuk pertama kalinya, gue ngusap air mata gue. Saat elu pergi ninggalin gue. Gue berdiri natap punggung elo yang semakin menjauh dari pandangan gue, tanpa sadar gue nangis. Sesuatu nutupin pandangan gue, semuanya blur. Sebelum elo pergi, gue gak pernah tahu kalo di dunia yang seramai ini, gue bakal ngerasa sendirian.

Bodoh, karena gue gak pernah jujur sama perasaan gue. Gue terlalu takut buat bilang kenyatannya sama elo, kenyataan kalo gue jatuh cinta karena kenyamanan dari elu.

Apakah hari ini hujan? Mataku berair, aku mengusapnya perlahan. Jadi, selama ini kami saling memunggungi karena terlalu takut menyakiti.

Gila? Iya, gue terlalu gila. Gue berharap gue belom terlambat. Gue masih ingat, gimana kita ketemu dulu. Gue dateng dengan kedua tangan gue yang terbuka buat elo, elo tahu apa yang gue rasain saat itu? Bahagia, bahagia karena gue bisa meluk seseorang yang pingin banget gue lindungin. Sejak pertama kita ketemu, gue udah jatuh hati sama elo. Gue gak pernah tahu, kalo di dunia ini ada seseorang yang pingin gue lindungin. Gue suka banget lihatin elo yang lagi duduk, natap Kin dengan mata berbinar, gue bisa lihat seberapa besar cinta lo sama Kin, karena mungkin cara gue natap elo pun sama kaya elo natap Kin. Dan gue cemburu sama hal yang selalu elo lakuin buat Kin. Dan gue nikmatin itu semua, meski gue lakuin itu diem-diem.

Apakah aku terlalu tergila-gila pada Kin? Sampai aku buta dan tidak melihat Haden.

Gue tahu semua yang elo lakuin ke gue, semua perhatian elo, semua kebaikan elo. Setiap malam elo selalu bangun, cuma buat sekedar ngelus pipi gue dan bilang selamat tidur. Elo selalu benerin selimut gue yang jatoh, elo selalu naroh botol minum di samping ranjang gue. Gue tahu elo selalu natap gue tiap gue lagi duduk, elo selalu natap gue tiap gue lagi maen game. Itu semua karena elo cinta sama gue, ya, elo cinta sama gue. Dan sejak saat itu gue mulai serakah, gue mau elo selalu di samping gue dan hidup bareng gue.

Jadi selama ini Haden tahu?

Sendiri, atau bersama-sama itu bukan suatu masalah. Bagi gue, elo selalu di sisi gue dan di hati gue. Dan hari ini, gue terlalu merindukan elo. Gue udah gak bisa buat nahan semua rasa yang ada dalam hati gue.

Dan pada akhirnya, semua perasaan gue cuma bakal jadi mimpi. Gue harap, bakal ada seseorang yang nyadarin gue. Elo udah jauh di sana. Dan kenangan sedih ini, biar gue simpen dalam memori hati gue. Suatu hari nanti, kita bakal ketemu. Dan itu bakal jadi hari terbahagia buat gue. Gue bakal dateng buat elo, kaya setetes hujan yang turun di musim kemarau.

Maaf dan terimakasih.

Fathan Agam Byantara

Aku memeluk kertas itu, kenapa kami harus saling memendamnya? Kenapa kami terlalu egois pada diri kami. Apakah belum terlambat juga jika aku mengatakan semuanya?

Tbc ....