"Van, lo gak apa-apa, kan?" tanyanya khawatir, sembari tangannya sibuk menepuk-nepuk bahu Arvan.
Suara erangan meluncur dari mulut Arvan. Perlahan dia menggerakan tubuhnya. Larisa ikut meringis melihat banyaknya luka yang diderita Arvan.
"Kita ke rumah sakit, ya? Luka lo harus diobatin," ajak Larisa, namun ditolak Arvan dengan gelengan kepalanya.
"Gue baik-baik aja."
"Baik-baik aja apanya, lo babak belur gini kok."
"Lo harusnya gak dateng ke sini." Larisa melotot, bukan kata-kata ini yang ingin didengar Larisa dari pemuda yang sok kuat ini.
"Lo harusnya bilang makasih bukannya malah nyalahin gue. Lo bisa mati kalau gue gak nolongin lo," sanggah Larisa. "Ayo, gue anter lo ke rumah sakit!" Larisa tak menerima bantahan kali ini.
Tanpa permisi, dia melingkarkan satu tangan Arvan di bahunya. Membantunya berdiri dan berjalan dengan memapahnya. Keajaiban terjadi karena Arvan pun tak melontarkan penolakan apa pun.
"Sepeda gue?"
Larisa mengikuti arah yang ditatap Arvan, pada sepeda pemuda itu yang masih terparkir di pinggir jalan dekat warteg.
"Gue titipin ke bapak warteg aja ya. Lo tunggu di sini."
Larisa berlari tanpa menunggu respon Arvan, menghampiri pemilik warteg untuk menitipkan sepeda Arvan di sana.
Lantas dia pun bergegas menghentikan taksi yang kebetulan lewat di depannya. Kembali membantu Arvan untuk masuk ke dalam taksi.
Larisa benar-benar membawa Arvan ke rumah sakit. Berhubung rumah sakit cukup sepi di sore hari seperti ini, tak membutuhkan waktu lama, Arvan pun ditangani. Kini semua luka Arvan selesai diobati. Keningnya yang terluka hingga mengeluarkan darah tampak dibalut dengan perban.
"Gue anterin lo pulang ya?"
"Gak usah, gue bisa pulang sendiri," tolak Arvan. Mereka baru saja keluar dari rumah sakit. Kini tengah berdiri di depan rumah sakit untuk menghentikan taksi.
"Jangan bandel deh, lo kan lagi luka gini, Van."
"Lo pulang aja, ini udah sore."
Benar yang dikatakan Arvan, waktu menunjukan pukul 5 sore saat ini. Larisa sendiri sejak tadi tak mempedulikan hal lain selain menemani Arvan di rumah sakit. Bahkan tak sekali pun dia membuka ponselnya yang dia simpan di dalam tasnya.
"Gak apa-apa, gue pulang udah nganterin lo," katanya, lagi-lagi bersi keras.
Larisa pun menghentikan taksi, untuk kesekian kalinya membantu Arvan masuk ke dalam taksi setelah salah satu taksi berhenti tepat di depan mereka.
Arvan menyebutkan alamat rumahnya pada sang sopir taksi, membuat Larisa mengernyit, dia akan menyimpan alamat rumah pemuda itu dalam ingatannya. Mungkin saja sewaktu-waktu terjadi sesuatu yang mengharuskannya mendatangi rumah Arvan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan bukan? Dan Larisa sudah mengantisipasinya sedari sekarang.
Setelah hampir satu jam perjalanan mereka, akhirnya mereka pun tiba di tempat tujuan.
Larisa bengong, terkejut melihat rumah Arvan yang bisa dikatakan cukup kecil. Berbanding terbalik dengan rumahnya yang megah bak istana.
"Lo kaget ya lihat rumah gue?" tanya Arvan, menyadari tatapan heran yang terpancar dalam sorot mata gadis di sampingnya.
"Nggak kok. B aja," jawab Larisa sembari terkekeh.
Arvan mendengus, dia tahu gadis itu sedang berbohong.
"Lo pasti heran kan cowok miskin kayak gue bisa sekolah di sekolahan elit kayak sekolah kita?"
"Hmmm ... gue tebak, lo pasti dapet beasiswa ya?"
Arvan tersenyum kecil, sebelum sebuah anggukan dia berikan sebagai respon.
"Jadi ini alasan lo gak mau temenan sama anak-anak sekelas. Lo malu ya?"
"Gue gak malu kok sama keadaan gue. Bangga malah karena hidup gue penuh perjuangan yang bikin gue tegar sekaligus bekerja keras. Gue lebih bisa menghargai hidup gue semenjak keluarga gue kayak gini," kata Arvan. "Gak kayak kalian, anak manja yang bisanya cuma minta ini-itu ke ortu padahal gak tahu susahnya nyari duit," lanjutnya, menatap penuh sindiran pada Larisa.
