Kau seperti matahari, aku bisa melihatmu bahkan merasakan pancaran cahayamu tapi kau terlalu jauh untuk aku sentuh
Fathan Agam Byantara
Hari ini tidak ada pelajaran jadi aku putuskan untuk pergi ke ruang OSIS, ada beberapa hal yang harus aku urus. Baru tiga bulan aku terpilih menjadi wakil ketua OSIS. Dulu saat kelas sepuluh aku menjadi anggota OSIS dan entah kenapa sekarang aku terpilih menjadi wakil ketua. Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di ruangan OSIS, mengahadap beberapa berkas yang harus aku urus. Meski ini tidak terlalu penting tapi tetap harus aku urus.
Baru saja aku memegang salah satu map, getaran ponselku di saku membuatku mengembalikan map itu ke meja. Kulihat nama Haden tertera di sana. Kelas kosong, balik asrama yuk. Begitulah bunyi pesannya.
Apakah hari ini dia tidak ada latihan, setahuku pertandingannya akan dimulai sabtu besok. Aku tidak segera membalasnya ku masukan kembali ponselku ke dalam saku celanaku.
Ceklek!
Suara pintu terbuka aku segera menoleh, mungkin itu anggota OSIS yang lain. Aku tidak menggubrisnya dan kembali mengambil map yang ada di atas meja. Aku membacanya satu persatu. Tiba-tiba sekantong plastik makanan ada di hadapanku. Ternyata itu Haden. Dia membawakanku makanan.
"Elo belom sarapan, kan?"
Ya, tadi pagi aku buru-buru karena hari ini tidak ada petugas upacara jadi anggota OSIS yang menjadi pelaksana upacara. "Apa itu Den?"
"Roti sama susu rasa melon." Haden mengeluarkannya dari kantong plastik. Haden tahu sekali kesukaanku. Aku memang tidak bisa makan banyak saat di pagi hari. Haden membuka bungkus plastik roti itu, lalu memasukannya ke dalam mulutku. Coba bayangkan jika kalian di posisiku, bagaimana bisa kalian tidak terbawa perasaan jika perhatian sahabat kalian seperti ini. Meskipun menurut Haden ini biasa, tapi menurutku ini tidak biasa. Andai Haden tahu perasaanku. "Sini deh, Den." Aku merebut roti dari tangan Haden, aku tidak ingin salah tingkah karena sikap Haden. "Udah elo baca aja, gue suapin." Haden kembali merebutnya dariku. Aku hanya menurut saja. Mungkin dia sedang tidak ada kerjaan jadi dia terus menggangguku.
"Hari ini nggak ada latihan?" Tanyaku, kulihat Haden sedang memasukan bungkus roti yang sudah kosong ke dalam kantong plastik. "Ada tapi nanti jam dua, elo temenin gue, kan?" Aku memang selalu menemani Haden untuk latihan. Sekedar menjaga tasnya di pinggir lapangan ataupun memberinya sebotol air mineral jika dia kehausan. "Jam dua aku ada rapat, mungkin setelah rapat aku bisa menyusul." Haden menunjukkan ekspresi kecewanya, aku tidak ingin terlalu menuruti semua keinginannya. Bukan aku malas, hanya saja semakin aku dekat dengan Haden semakin besar pula perasaan terlarangku padanya.
* * *
Pukul sepuluh sekolah sudah dibubarkan. Aku melirik tempat duduk Haden yang sudah kosong sejak tadi. Tadi setelah menyusulku ke ruang OSIS dia pamit untuk ke kelas tapi ternyata dia tidak ada. Pesanku juga tidak dibalah oleh Haden. Aku putuskan untuk kembali ke asrama lebih dulu. Bisa saja Haden sudah di asrama.
Aku berjalan keluar dari kelas di lorong kelas masih tampak beberapa murid yang sedang duduk ataupun saling mengobrol. Aku tidak begitu menghiraukannya, aku memang tipe pendiam berbeda dengan Haden yang banyak mengenal anak-anak di sini.
Ternyata dugaanku salah, kamar asrama masih terkunci berarti Haden belum kembali. Lalu ke mana anak itu. Aku segera meletakkan tasku dan berlari kembali ke sekolah. Aku berlari ke gedung olahraga mungkin saja Haden di sana. Tapi sayang gedung olahraga dikunci. Aku benar-benar khawatir.
Kulihat Reka baru keluar dari kelas, Reka adalah teman satu tim sepak bola dengan Haden. Aku segera menghampiri Reka. "Re, elo lihat Haden nggak?"
"Enggak, eh tapi tadi sih dia ke perpus di suruh sama Bu Mawar."
