"Aku bisa pulang sendiri, kok." Kata Firly bersikeras namun Felix lebih tegas lagi. Dia tidak mau melihat Firly dengan wajah muram duduk di halte bis seperti tadi.
Akhirnya Firly mengalah. Dia masuk kedalam mobil dan membiarkan Felix mengantarnya pulang. Namun cowok itu tidak membawanya kearah rumahnya, cowok itu membawanya ketempat lain.
Disebuah lapangan parkir yang luas, dan hanya ada beberapa mobil disini, Felix berhenti dan melepaskan seatbeltnya.
"Kok kita berhenti disini?"
Felix menatapnya. Firly tampak cemas kalau-kalau Felix akan melakukan sesuatu yang buruk padanya. Meski Felix terlihat seperti cowok baik-baik namun tetap saja, Felix adalah laki-laki biasa.
Felix menghela napas. Lalu membalikkan badannya. "Kalau mau nangis lo boleh pinjam punggung gue. Nangis sampai lo puas, Fir."
Firly memandang punggung Felix yang terlihat bidang dan tidak menyangka pada apa yang akan dilakukan oleh cowok itu.
"A...aku tidak bisa."
"Lo lagi sedih, kan. Gue tahu itu kok. Makanya daripada lo nangis sendirian dihalte. Lebih baik lo nangis disini."
Firly menunduk. Air matanya yang sudah dia tahan-tahan menyeruak keluar. Felix menoleh saat menyadari kalau Firly sudah menangis, cewek itu memilih menunduk dan terlihat beberapa butiran air mata ditangannya.
"Fir?" Felix terlihat ragu saat ingin memeluk cewek itu. Dia sadar ada batasan antara mereka berdua. Lagipula Firly adalah pacar sahabatnya. Namun disituasi seperti ini, Felix bingung harus bersikap bagaimana. Dia tidak mungkin diam saja dan membiarkan Firly menangis diam-diam padahal cewek itu begitu sedih.
Akhirnya Felix menarik Firly kedalam pelukannya, dan membiarkan cewek itu menangis disana. Firly begitu terkejut dengan apa yang barusan dilakukan Felix. Tapi dia tidak bisa menolak karena dia akhirnya bisa menumpahkan tangisannya. Dia begitu kesal dan juga kecewa pada Reinaldi. Semua campur aduk dan membuatnya sesak.
Setengah jam itu, Felix hanya diam mendengarkan tangisan Firly dan dengan kikuk beberapa kali mengusap rambut cewek itu untuk menenangkannya.
Hingga akhirnya Firly berhenti menangis, cewek itu dengan tiba-tiba menarik diri dari pelukan Felix dan mencari tisu dari tasnya. Masih menunduk dan menyeka sisa-sisa air matanya dan berkata dengan suara serak. "Maaf, terima kasih."
"Gak papa. Asal lo merasa lebih baik."
Firly mengangguk-angguk lalu tertawa kecil. Malu.
"Maaf. Aku malu sekali sekarang. Pasti mataku bengkak."
"Ga masalah Fir. Semua orang yang habis nangis pasti matanya bengkak."
Felix menatap kemejanya yang basah. Dia melirik Firly yang masih menyeka air matanya dengan tissue lalu beralih menatap jam tangannya. Jam 3 sore.
"Lo mau ikut gue?" Tanya Felix ragu.
"Hah? Kemana?"
"Ini akan jadi perjalanan yang cukup panjang soalnya lumayan jauh dari sini."
Firly tidak menjawab karena dia kelihatan bingung. Dengan tidak sabar, Felix akhirnya kembali memacu mobilnya keluar dari areal parkir kearah tol jagorawi menuju puncak.
***
Sepanjang perjalanan ditol jagorawi yang tampak lengang, baik Firly maupun Felix tampak diam dan tidak saling bicara. Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Gue ngapain sih?" Pikir Felix. Dia mencengkeram erat kemudi mobilnya. Sementara Firly sibuk berpikir tentang apa yang dilakulan Felix.
Menjelang pukul setengah 6 sore, mereka sudah memasuki kawasan puncak. Felix tidak berhenti dan terus menuju kerah atas, baru ketika di puncak pass, dia berhenti dan turun.
Firly ikut turun dan menghampiri Felix yang berdiri memandangi pemandangan dikejauhan.
"Wuah."
Firly tersenyum. Langit semakin gelap. Dan satu persatu cahaya dari arah pemukiman mulai menyala. Begitu pula angin malam yang mulai berhembus.
Firly menggosok-gosokkan tangannya kedinginan. Melihat itu, Felix mengambil sesuatu dari kursi penumpang. Sebuah jaket. Cowok itu memberikan jaketnya pada Firly.
"Nih, pake."
"Thanks." Firly memakai jaketnya. "Pemandangan disini bagus banget ya. Bikin semua beban aku keangkat."
