What is past is past
Haden Rafasya Ananta
Terbawa perasaan, jaman sekarang semua anak muda pasti sudah pernah merasakannya. Istilah jaman sekarang baper Siapakah yang salah dalam kasus "terbawa perasaan" ini. Si pelaku atau si korban?
Kadang mereka bilang si korban, karena terlalu perasa dan terlalu besar rasa. Dipandang sedikit lama dikira suka, diberi perhatian sedikit katanya memberi harapan. Si korban lalu menggunakan media sosial berharap si pelaku peka, peka terhadap perasaan si korban. Entah itu membuat kata-kata motivasi untuk diri sendiri atau lirik lagu yang menurut si korban ini sesuai dengan kisahnya. Jadi kalau ada istilah "pemberi harapan palsu" itu ciptaan si pelaku atau si korban? Mungkin harus koreksi terlebih dahulu. Bisa saja si pelaku memperhatikan si korban karena korban punya sesuatu yang membuat si pelaku ini terganggu. Atau bisa jadi memang si pelaku ini suka meski presentasinya hanya 15 persen dan sisanya hanya palsu.
Sekarang aku sedang melampiaskan perasaanku pada soal kimia yang diberikan oleh Pak Hasan tadi. Dan Haden, dia duduk tepat di hadapanku. Menulis apa yang aku tulis di lembar jawabanku. Kalau dibilang bodoh mungkin aku bodoh, mau saja menuruti apa kata Haden.
"Jam kosong dikasih tugas." Aku mendengar dia mengeluh lagi. "Ini Pak Hasan seneng banget bikin murid menderita." Aku masih diam saja mendengar ucapannya. "Elu nggak capek apa Gam?"
"Kamu kalo capek istirahat, nanti aku tulisin."
"Tulisan elo terlalu bagus."
Aku kembali menulis, tidak menggubris Haden. Haden kadang seperti bapak-bapak yang terlalu banyak mengomel.
"Nanti siang beli makan di belakang asrama, Gam. Gue kangen nasi bebek sambel ijo."
"Katanya diet." Celetukku tanpa menoleh ke arahnya.
"Kan elu bilang nggak gendut."
Aku menggeleng mendengar jawabannya. Labil sekali Haden ini. "Den."
"Hmmm?"
"Kalo seseorang dari masa lalu kamu dateng lagi ke hidup kamu, apa yang bakal kamu lakuin?" Aku menghentikan kegiatanku menghitung soal kimia tadi.
Haden mendongak menatapku.
"Tergantung,"
Aku menaikkan satu alisku. "Tergantung apa?"
"Statusnya dia di masa lalu. Mantan, pacar, gebetan atau saudara. Mereka punya punya posisi yang berbeda."
Aku kembali menulis setelah mendengar jawaban Haden.
"Siapa?"
"Apanya?"
"Yang dari masalalu."
Aku berhenti sebentar, apa aku harus cerita pada Haden.
"Nggak mau cerita?"
"Kin," jawabku pelan.
"Kin?" Kulihat raut wajah Haden berubah saat mendengar nama Kin. Aku yakin Haden tidak lupa dengan nama itu. Kin Larrion Ramiro.
"Iya, dia udah balik dari luar negri." Aku sebenarnya belum yakin, dia sudah kembali atau belum tapi lebih baik aku bilang seperti itu.
"Ngapain dia balik?" Suara Haden sudah mulai berbeda. Dia tahu percis apa yang dulu Kin lakukan. "Elo yakin dia udah balik?" Aku hanya mengangguk ragu pada Haden. "Dia udah nyoba hubungin elo?"
"Kamera itu, dia yang kirim."
Haden menggebrak meja. "Berarti dia udah tahu kalo lo sekolah di sini dan tinggal di asrama."
"Den."
"Elo ada kontaknya dia?"
Aku menggeleng pelan, memang tidak ada kontak milk Kin di ponselku.
"Kalo dia hubungin elo, kasih tahu gue."
~
Terkadang aku merasa lelah harus menyembunyikan perasaan ini pada Haden, berpura-pura menjadi cowok normal sama seperti yang lain, menyukai apa yang cowok normal sukai.
Menonton film dewasa bersama anak cowok yang lain, yang sebenarnya tidak aku sukai. Harus berpura-pura bernafsu saat mereka meledekku. Kadang aku ingin menyerah dan mengatakan seperti apa jati diriku.
