Suasana hening menyelimuti sepasang pemuda-pemudi yang sedang duduk di dalam mobil. Si pemuda yang fokus menatap ke depan karena sedang menyetir dan si gadis yang memilih menyibukan diri menatap ke pemandangan di luar dibandingkan terlibat obrolan dengan orang di sebelahnya.
Reza menoleh sekilas ke arah Larisa yang menyenderkan kepalanya pada sandaran kursi dimana kedua matanya fokus menatap ke arah luar. Kekasihnya yang biasanya ceria itu, entah kenapa begitu murung pagi ini.
Dia ulurkan tangan kirinya ke arah samping, membuat Larisa tersentak saat telapak tangannya mendarat di puncak kepala gadis itu.
"Kamu melamun?" Tanya Reza. Larisa menggeleng detik itu juga.
"Nggak kok," jawabnya.
"Masa? Tapi aku lihat kamu natap ke luar terus. Lesu lagi, gak ada semangat-semangatnya, padahal ini masih pagi-pagi, matahari aja belum bener-bener nongol."
Larisa mendengus, tidak heran mendapati pemuda yang sudah dia pacari selama dua tahun ini menyadari suasana hatinya yang buruk pagi ini.
Sebenarnya Larisa sudah merasa tidak nyaman dengan hatinya sejak kejadian kemarin. Dimana dia pulang ke rumahnya dan dengan terpaksa harus membohongi ayah serta pacarnya saat mereka bertanya alasan dirinya pulang terlambat.
Perlakuan manis Reza semalam membuat suasana hatinya bukannya berbunga-bunga, justru semakin memburuk. Dia merasa bersalah, untuk pertama kalinya dia membohongi pacarnya tersebut.
"Udah dibaca belum novelnya?" Reza kembali bertanya. Larisa membalas hanya dengan gelengan kepala.
"Tumben. Biasanya kalau punya novel baru langsung dibaca malam itu juga, ampe kamu rela begadang. Gak peduli mata kamu jadi kayak panda gara-gara kurang tidur."
Larisa kembali mendengus, mendelik tak suka pada Reza yang sedang menertawakannya.
"Gak suka sama ceritanya?"
"Belum juga dibaca, aku kan belum tahu ceritanya kayak gimana."
Reza mengangguk-anggukan kepalanya.
"Kamu sakit?" Tanyanya lagi. Larisa lagi-lagi menggeleng.
"Aku sehat kok. Seratus persen sehat."
"Oh, bagus deh kalau gitu. Aku kirain kamu terkena kanker." Larisa kembali mendelik tak suka pada Reza, kali ini dia mendaratkan pukulan pelan di bahu pemuda itu.
"Jahat banget sih kamu doain aku sakit kanker," rajuknya, benar-benar tersinggung mendengar ucapan Reza tadi.
"Kanker maksudnya kantong kering. Ya, siapa tahu aja Om Anton ngurangin jatah uang jajan kamu makanya kamu ngambek. Kalau beneran kayak gitu, aku sih niatnya ngasih uang jajan tambahan buat kamu biar kantongnya gak kering lagi."
"Isssshhhh ... gak lucu tahu!" Teriak Larisa sembari kembali memukuli bahu Reza. Pemuda itu hanya tertawa menanggapi perbuatannya membuat Larisa merajuk.
Larisa bersedekap dada setelahnya, kembali memalingkan tatapannya ke arah luar.
"Terus kamu kenapa sebenarnya, kok lesu amat sih pagi ini? Aku ada salah ya sama kamu?" Larisa memutar lehernya, menatap gamang pada Reza yang fokus menatap ke depan namun mulutnya tak bisa berhenti bicara.
"Ada omongan aku yang salah ya semalam makanya kamu ngambek?"
"Nggak kok. Kamu kok bisa mikir kayak gitu?"
Larisa tersentak hingga nyaris terjengkang ke depan jika saja sealbelt yang dia kenakan tidak menahan tubuhnya tetap diam di tempat, tatkala Reza tiba-tiba mengerem mobilnya.
"Kamu kenapa sih? Jangan ngerem dadakan dong," seru Larisa, kekesalannya pada Reza bertambah dua kali lipat sekarang.
Reza tak menjawab, pemuda itu hanya mengangkat kedua bahunya. Lantas menunjuk ke arah samping Larisa dengan dagunya. Ketika Larisa menoleh ke arah yang ditunjuk Reza, dia pun tak berniat meneruskan ocehannya. Ternyata mereka sudah tiba di depan pintu gerbang sekolah Larisa, pantas saja Reza menghentikan mobilnya. Meski Larisa tetap jengkel karena tak seharusnya Reza mengerem mobilnya dengan mendadak. Bisa kan berhenti perlahan?
"Aku duluan ya."