"Baguslah." Felix, mampir kesalah satu warung kopi disana dan memesan 2 kopi. Satu dia berikan pada Firly yang menerimanya sedikit ragu-ragu.
Mereka mulai menikmati kopi yang ada ditangan mereka masing-masing dengan tidak saling bicara, ketika kemudian terdengar bunyi panggilan masuk ke ponsel Firly yang membuat mereka tersentak.
Firly menatap nama Reinaldi dilayar ponselnya. Felix juga bisa melihatnya karena mereka berdiri bersebelahan.
"Jangan diangkat."
"Eh." Firly menatap Felix heran.
"Lo sekarang sedang bersama gue. Jangan angkat telepon dari dia."
"Tapi..."
"Kalo lo menghargai gue, jangan angkat telepon dari Reinaldi."
"Baiklah." Firly mengalah dan membiarkan panggilan masuk itu menjadi panggilaan tidak terjawab. Selama beberapa menit, tidak terhitung ada berapa panggilan masuk dan sms dari Reinaldi, namun dia tidak menjawabnya karena dia menghargai Felix.
Sekitar pukul setengah 7, Felix mengajaknya untuk pulang ke Jakarta. Mereka kembali menuju tol jagorawi. Firly yang terkantuk-kantuk akhirnya jatuh tertidur. Sementara Felix masih fokus menatap jalanan dihadapannya.
***
Reinaldi uring-uringan dihalaman rumah Firly.
Telepon darinya tidak ada satupun yang berhasil diangkat oleh Firly. Cowok itu menggigit bibirnya. Sebenarnya apa yang dilakukan Felix? Dia hanya meminta tolong cowok itu untuk menemani Firly, bukan mengajaknya entah kemana dan sampai selarut ini belum pulang.
Kedua orang tua Firly ditanyakan pun tidak ada yang tahu kemana Firly pergi. Mereka hanya tahu kalau Firly pamit pergi untuk nonton bersama dirinya. Makanya kedua orang tua Firly heran dengan kemunculan Reinaldi di depan rumah mereka tanpa Firly.
Sebuah sedan berhenti didepan rumah Firly. Itu adalah mobil Felix. Cowok itu melirik Firly yang masih tertidur pulas. Tidak berapa lama terdengar ketukan keras yang berasal dari luar pintu mobilnya.
Dok...dok...
Firly setengah melonjak membuka matanya dan terkejut melihat Reinaldi yang sedang mengetuk kaca mobil Felix dengan wajah gusar.
Felix menatap tajam Reinaldi yang menyuruh mereka untuk turun.
Firly bergegas turun bersamaan dengan Felix. Reinaldi menarik tangannya dengan kasar, wajahnya merah padam kelihatan kesal.
"Kamu darimana aja? Kenapa pulang selarut ini?"
"A...aku...," Firly setengah tergagap bingung harus menjawab apa. Sementara Felix menghampiri mereka berdua dengan wajah datar.
Reinaldi menatap Felix sengit.
"Lo bawa kemana aja cewek gue? Jam segini baru pulang?"
Felix tidak menjawab.
"Jawab gue, Lix." Reinaldi mencengkeram kerah kemeja Felix dengan wajah kesal.
Felix menepis cengkeraman Reinaldi dan balas memandangnya dengan wajah kesal.
"Gue ga perlu jawab pertanyaan lo."
Reinaldi dengan wajah merah padam hampir saja akan memukul wajah Felix kalau saja papa Firly tidak muncul dihadapan mereka berdua untuk melerai.
"Apa-apaan kalian ini?!"
Reinaldi menatap papa Firly dan Felix bergantian. Lalu dia juga menatap Firly yang memandangnya dengan takut.
"Maaf, om."
"Firly, cepat masuk kedalam. Dan kalian berdua, cepat pergi dari sini sebelum saya panggilkan keamanan."
Firly menatap Reinaldi dan Felix bergantian. Dia cemas memikirkan apa yang akan terjadi pada mereka berdua. Namun, Firly melihat Felix memberi isyarat tangan yang mengatakan semua akan baik-baik saja. Dia pun segera masuk kedalam tanpa mengatakan apapun.
Sepeninggal Firly dan papanya, Reinaldi kembali memelototi Felix.
"Kita harus bicara."
***
Buk...
Felix terhempas kelantai dan sempat menghantam pinggir tempat tidurnya.
Dia bisa merasakan mulutnya mengeluarkan darah.
"Lo bawa kemana Firly sampai selarut ini?"
"Bukan urusan lo."
"Jadi urusan gue bangsat. Gue ga minta lo temenin dia sampai selarut ini."
"Kalo lo begitu peduli sama Firly yang gue bawa pergi, harusnya elo yang nemenin dia nonton tadi!"
