Chereads / Larisa Wish / Chapter 9 - CHAPTER SEMBILAN

Chapter 9 - CHAPTER SEMBILAN

Musik seketika dimatikan. Orang-orang yang asyik menari bak orang kesetanan di dance floor ikut menghentikan gerakan mereka begitu melihat keempat pemuda itu berdiri di atas panggung. Bersiap-siap memainkan alat musik masing-masing yang sudah mereka pegang.

"Selamat sore semuanya."

Larisa menegang mendengar suara yang cukup familiar di telinganya. Dia tak ragu lagi sekarang, gitaris yang berdiri di panggung sana yang kini sedang menyapa pengunjung club memang benar-benar Arvan teman satu kelasnya.

Kenapa pria itu bisa ada disini dan berpenampilan layaknya rocker seperti itu? Larisa belum menemukan jawaban yang cocok. Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya, dia harus menemui Arvan dan bicara dengan pemuda itu setelah pertunjukan mereka selesai.

"The Rudal's ... The Rudal's ... The Rudal's ..."

Semua orang yang berdiri di bawah panggung secara serempak menyuarakan hal tersebut, mengelu-elukan nama group band yang sebentar lagi akan memulai pertunjukan mereka.

"Gimana? Bener Arvan yang itu teman yang kamu cari?"

Larisa yang sedang fokus menatap ke depan itu seketika terperanjat, terkejut mendengar sang bartender yang tiba-tiba mengajaknya bicara lagi. Larisa menoleh, sedikit menganggukan kepalanya.

"Iya, benar, Mas. Itu teman yang saya cari," jawab Larisa.

"Oh, kalau dia sih saya juga kenal. Tiap sore dia sama group band-nya tampil di sini."

"Sejak kapan mereka tampil di sini?" Tanya Larisa, mulai tertarik mencari tahu Arvan dan group band-nya.

"Hm, belum lama sih. Sekitar satu bulanan."

"Oh gitu." Larisa menunduk, masih tak habis pikir Arvan yang pendiam itu ternyata bisa segila ini di luar sekolah. Memiliki group band dan berpenampilan layaknya rocker, entah apa yang akan dilakukan pihak sekolah jika sampai mereka mengetahui hal ini.

Larisa kembali mendongak begitu alunan musik mulai terdengar. Seketika semua orang bersorak girang, ikut menggoyangkan badan seiring dengan alunan musik bernada ceria ini. Tak ada yang bernyanyi, keempat pria yang menamakan diri mereka sebagai The Rudal's itu hanya memainkan musik instrumental bergaya rock yang memekakan telinga bagi Larisa, namun jelas tidak untuk para pecinta musik rock. Mereka tampak begitu menikmati alunan musik ini.

"Kamu maju aja ke depan, Neng. Supaya Arvan tahu kamu ada di sini." Sang bartender kembali berucap. Larisa mengernyitkan dahi, memastikan telinganya tak salah dengar.

Berada di dalam club ini saja sudah membuat Larisa merinding ngeri, apalagi harus bergabung dengan orang-orang di bawah panggung sana, jelas itu pilihan yang tidak akan pernah diambil Larisa.

"Gak usah, Mas. Saya di sini aja. Saya tunggu sampai pertunjukannya selesai," sahut Larisa, menolak saran sang bartender secara halus.

"Kalau nunggu sampai pertunjukannya selesai sih pasti lama, soalnya mereka baru selesai nanti malam. Serius kamu tahan nungguin selama itu?"

Larisa terperangah sekarang. Arvan melakukan pertunjukan sampai malam disini? Lalu besok pagi dia harus berangkat sekolah, Larisa menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Padahal yang diingat Larisa, Arvan datang ke sekolah pagi-pagi sekali bahkan di saat murid lain belum datang, dia sudah duduk manis di bangkunya. Setidaknya itulah yang Larisa tahu pagi ini.

"Udah sana, Neng. Maju aja ke depan. Kalau Arvan lihat kamu, dia pasti nemuin kamu dulu."

"Saya gak berani, Mas. Saya takut gabung sama mereka." Jujur Larisa. Sang bartender terkekeh, membuat Larisa memicingkan matanya merasa tersinggung.

"Mau saya antar?"

Larisa membulatkan matanya, heran sekaligus terharu dengan kebaikan pria yang bekerja sebagai bartender tersebut.