"Ada murid baru katanya." Gilbert yang duduk di sebelahku baru kembali dari ruang guru. Dia adalah ketua kelas di kelasku.
"Masuk sini?" Tanya Derby yang duduk di belakangku.
Aku tidak berminat untuk ikut bergabung dengan percakapan Derby dan Gilbert. Aku masih sibuk menggambar di bukuku. Kalau jam kosong seperti ini aku lebih suka diam, menggambar atau pun bermain game di ponsel pintarku.
Tok tok tok
Aku mendongak saat suara papan tulis di ketok terdengar. Beberapa anak yang sedang berjalan-jalan di kelas segera kembali ke kursinya masing-masing. Di sana Pak Didik bediri.
"Selamat pagi anak-anak. Hari ini kelas kalian kedatangan murid baru."
Beberapa murid tampak berbicara. Jadi ucapan Gilbert barusan benar. Kelas ini memang punya satu bangku kosong, dan bangku itu ada di baris belakang di samping Haden.
"Ayo masuk." Pak Didik kenyuruh anak baru itu masuk.
Seketika jantungku benar-benar terasa copot, Kin berdiri di depan kelas di samping pak Didik. "Silahkan perkenalkan nama kamu."
"Nama saya Kin Larrion Ramiro." Tepat saat itu tatapan Kin tertuju padaku. Di tersenyum, kenapa aku merasa marah. Senyum itu, dulu aku sangat menyukainya. Tapi sekarang senyum itu seperti sesuatu yang harus segera aku enyahkan. "Kalian bisa panggil saya Kin."
Kulihat dari ekor mataku Kin berjalan menuju bangku kosong yang ada di baris belakang. Haden sedang ijin untuk latihan jadi sekarang dia tidak ada di kelas. Entah bagaimana dia jika melihat Kin sudah ada di sini. Kenapa secepat ini, kenapa Kin harus muncul di sini.
~
Rasanya tidak nyaman sekali, Kin terus memperhatikanku sejak pelajaran tadi. Aku hanya diam, aku tidak menyapanya ataupun menghindarinya.
Karena Haden masih belum kembali dari latihan, aku pergi ke kantin bersama Gilbert.
"Hai, Than."
Baru saja aku duduk di sebuah bangku di kantin sekolah. Aku tahu percis siapa yang memanggilku dengan nama itu.
"Boleh gue duduk di sini?"
Aku tidak menjawabnya, tapi Gilbert mengiyakan pertanyaan Kin. Dia duduk di sebelahku, jujur aku tidak nyaman dengan hal seperti ini. Dan sialnya Gilbert pergi meninggalkanku dengan Kin. Dia pergi memesan makanan.
Aku berharap saat ini Haden menghubungiku, menyuruhku untuk pergi ke tempat latihannya agar bisa pergi dari situasi ini.
"Elo pasti kaget kan, Than?"
Aku masih diam saja, aku tidak tahu harus menjawab apa.
"Elo masih marah karena kejadian dulu? Gue minta maaf."
"Maaf, Kin. Aku udah lupain semuanya, kamu nggak perlu ungkit lagi. Semenjak kamu pergi, aku udah maafin semuanya dan lupain semuanya."
Aku tidak mau lagi duduk di sana, lebih baik aku pergi. Aku beranjak dari dudukku. Tapi sayang, Kin menarik tanganku.
"Gue belom kelar ngomong, Than."
Masih sama seperti dulu, Kin benar-benar tidak berubah dengan wataknya. Aku hendak menarik tanganku tapi aku sudah ditarik oleh seseorang. Itu Haden.
"Haden."
Haden menarikku untuk berdiri di belakangnya. Kupikir Haden akan mengatakan sesuatu, tapi ternyata Haden hanya menatap Kin saja. Dia lalu menarikku menjauh dari Haden. Dia terus menggandeng tanganku keluar dari area kantin.
"Den."
"Banyak sekolahan di kota ini, kenapa dia mesti milih sekolah di sini?!"
"Den." Panggilku lagi.
"Den kita bahas nanti di asrama nanti." Aku mencoba membujuknya.
"Gue mesti bikin perhitungan sama Kin."
Tbc ...
Happy Reading...