"Gue kan udah bilang gue ga bisa. Makanya gue minta tolong sama elo."
"Karena Renata'kan? Jadi sekarang dia lebih penting dibanding Firly? Renata itu siapa elo? Sialan."
"Dia..."
"Ga bisa jawab kan elo! Keluar dari apartemen gue sekarang!"
Felix mendorong Reinaldi keluar dari apartemennya yang dia tinggali seorang diri. Kedua orang tua Felix hijrah ke Amerika akhir tahun lalu menyusul kakak perempuannya. Sementara Felix karena masih harus menyelesaikan studi kedokterannya, dia memilih stay di Indonesia sampai studinya selesai.
"Sial. Kalau mau mukul ga usah keras-keras, kek. Kan sakit." Felix menatap cermin dan melihat pinggir bibirnya yang luka serta pipinya kebiruan karena hantaman bogem Reinaldi.
"Gue ga bisa kuliah dengan muka kayak gini besok." Batinnya.
***
"Ga masuk?"
"Iya, ga ada kabar juga kenapa tuh anak ga masuk." Kata Darryl, teman SMA Firly yang juga satu fakultas dengan Felix.
"Oke deh. Makasih ya, Dar." Firly berlalu meninggalkan Darryl yang kemudian berkumpul kembali dengan teman-temannya.
Reinaldi hari ini tidak masuk kuliah, begitu juga dengan Felix. Firly berpikir bahwa sesuatu pasti telah terjadi semalam. Reinaldi hanya memberitahu padanya kalau dia mau istirahat dirumah dan meminta Firly untuk tidak khawatir karena dia baik-baik saja. Hanya tinggal Felix saja yang tidak diketahui kabarnya. Ingin menghubunginya lewat telepon tapi mereka tidak pernah bertukar nomor telepon sama sekali.
Firly akhirnya memutuskan untuk menengok Felix untuk memastikan keadaannya. Reinaldi pernah memberitahu padanya kalau Felix tinggal sendiri diapartemen dikawasan Puri Indah.
Dengan naik kendaraan online, dia sampai diapartemen yang dimaksud dan langsung bertanya pada resepsionis di lobby. Setelah mendapat nomor kamarnya, Firly segera naik ke lift menuju lantai 8.
Lorong apartemen itu begitu sepi. Firly menatap kamar nomor 804 milik Felix.
Ting tong...
Felix sedang membuat tugas saat bel kamarnya berbunyi. Selama dia tinggal disini, belum pernah ada yang datang bertamu ke apartemennya. Hanya Reinaldi yang biasanya sering bolak balik kesini untuk menginap ataupun hanya sekedar main. Bahkan sahabatnya itu tahu password kamarnya.
"Siapa, sih?" Gerutunya. Brak...
Mata Felix bertatapan dengan mata Firly.
"Aaa... Elo kok bisa ada disini?"
***
"Ayo diminum." Kata Felix pada Firly yang terlihat begitu tegang. Ini baru pertama kalinya dia bertamu ke apartemen orang lain dan orang itu seorang cowok.
"Heeh...," Firly mengambil gelasnya dengan canggung dan memperhatikan sekitar bibir Felix yang merah kebiruan. Pasti mereka bertengkar semalam.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Firly.
Felix yang juga merasa canggung sedikit tersentak saat Firly tiba-tiba memulai percakapan.
Felix cuma mengangguk. "Gue baik."
Mereka kemudian diam.
"Si Rei ga ikut sama elo?"
Firly menggeleng. "Dia ga masuk kuliah. Katanya sakit mau istirahat."
Felix mengerutkan keningnya. Tadi pagi Renata mengirimkan pesan di grup chat yang menanyakan apa mereka bisa bertemu siang ini di starbucks, Reinaldi sudah mengiyakan, sementara Felix menolaknya karena dia belum mau ketemu dengan Reinaldi.
Jadi dia berbohong lagi?
***
"Fir, kemarin gue kayaknya ngeliat cowok lo di starbucks CP deh," Kata Silla saat mereka berkumpul diperpus untuk membuat tugas.
Firly tertawa. "Lo pasti salah liat deh. Soalnya kemarin Rei sakit, jadi ga mungkin ngelayap ke mall."
Silla dan beberapa temannya saling berpandangan, Dewi memberi isyarat dengan menggelengkan kepalanya. Sebenarnya yang melihat Rei di mall bukan hanya Silla, tapi dia dan beberapa teman yang lain, jadi tidak mungkin mereka semua salah lihat. Namun melihat Firly yang membela Reinaldi, Silla mengurungkan niatnya untuk memberitahukan siapa yang mereka lihat bersama Reinaldi di dalam starbucks.
"Iya kali yah." Kata Silla tertawa garing.
Teman-temannya akhirnya tidak berkata apa-apa lagi soal Reinaldi.