Awalnya berniat berpamitan sebelum dirinya keluar dari mobil itu, namun niatnya harus urung karena tangannya yang tiba-tiba dicekal oleh Reza.
Larisa menoleh, mengernyitkan kedua alisnya saat menatap lengannya yang dipegang erat oleh Reza.
"Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi. Kamu kenapa diem aja? Gak kayak kamu yang biasanya."
Larisa menundukan kepalanya, sudah dia duga Reza tidak akan melepaskannya begitu saja sebelum keingintahuannya itu mendapatkan jawaban.
Berselang beberapa detik Larisa mengangkat kepalanya, memasang senyum terbaiknya pada Reza yang masih terlihat begitu mengkhawatirkannya.
"Aku gak apa-apa kok, sayang. Cuma kepikiran aja, hari ini ada ulangan fisika. Ada rumus yang aku kurang ngerti," jawabnya, tentu saja dia berbohong.
Kini gantian Reza yang mengernyit heran.
"Serius ada rumus fisika yang kamu gak ngerti?" Tanyanya. Larisa mengangguk.
Larisa terpaku saat Reza tiba-tiba meletakan punggung tangannya di keningnya.
"Issshh ... kamu ngapain sih megang-megang kening aku?!" Katanya merasa risih, dia tepis tangan Reza.
"Cuma mastiin kamu gak demam." Larisa memutar bola matanya ke atas. "Aneh aja pelajaran fisika yang jadi mapel favorit kamu. Kamu yang biasanya semangat banget kalau ngerjain soal-soal fisika, tiba-tiba bilang ada rumus yang gak kamu ngerti. Sulit aja buat aku percaya. Bagi aku kesannya kayak kamu yang lagi ngarang cerita."
Kedua mata Larisa membulat sempurna.
"Aku gak bohong kok. Aku ..." ucapan Larisa terpotong dikala jari telunjuk Reza mendarat di depan bibirnya.
"Gak usah diterusin, aku cuma becanda. Aku percaya kok sama kamu," sahut Reza seraya tersenyum lebar.
Bibir Larisa yang sudah terbuka itu mengatup rapat seketika. Lagi-lagi perasaan tak nyaman berdesir di dalam hatinya. Kenapa belakangan ini dia selalu saja membohongi Reza? Dia sendiri tak mengerti ada apa dengan dirinya.
"Ada yang kelupaan tadi makanya aku narik tangan kamu."
Larisa yang tengah melamun itu tersentak mendengar ucapan Reza. Dia melirik ke arah kursi belakang mobil, lantas mendengus dikala menemukan sebuah kantong tergeletak di sana.
Larisa mencondongkan tubuhnya ke belakang, meraih kantong putih yang tergeletak itu. Tentu saja isi kantong itu adalah roti, kue atau donat yang rutin dibelikan Reza untuknya setiap pagi. Tak perlu mengintip, dia sudah tahu persis isi di dalam kantong itu.
"Ya udah ya, aku turun dulu. Makasih makanannya."
Larisa memberi isyarat dengan mengangkat kantong, lalu dia hendak membuka pintu mobil.
"Kamu gak lihat dulu isinya?"
Namun lagi-lagi harus terhenti karena Reza yang kembali bersuara. Larisa kembali menoleh, mengangkat kedua alisnya mendengar pertanyaan Reza yang aneh ini.
"Sudah pasti isinya makanan buat sarapan aku, kan? Biasanya juga gitu. Aku udah tahu kok jadi gak perlu lihat isinya segala."
Saat dilihatnya Reza tengah tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit, Larisa terka ada benda lain yang disimpan Reza di dalam kantong itu. Rasa penasaran mulai menderanya, Larisa pun bergegas mengintip ke dalam kantong.
Ada sebuah kardus putih di dalamnya, Larisa membukanya dan matanya terbelalak saat menemukan bukan hanya dua buah roti coklat yang ada di dalam kardus, melainkan ada sekuntum bunga berwarna kuning cerah, bunga yang sangat Larisa hafal karena Reza memang sering memberikan bunga itu untuknya. Bahkan ketika pemuda itu menyatakan cintanya pada Larisa dan memintanya menjadi kekasih pemuda itu, bunga inilah yang diberikannya untuk Larisa.
Larisa mengeluarkan bunga berwarna kuning cerah yang tidak lain merupakan bunga matahari itu, sebelum dia melirik ke arah Reza yang sedang menatapnya intens.
"Aku penasaran, kamu kenapa sih suka ngasih aku bunga matahari?" Tanya Larisa. "Padahal kan lebih romantis bunga mawar kalau untuk pacar. Bukannya bunga matahari itu lebih cocok dikasih buat sahabat ya?" lanjutnya.
"Siapa yang bilang begitu?" Reza bertanya.