"Enak aja, gue gak gitu kok. Gue juga tahu susahnya nyari duit makanya gue gak pernah tuh hambur-hamburin duit bokap gue buat hal yang gak penting," sanggah Larisa, mengutarakan ketidaksetujuannya.
"Udah tahu kondisi gue kayak gini, lo pasti gak mau lagi kan ngajakin gue temenan? Secara temen lo kan anak-anak tajir semua."
Cepat-cepat Larisa menggelengkan kepalanya.
"Jangan asal bunyi kalau jadi orang. Gue gak gitu kok. Bangga malah gue kalau bisa punya temen kayak lo yang pantang menyerah. Salut gue, lo bisa dapetin beasiswa di sekolah kita. Testnya kan susah banget, gue denger sih gitu. Emang bener ya?"
Arvan mendengus, tampak tak berminat menjawab pertanyaan Larisa.
"Berarti lo emang pinter ya. Keren. Gue makin semangat deh jadiin lo temen gue." Kedua mata Arvan membulat sempurna mendengar pengakuan Larisa ini.
"Gue juga bangga sama diri gue sendiri."
"Bangga kenapa?" tanya Arvan tak paham maksud perkataan Larisa.
"Bangga karena gue jadi satu-satunya orang yang tahu banyak rahasia lo." Dan gadis itu pun terkekeh geli setelahnya.
"Tapi lo tenang aja, gue gak bakalan cerita ke siapa-siapa kok. Mulut gue bisa dipercaya. Lo tenang aja." Larisa menepuk dadanya sendiri, meyakinkan Arvan agar tak khawatir rahasianya akan terbongkar. Rahasia pemuda itu aman di tangan Larisa.
"Lo juga gak usah takut gue bakalan manfaatin rahasia lo ini buat maksa lo jadi temen gue kok. Gue tetep bakalan berusaha supaya lo mau temenan sama gue karena lo emang pengen. Bukan karena kepaksa," kata Larisa. Tatapannya menunduk, tertuju pada telapak tangannya sendiri.
"Lo kenapa sih sebegitu pengennya jadi temen gue?" tanya Arvan, inilah yang membuatnya sangat penasaran sedari dulu.
"Lo pasti ketawa kalau tahu alasannya."
"Apa emang?"
Satu alis Arvan terangkat naik begitu melihat Larisa tengah cekikikan tak jelas sekarang.
"Gue tuh hobby banget baca novel."
"Terus?" desak Arvan.
"Kepribadian lo itu mirip banget sama cowok-cowok keren yang jadi tokoh utama novel-novel yang gue baca. Makanya gue pengen ngerasain gimana sih rasanya deket sama cowok dingin kayak es balok, kayak lo."
Arvan ikut terkekeh, betapa konyolnya alasan gadis ini. Ternyata seperti dugaannya, Larisa memang sudah tak waras.
"Alasan lo absurd banget."
"Iya, kan? Makanya gue bilang juga alasannya lucu," kata Larisa sembari menepuk bahu Arvan pelan.
"Ya udah, gue balik dulu ya. Udah gelap tuh langitnya. Ntar gue kemaleman lagi pulangnya."
Arvan mengangguk tanpa kata, "Lo gak mau mampir dulu ke rumah gue?"
"S-Serius lo ngajakin gue masuk ke rumah lo?" tanya Larisa, nyaris tak percaya. Arvan yang biasanya ketus kini berubah jadi ramah padanya.
"Jangan mikir yang nggak-nggak. Di dalam ada nyokap gue kok."
"Heeeh ... emangnya siapa yang mikir yang nggak-nggak? Maksudnya heran aja gue, lo tiba-tiba jadi baik. Biasanya juga lo jutek abis sama gue."
Arvan kembali terkekeh, penilaiannya tentang Larisa sedikit berubah. Ternyata gadis di hadapannya itu lucu juga.
"Ya udah kalau gak mau mampir. Pulang gih."
"Oh, sekarang lo ngusir gue? Kumat lagi ya sifat juteknya?"
Arvan tak menggubris ejekan Larisa. Dia menghentikan taksi yang melintas di depannya. Membukakan pintu taksi untuk Larisa, yang lagi-lagi sukses membuat Larisa melongo dengan perubahan sikap pemuda itu.
Meski keterkejutan masih dia rasakan, Larisa akhirnya masuk ke dalam taksi, duduk dengan tenang di jok belakang.
"Hati-hati di jalan ya," kata Arvan, Larisa mengangguk.
"Makasih."
Larisa tak tahu harus bereaksi seperti apa sekarang, mendengar Arvan mengucapkan terima kasih sembari mengulas senyum manis yang membuat ketampanan pemuda itu semakin bertambah. Larisa senang tiada tara, hingga tanpa sadar berteriak girang begitu taksi sudah melaju meninggalkan area rumah Arvan.