"Gimana mau gak saya temenin ke depan?"

"Gak usah, Mas. Kan Mas lagi kerja. Nanti kalau ada yang pesan minuman gimana?"

Bartender itu tak mengatakan apa pun, awalnya Larisa tak mengerti saat bartender itu tiba-tiba menunjuk ke arah sampingnya dengan ibu jarinya. Setelah Larisa mengikuti arah yang ditunjuknya itu, barulah dia menyadari sesuatu.

Rupanya bartender itu tidak sendirian sekarang, ada bartender lain disana yang sedang melayani pengunjung yang memesan minuman.

"Kebetulan shift saya udah habis. Ini udah ada temen saya yang gantiin," kata sang bartender menjelaskan. "Ayo, saya temenin!"

Bartender yang belum Larisa ketahui namanya itu menghampiri dirinya. Berdiri di samping kursi yang diduduki Larisa saat gadis itu belum juga beranjak dari kursinya. Sejujurnya Larisa masih ragu untuk maju ke depan.

"Jangan takut, ada saya yang nemenin."

Larisa menghela napas panjang, hingga akhirnya dia pun memilih menuruti si bartender. Sepertinya dia memang harus maju ke depan agar Arvan mengetahui keberadaannya. Tak mungkin juga dia harus menunggu sampai malam di saat dirinya bahkan tak memiliki nomor kontak Arvan. Mungkin lain kali dia harus meminta nomor kontak pada pemuda itu.

Tanpa kata Larisa mengikuti langkah sang bartender yang berjalan di depannya. Meringis ketika tanpa sengaja dirinya bertabrakan dengan beberapa orang yang sedang menari dengan hebohnya. Larisa menelusup masuk di antara orang-orang yang kembali menari bagai orang kesurupan. Dia juga harus menutup kedua telinganya dengan tangan karena terlalu kencangnya musik yang merasuki gendang telinganya.

Larisa nyaris terjerembab ke depan saat merasakan tangan seseorang menarik tangannya. Saat mengetahui sang bartender lah yang melakukannya, Larisa mengembuskan napas lega detik itu juga. Awalnya dia sempat takut orang mesum seperti pria hidung belang tadi yang seenaknya menarik tangannya.

Berkat bantuan sang bartender, Larisa pun berhasil berdiri di barisan paling depan. Dari jarak sedekat ini, dia bisa melihat penampilan Arvan dengan jelas. Bagaimana jari-jari tangan pemuda itu begitu lincahnya memetik senar gitar. Larisa takjub bukan main, tak menyangka pria dingin macam Arvan ternyata sangat ahli memainkan gitar.

"Arvan ... woi ... Arvan!!"

Larisa terpekik kaget saat suara lantang sang bartender yang meneriakan nama Arvan begitu nyaring terdengar. Musik sedang berhenti karena akan berganti ke lagu yang lain.

Arvan yang mendengar namanya dipanggil, seketika memfokuskan pandangannya ke arah sang pemilik suara. Dan Larisa melihat persis bagaimana terkejutnya Arvan saat melihat sosok Larisa. Pemuda itu membulatkan matanya, sebelum wajahnya tiba-tiba memerah entah karena apa.

Arvan meletakan gitar yang sedang dia pegang, menghampiri salah satu rekannya lalu entah membisikan apa karena setelahnya pemuda itu melompat turun dari atas panggung.

Dia menghampiri Larisa dan tanpa kata menarik Larisa agar mengikuti dirinya. Larisa bahkan tidak sempat berterima kasih pada sang bartender yang sudah berbaik hati membantunya karena Arvan yang menariknya kasar.

Larisa meringis kesakitan ketika Arvan menepis kasar tangannya begitu mereka berada di luar club. Mereka berdiri di celah sempit yang memisahkan gedung club dengan gedung di sebelahnya.

"Duuh ... kasar banget sih jadi cowok. Udah dua kali lho hari ini lo kasar kayak gini sama gue,�� keluh Larisa seraya dia usap-usap pergelangan tangannya yang memerah karena dicengkram Arvan tadi.

"Lo ngapain ke sini? Mau jadi cewek nakal ya?!" Tanya Arvan dengan nada membentak. Larisa berjengit kaget, untuk pertama kalinya ada yang membentaknya seperti itu bahkan ayah dan pacarnya saja tak berani membentaknya sekeras itu. Larisa memberengut tak suka.