"Pretty. Dia bilang karena bunga ini cerah jadi melambangkan keceriaan, persatuan, semangat dan optimis. Cocok diberikan pada sahabat dekat."
Reza terkekeh mendengarnya.
"Si cowok jadi-jadian itu tahu juga filosifi bunga matahari. Dari mana dia belajar makna-makna bunga?"
Larisa mendengus seraya memutar bola matanya.
"Gitu-gitu Pretty itu fans berat kamu loh. Jangan ngata-ngatain dia cowok jadi-jadian. Dia cowok lucu kok, bisa bikin aku ketawa kalau di deket dia."
Reza tertawa geli kali ini.
"Kok kamu malah ketawa, aku kan serius?"
"Geli aja ngebayangin deket-deket sama cowok modelan Pretty. Jujur aku merinding kalau lagi di deket dia."
Kini gantian Larisa yang tertawa lantang pasalnya ekspresi Reza yang tampak merinding itu terlihat menggemaskan di matanya.
"Aku gak kebayang bakalan gimana reaksi Pretty kalau denger kamu ngomong kayak gini. Pasti hancur deh hatinya, kasihan."
"Ya udah, jangan cerita ke dia. Lagian kenapa juga dia bisa ngefans sama aku? Dia bukan gay, kan?"
Reza tampak menegang ketika melihat Larisa mengangkat kedua bahunya disertai bibir yang mengulas senyum misterius dan kedipan sebelah matanya untuk menjahili Reza.
"Sumpah ya aku gak mau deket-deket dia lagi kalau beneran dia gay," kata Reza berapi-api, yang sukses membuat Larisa kembali cekikikan.
"Nah gitu dong ketawa, jangan murung kayak tadi lagi. Aku gak suka lihat kamu murung, terus pendiem kayak tadi," ujar Reza. Larisa seketika menghentikan tawanya terlebih saat Reza tiba-tiba menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan besar pemuda itu.
"Senyuman kamu yang buat aku jatuh cinta sama kamu. Jadi terus tersenyum supaya aku makin jatuh cinta ya," katanya. Larisa mendengus samar. Dia hendak melepaskan tangkupan tangan Reza di wajahnya namun tak berhasil karena Reza yang semakin menangkupnya erat.
"Bunga matahari yang selalu menghadap ke arah matahari juga melambangkan ketulusan dan kesetiaan," ucap Reza. Larisa terpaku mendengarnya. "Alasan aku milih ngasih bunga matahari ke kamu karena dua hal itu yang aku tawarkan waktu nembak kamu, ketulusan sama kesetiaan aku." Reza melepaskan tangkupan tangannya, kini satu tangannya digunakan untuk mengelus rambut panjang Larisa yang pagi ini dibiarkan tergerai indah oleh pemiliknya.
"Aku gak bakalan pernah selingkuh di belakang kamu, kamu bisa pegang kata-kata aku ini. Dan soal cinta aku sama kamu, kamu gak perlu raguin ketulusannya. Aku bener-bener tulus cinta dan sayang sama kamu, Cha," lanjut Reza. Larisa masih diam di kursinya.
"Sengaja aku gak ngasih kamu bunga mawar padahal bunga itu lebih terkesan romantis kan kalau untuk pasangan?" Larisa mengangguk. "Iya, kenapa kamu gak ngasih aku bunga mawar aja? Lebih indah, aromanya juga lebih wangi. Aku suka," sahut Larisa.
"Karena aku gak mau dianggap sedang menggoda apalagi menggombal. Bunga mawar identik dengan cowok perayu." Larisa mengernyitkan alisnya, Reza terkekeh melihat ekspresi wajah Larisa ini. "Itu menurut pendapat aku," tambah Reza.
"Lagian bunga matahari lebih cocok sama kamu dibandingkan mawar."
"Kenapa?" Tanya Larisa.
"Pretty gak salah bilang kalau bunga matahari itu melambangkan keceriaan, semangat, optimis dan persatuan. Tapi bunga matahari juga mengandung makna kegembiraan."
"Masa?" Larisa memasang wajah meragu.
"Serius. Bunga matahari itu mirip banget sama kamu. Kamu yang selalu ceria, penuh semangat, selalu berpikir optimis dan selalu terlihat gembira ... bagi aku semua itu daya tarik terbesar kamu." Reza menyentil kening Larisa yang tengah melongo saat ini, membuat gadis itu meringis dan mengusap-usap keningnya yang berdenyut.
"Jadi, tetep bersinar kayak bunga matahari ya. Apa pun masalah kamu, jangan ampe buat kamu jadi redup," ujar Reza. "Ada aku di sini, selalu di samping kamu. Aku siap dengerin semua keluh kesah kamu. Aku juga siap bantu kamu. Jadi jangan sembunyiin apa pun dari aku. OK?"
Larisa terperangah, tak tahu harus mengatakan apa. Nyatanya dia begitu terharu mendengar ucapan Reza.