Aku mengernyitkan alisku heran, tumben sekali dia mau disuruh oleh guru. Aku pamit pada Reka dan langsung menuju perpustakaan. Benar saja perpustakaan masih buka dan ada beberapa anak di dalam perpustakaan. Aku segera mencari keberadaan Haden. Ku lihat dia sedang berjongkok di antara tumpukkan buku di depan rak kosong. Aku menghampirinya. Sepertinya dia menyadari keberadaanku. Dia segera menoleh ke arahku belum sempat aku bertanya dia sudah berbicara lebih dulu. "Gue dihukum gara-gara lempar sepatu si Ray ke genteng." Apa yang ada di pikiran Haden, kadang aku tidak bisa menebaknya. "Kenapa kamu lempar, kaya nggak ada kerjaan." Haden hanya menunjukkan senyumnya padaku. Aku membalasnya dengan gelengan kepala. Aku berjongkok menyamai Haden tanganku mulai mengambil satu persatu buku yang ada di dalam dus. Kulihat sesekali Haden menguap, jangan sampai dia tidur jika dia tidur maka aku yang akan menggantikannya.
Satu jam sudah berlalu aku dan Haden sudah selesai membereskan buku di perpustakaan. Haden mengajakku untuk pergi ke kantin. Dia bilang sudah lapar aku tidak tahu terbuat dari apa perut Haden ini. Aku mengikutinya berjalan menuju kantin. Beberapa anak yang lain memperhatikan kami saat kami berjalan menuju kantin. Aku tidak menghiraukannya, yang aku perhatikan saat ini adalah Haden. Dia tidak berhenti berbicara sejak tadi aku hanya membalasnya dengan senyum.
~
"Gue gendutan ya, Gam?" Celetuk Haden begitu saja, aku yang sedang meminum air mineral hampir saja tersedak. "Bener gue gendutan?"
"Kenapa emangnya?"
"Kata si Raisa gue gendut makanya gue buang sepatu si Ray ke genteng." Sudah tahu Ray itu hanya meledek kenapa pula dia harus melayani gurauan Ray.
"Kamu timbang aja sendiri, Den." Tubuh Haden tidak terlalu kurus, tinggi Haden 178 cm cukup tinggi untuk pemain sepak bola. Kadang aku harus mendongak hanya untuk menatap wajahnya.
* * *
Kami berdua sudah kembali ke asrama. Aku sedang mengerjakan beberapa tugas Kimia yang harus aku kumpulkan lusa. Haden baru saja selesai mandi, aku bisa mencium wangi sabun milik Haden. Aku selalu suka aroma Haden saat setelah mandi. Kulihat Haden sedang menggosok rambutnya menggunakan handuk dan dia hanya memakai celana olahraganya. Aku benar-benar harus kuat iman.
Sesuatu yang berat tiba-tiba menimpa bahuku, kepala Haden ia tumpukan di bahuku. Jantungku benar-benar serasa mau copot. "Lagi kerjain apa?" Tanyanya, aku bahkan bisa merasakan deru nafasnya di kulitku. Aku segera bangkit dari dudukku.
"Ki-kimia." Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
"Elo kenapa?"
Belum sempat aku menjawab pintu kamar sudah diketuk, untunglah aku terselamatkan. Aku segera berlari ke depan untuk membukakan pintu. Kulihat di sana petugas asrama sedang berdiri membawakan sebuah kotak yang dibungkus menggunakan kertas coklat.
"Ini ada kiriman buat mas Agam." Aku menerima kotak itu dan langsung kembali masuk ke dalam kamar. Siapa yang mengerimi paket untukku, seingatku aku tidak memesan barang di online shop.
"Apaan Gam?"
"Nggak tahu,"
"Buat siapa?"
"Atas nama Fathan Agam Byantara tapi seingetku, aku nggak mesen barang."
Aku meletakkan kotak itu di atas meja belajarku, aku bisa melihat ekspresi penasaran dari Haden. Aku yakin dia tidak sabar untuk membukanya.
Aku merobek pembungkus kotak itu, sebuah kardus bermbar kamera terpampang dibalik pembungkus cokelat itu. Siapa yang mengerimiku sebuah kamera. Dan ini terlalu mahal, aku saja tidak berani memintanya pada mamaku. "Elo beli kamera?" Aku menoleh menatap Haden yang masih berdiri di belakangku. "Enggak," aku menggeleng pelan. "Terus itu punya siapa, namanya kan nama elo."
Ku ambil kartu yang ada di dalam kotak itu. Semoga elo suka, gue tahu ini nggak bisa ngulangin semua kenangan elo dulu. Kin Larrion Ramiro.
Itulah bunyi surat di dalam kotak itu. Aku terkejut, Kin yang mengerimiku kamera ini. Bagaimana dia bisa tahu alamat asramaku.
Tbc ...
Happy Reading guys