"Tuh kan, bengong lagi?" Gerutu Reza, menyadari Larisa tengah menatap hampa padanya. Dan begitu Larisa tiba-tiba menerjangnya dengan pelukan, Reza tak mampu berkutik. Dia membeku di kursinya.
"Makasih ya, Honey. Aku beruntung banget punya kamu. Aku bodoh kalau sia-siain kamu," kata Larisa, dia terisak dalam pelukan kekasihnya.
"Lah kok malah nangis?" Tanya Reza, dia usap-usap lembut punggung Larisa untuk menenangkannya.
"Habisnya kata-kata kamu bikin aku terharu sih," timpalnya. Reza terkekeh kecil.
"Gak maksud bikin kamu sedih kok, cuma pengen ngungkapin isi hati aja. Lagian kan kamu yang nanya alasan aku selalu ngasih bunga matahari?"
Larisa melepaskan pelukannya, dengan gerakan cepat menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Dengan sigap Reza menghentikan pergerakan kasar tangan Larisa. Pemuda itu meraih tissue di atas dashboard, lalu dengan telaten menghapus air mata Larisa dengan tissue lembut tersebut.
"Jangan nangis dong. Pacarnya Reza R Purnomo gak boleh nangis. Kamu harus jadi cewek yang strong."
"Kamu yang bikin aku nangis," sela Larisa.
"Berarti aku yang salah ya?"
Larisa memutar bola matanya malas.
Setelah selesai menghapus air mata Larisa, Reza mengusap-usap rambut Larisa, merapikannya yang terlihat sedikit berantakan.
"OK, calon istri Reza udah rapi lagi sekarang," ujarnya. Larisa mendengus mendengarnya.
"Sana turun, nanti kamu telat," lanjutnya sembari membukakan pintu mobil untuk Larisa.
"Telat apanya, ini masih pagi buta kok," sanggah Larisa, tak setuju saat dia melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya dan menyadari waktu baru menunjukan pukul 06.20.
"Maksudnya aku yang telat. Nanti aku diomelin senior." Larisa memutar bola matanya lagi.
"Ya udah kalau gitu, aku turun. Hati-hati di jalan," kata Larisa, dia hendak turun namun lagi-lagi tertahan karena untuk kesekian kalinya Reza menahan lengannya.
Larisa menggeram, kesal luar biasa.
"Apa lagi sih?" Tanyanya ketus.
"Aku udah janji bakal setia sama kamu. Boleh nggak aku juga minta kamu janji bakalan setia sama aku?" Larisa menegang seketika. "Janji gak bakalan ngelirik cowok lain apalagi berpaling." Larisa geragapan kali ini.
Dia sudah membuka mulutnya hendak menyahut, namun urung tatkala Reza tiba-tiba mendaratkan bibir hangatnya di kening Larisa.
"Abaikan kata-kata aku barusan. Cuma becanda kok," kata Reza sembari tersenyum tipis. "Lagian tanpa kamu ngucapin janji pun, aku percaya kamu cewek setia. Mustahil kamu berpaling ke cowok lain. Iya, kan?"
Larisa melengos, membuang mukanya ke arah lain. Entah kenapa dia seolah kehilangan kemampuannya untuk berkata-kata.
"Ya udah, sana turun." Reza mendorong pelan punggung Larisa agar turun dari mobilnya. " Nanti aku kabarin kalau ada apa-apa ya. Pokoknya kesalahan kemarin gak bakalan terulang lagi. Aku gak bakalan bikin kamu nungguin lama lagi."
Larisa tersenyum kecil, sebelum dia benar-benar turun dari mobil Reza.
"Hati-hati di jalan ya. Jangan kebut-kebutan."
Reza mengangkat kedua jempolnya, lantas dia mulai melajukan mobilnya dan melambaikan tangannya pada Larisa. Meninggalkan gadis itu yang terpaku memikirkan ucapannya tadi.
Mengejar Arvan karena ingin menjadikan pemuda itu sebagai sahabatnya, bukan termasuk berselingkuh bukan?
Kira-kira pertanyaan itulah yang sedang bercokol di benak maupun di pikiran Larisa saat ini.
"Nggaklah, niat gue kan cuma mau jadiin Arvan sahabat aja. Gak lebih kok. Gak mungkin juga gue berpaling dari Reza cuma gara-gara cowok nyebelin kayak si Arvan," gumam Larisa pelan, hingga hanya dirinya yang mampu mendengarnya.
"OK, semangat Larisa. Harapan kamu buat naklukin Arvan harus terwujud. Semangat!!" Teriaknya, menyemangati dirinya sendiri.
Kemudian Larisa melangkah memasuki gerbang sekolahnya dengan wajah berseri-seri. Semangatnya telah kembali.